Langsung ke konten utama

YANG SAYA PAHAMI DARI SYIAH MELALUI JAWABAN ULAMA SYIAH (Saya Muslim bukan Suni dan bukan Syiah - QS. Al hajj ayat 78).

 


Selama ini persepsi sebagian umat Islam Indonesia yang berpaham suni adalah bahwa syiah adalah kelompok Islam yang sesat dan bahkan kafir. Saya termasuk orang yang awalnya mempercayai bahwa syiah itu sesat dari penyampaian teman-teman aktivis masjid dan dari ceramah-ceramah agama yang disampaikan oleh ustad-ustad yang anti syiah.

 

Namun dengan bertambahnya wawasan dan bacaan serta kecintaan kepada ilmu (agama Islam) membuat saya akhirnya bisa memahami apa sebenarnya yang membuat syiah dikatakan sesat bahkan kafir.

 

Ada beberapa buku yang membahas khusus ajaran syiah yang sudah saya pelajari untuk membuktikan apakah benar tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa syiah sesat dan kafir. Saya juga mencoba mendengar langsung ceramah dari tokoh-tokoh syiah yang tersebar di you tube. Dari you tube pula saya akhirnya paham mengapa banyak umat Islam semakin menyakini syiah itu sesat karena mereka menyaksikan seorang tokoh syiah takfiri yang tinggal di London Inggris bernama Yasser Al Habib dalam ceramahnya selalu mencaci maki sahabat dan Ummul mukminin Aisyah ra. Nah tokoh Syiah London yang mendapat sokongan dana dari inggris inilah yang selalu diperingatkan oleh Imam Sayyid Ali Khameini sebagai pemecah belah umat Islam.

 

Sayyid Ali Khameini sendiri sebagai pemimpin dan marja syiah di Iran telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya menghina dan mencerca simbol-simbol yang diagungkan oleh saudara mereka dari kalangan suni termasuk istri Nabi. Beliau mengingatkan bahwa sikap mencaci maki bukanlah ajaran Syiah yang diajarkan oleh para Imam. Ketika kamu mencaci maki maka sikap permusuhan akan melahap orang-orang atas dasar rasa benci dan sakit hati.

 

Bahwa setelah mempelajari banyak hal tentang syiah akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa Pengetahuan sebagian besar umat Islam akan syiah yang sesat sebenarnya bukan dari hasil mempelajari secara langsung ajaran Syiah itu sendiri tapi lebih banyak terbentuk dari propaganda yang telah tertanam sekian lama.

Sebagai muslim kita seharusnya berhati-hati untuk menuduh orang lain sebagai sesat atau kafir karena konsekuensinya sangat berat bagi iman kita. Nabi saw bersabda,” tidaklah seseorang memvonis orang lain sebagai fasiq atau kafir maka akan kembali kepadanya jika yang divonis tidak demikian (HR Bukhari).

Nabi saw bersabda,”Melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan kekafiran adalah sama dengan membunuhnya (HR Bukhari).

 

Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara suni dan syiah karena mereka sama-sama berpegang kepada alquran dan sunnah, perbedaan itu timbul karena pemahaman mereka yang berbeda dalam pembacaan terhadap alquran dan hadis itu sendiri. Ini adalah hal yang wajar. Di dalam suni sendiri banyak sekali perbedaan-perbedaan dalam masalah keagamaan  sebagaimana di dalam syiah juga seperti itu.

 

Masalah siapa yang paling benar biarlah semua itu kita serahkan kepada Allah swt sebagai hakim yang agung di akhirat nanti, “sesungguhnya TuhanMU Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya (QS. Sajdah ayat 25).

 

Bahwa dari hasil mempelajari syiah ini, ada beberapa hal yang saya rangkum disini yang kemudian saya tuangkan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Pertanyaan itu mengenai beberapa tuduhan yang umumnya sering dipropagandakan bahwa syiah itu sesat dan kafir dan bagaimana jawaban dari ulama Syiah mengenai tuduhan itu.

 

Bahwa kesepahaman antara suni dan syiah sebenarnya hanya bisa diwujudkan dengan cara dialog dan diskusi. Dialog bukan dimaksudkan supaya aku mengubah kamu seperti yang aku kehendaki tetapi untuk mengajak kamu memahami aku dan aku memahami kamu. Melalui dialog Kita bertemu bukan untuk saling menghakimi tetapi untuk saling memahami. Dengan begitu perbedaan diantara kita bukan hanya ditoleransi, tetapi juga dihargai. Persaudaraan sejati hanya bisa terwujud kalau didasarkan pada cinta. dan Itulah tujuan saya menulis ini supaya umat Islam yang suni yang selama ini begitu membenci dan menganggap kafir saudaranya yang syiah bisa mengubah pandangannya bahwa pada dasarnya kita semua adalah bersaudara.

 

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. QS. Al-Hujurat Ayat 10)

 

Mari kita mulai…

 

Tuduhan pertama

Bahwa ada penceramah yang mengatakan bahwa Syiah dianggap bukan Islam karena syiah memiliki alquran tersendiri yang disebut dengan mushaf Fathimah. Nah benarkah syiah memiliki alquran tersendiri yang berbeda dengan alquran yang ada selama ini pada kaum muslimin.

 

Jawaban ulama Syiah

Ini adalah tuduhan yang sama sekali tidak benar. Alquran yang ada pada kaum syiah baik dulu maupun sekarang adalah sama dengan dengan alquran yang ada pada Ahlusunnah wal jamaah. Jika anda datang ke negeri Iran yang mayoritas syiah dan mendengarkan para penghafal alquran dan para qari disana yang membaca alquran dengan tartil  pada siang dan malam hari dan anda juga bisa mendengarkannya lewat televisi maka anda tidak akan menemukan adanya penambahan ataupun pengurangan satu huruf pun dari alquran. Sebab Allah swt telah menjamin untuk menjaga kemurniannya (QS. Al Hijr ayat 9).

 

Bahwa semua Al Qur’an yang dicetak, beredar dan digunakan di kawasan Syiah manapun, sama persis dengan Al Qur’an yang dicetak dan beredar di Indonesia, Malaysia, Mesir, Arab Saudi dan dimanapun di dunia ini. Ada lebih dari 120 ulama Syiah yang menulis tafsir Al-Qur’an. Semua ayat-ayat yang ditafsirkan adalah sama dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dalam kitab kitab ulama Sunni.

 

Jadi tudingan bahwa syiah memiliki alquran sendiri adalah merupakan fitnah yang terus menerus diulang oleh orang-orang yang tidak menginginkan adanya persatuan diantara kaum muslimin.

 

Mengenai mushaf fathimah perlu dijelaskan bahwa Ahlussunnah  mengatakan bahwa ketika Utsman bin Affan hendak menghimpun alquran, ia menggunakan mushaf Aisyah dan Mushaf Hafsah. Nah jika Aisyah memiliki mushaf dan Hafshah juga memiliki mushaf, maka jangan heran kalau Fathimah as juga punya mushaf, dan Ia lebih pantas memiliki mushaf dari kedua orang tadi karena ia adalah puteri Rasulullah saw, dan ia sudah mendekap alquran sejak awal turunnya hingga akhirnya. Jadi mushaf Fathimah adalah alquran yang sama dimiliki Aisyah, Hafshah dan kaum muslimin sampai hari ini. 

 

Tuduhan kedua

Dalam sebuah hadis disebutkan,”Jangan mencela sahabat-sahabatku, karena barangsiapa mencela sahabat-sahabatku berarti dia mencelaku, dan barang siapa mencelaku berarti dia mencela Allah”

Suni menganggap Kaum syiah sesat karena mereka telah mencaci maki para sahabat yang dimuliakan oleh Allah dan Rasulullah saw.

 

Jawaban Ulama Syiah

Bahwa Syiah mengajarkan untuk mencaci maki para sahabat adalah kebohongan yang nyata. Kitab-kitab syiah, baik klasik maupun kontemporer, tidak memuat klaim seperti itu. Tapi jika yang dimaksud dengan celaan itu adalah penyebutan kekurangan, maka syiah tidak menyebutkan kekurangan para sahabat kecuali apa yang ditegaskan dalam kitab-kitab shahih Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Bahwa memang ada sebagian pengikut syiah yang mencaci maki sahabat akan tetapi apakah semua syiah memikul tanggung jawab satu individu. Padahal jumlah pengikut syiah di dunia melebihi empat ratus juta orang. Kalaupun ada sebagian kaum syiah yang mencela sebagian sahabat, tidak semua sahabat, itu sebagai ijtihad mereka karena ghirah (semangat) mereka terhadap Islam dan kaum muslim ketika mereka melihat bahwa sebagian sahabat itu menjadi musuh Allah, Rasul-Nya dan keluarganya yang mulia.

 

Bahwa di sisi lain kaum suni menutup mata terhadap mu’awiyah yang mengutuk Amirul Mukminin Ali As dan memerintahkan para sahabat dan bahkan memaksa mereka untuk mengutuknya. Kebiasaan muawiyah yang memerintahkan untuk mengutuk Ali Bin Abi Thalib ini terus menjadi tradisi yang diserukan diatas mimbar-mimbar setiap kali hendak shalat. Tradisinya itu terus berlanjut selama tujuh puluh tahun hingga zaman Umar bin Abdul Aziz yang kemudian menghapuskannya.

Mengapa kaum suni tidak mempermasalahkan celaan dan kutukan muawiyah kepada Ali bin Abi Thalib ini bahkan menyebut muawiyah dengan segala kebajikan, kalian ridha kepadanya, dan mengatakan kepadanya bahwa dia berijtihad yang jika dia benar maka dia mendapatkan dua pahala dan jika salah maka dia mendapatkan satu pahala. Lalu mengapa kaum suni menganggap syiah sesat hanya karena sebagian kaum syiah melakukan celaan kepada sebagian sahabat yang mereka anggap berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasulullah saw. Mengapa harus ada standard ganda disini. Bukanlah Allah swt memerintahkan agar janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (QS. Al Maidah ayat 5)

 

Bahwa syiah tidak menganggap semua sahabat sama. Para sahabat ini bertingkat-tingkat. Ada yang utama yang mereka masuk Islam pada awal-awal dakwah, terlibat dalam perang badar, Uhud, Mutah, membela dan selalu teguh disamping Nabi. Ada sahabat yang pertengahan. Lalu ada sebagian sahabat yang tergolong munafik bahkan sejak Nabi berada di mekkah (QS At Taubah ayat 101)

Orang Syiah menganggap Abu Thalib adalah seorang mukmin sementara ahlu sunnah menganggap Abu Thalib kafir. Menurut Syiah riwayat yang mengatakan Abu Thalib kafir adalah sengaja dibuat untuk mendiskreditkan Ali Bin Abi Thalib karena Abu Thalib adalah ayahnya.

 

Bahwa syiah tidak mengkritik atau mencela semua sahabat, melainkan hanya sebagian mereka yang terbukti kefasikan dan penentangannya sepeninggal Nabi saw. Dalam hal ini kaum syiah mengikuti apa yang disebutkan dalam kitab Allah swt ikhwal kefasikan mereka serta ketidakpatuhan dan pembangkangan mereka kepada Rasulullah saw. Kaum syiah juga mengikuti apa yang disebutkan dalam hadis Nabi saw tentang celaan kepada sebagian sahabat dan ancaman kepada mereka dengan neraka. Kaum syiah hanya mencela sebagian sahabat ini, bukan seluruh sahabat.

 

Bahwa adanya asumsi bahwa mencela para sahabat maka itu menyebabkan keluar dari iman atau Islam adalah tidak benar sama sekali. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa orang yang mencela sahabat berarti dia kafir. Dalilnya adalah bahwa para sahabat sendiri telah saling mencela satu dengan yang lain, saling mengkafirkan dan saling membunuh. Sekiranya mencela sahabat itu menyebabkan keluar dari Islam, tentulah mereka sudah mengetahuinya sebelum kita, kita hanya mengikuti mereka.

 

Bahwa terkait hadis yang menyatakan,”Jangan mencela sahabat-sahabatku, karena barangsiapa mencela sahabat-sahabatku berarti dia mencelaku, dan barang siapa mencelaku berarti dia mencela Allah” maka menurut syiah hadis itu tidak berkenaan dengan para sahabat, melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Riwayat yang benar menurut syiah adalah bahwa Rasulullah bersabda,”barangsiapa mencela Ali berarti dia mencelaku, dan barang siapa mencelaku berarti dia mencela Allah.”

 

Jika hadis mengenai larangan mencela sahabat adalah sahih maka mengapa para sahabat tidak mengamalkannya ? Mengapa muawiyah melaknat imam Ali dan memerintahkan para sahabat dan bahkan memaksa mereka untuk melaknatnya. Apakah suni berani mengatakan bahwa muawiyah telah mencela Rasulullah saw dan mencela Allah swt.

 

Jika hadis jangan mencela sahabat-sahabatku adalah shahih, mengapa Rasulullah sendiri sering mencela sahabat yang mereka menyimpang dari alquran. Al Bukhari dalam kitab shahihnya meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”maka aku katakan, kebinasanlah, kebinasanlah bagi orang yang mengubah (ajaran Islam) sepeninggalku, dan aku tidak melihat ada yang selamat kecuali sedikit. Dan juga hadis tentang “al haudh” yang mencatat kemurtadan sebagian sahabat.

 

Allah swt sendiri berfirman dalam alquran yang mencela beberapa sahabat diantaranya ada sahabat yang jika mereka diberi bagian mereka senang tapi jika tidak diberi mereka marah dan mencela Nabi tentang pembagian sedekah (zakat) itu (QS. At Taubah ayat 58). Dan banyak lagi ayat-ayat alquran yang mencela para sahabat tersebut diantaranya QS.Ash Shaff ayat 2-3, QS.Al Hadid ayat 16. QS. Al Ahzab ayat 13. QS. Al Ahzab ayat 12. QS. Al Ahzab ayat 19.

 

Bahwa pada pokoknya perbedaan antara suni dan Syiah terkait para sahabat adalah :

Menurut keyakinan sebagian muslim suni :

1.    Seluruh sahabat adalah orang yang baik dan adil. Apapun yang mereka lakukan adalah benar, karena Allah sudah meridhoi mereka atas apa yang telah mereka lakukan untuk menegakkan Islam.

2.    Apapun yang pernah terjadi diantara para sahabat (permusuhan, pertengkaran, pembunuhan) maka kita umat generasi setelahnya harus diam, tidak usah mengkritisinya.

 

Sedangkan Keyakinan Syiah Tentang Sahabat:

1.     Menjadi orang baik adalah perjuangan seumur hidup. Bertemu Rasulullah saw, bahkan berjuang bersama beliau bukanlah jaminan bahwa seseorang akan tetap baik hingga akhir hayat.

2.     Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib as, terjadi beberapa peperangan yang mana para sahabat Nabi saling berhadapan. Mereka berperang dan ribuan sahabat Nabi terbunuh dalam peperangan itu.

 

Lantas berdasarkan fakta itu, apakah bisa dikatakan semua sahabat itu pasti adil dan pasti semua benar? Padahal mereka saling memerangi?

Itulah sebabnya, mengapa muslim syiah bersikap kritis terhadap sahabat. Sebab tidak semua sahabat pasti benar dan pasti adil.

Terkait berbagai pertikaian dan saling bunuh itu, Syiah meyakini bahwa sikap kritis harus dipelihara. Harus ditetapkah dan dijelaskan, siapa yang benar dan siapa yang salah di antara mereka. 

 

lni bukan masalah menyimpan dendam kesumat, melainkan urusan siapa yang boleh dijadikan teladan bagi umat dan verifikasi hadis. Ketika ada dua hadis saling bertentangan; yang satu diriwayatkan oleh Muawiyah dan yang satunya lagi diriwayatkan oleh Ali, kaum Syiah hanya akan menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ali. 

 

Ketika ada dua cara pandang yang kontradiktif terkait satu masalah, yang satu pandangan versi Sahabat X, yang kedua pandangan versi Ali, orang Syiah memilih mengambil pandangan Ali.

 

Nah, apakah pendirian sikap Syiah yang tetap bersikap kritis atas peristiwa sejarah di masa lalu bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyebutnya sebagai kelompok sesat? Apakah sikap Syiah yang lebih memilih riwayat dari Ali ketimbang Muawiyah disebut sebagai kesesatan? Bukankah dalam doktrin Sunni pun, sikap diam atas apa yang terjadi di antara para sahabat bukan bagian dari akidah? 

 

Jadi inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat luas, bahwa bersikap kritis (seperti sikap syiah) berbeda dengan mencerna/menghina.

Kaum muslim syiah bukan mencerca atau menghina sahabat nabi saw. Sebab dalam pandangan syiah juga, menghina manusia biasa saja sudah berdosa, apalagi menghina sahabat-sahabat Rasulullah saw.

 

Tuduhan ketiga

Menurut banyak ulama suni kawin mut’ah memang pernah dilegalkan pada zaman Nabi saw karena suatu hal namun kemudian beliau melarangnya. Hadisnya adalah,”wahai manusia, dahulu aku mengizinkan kamu nikah mut’ah, ketahuilah bahwa Allah swt telah mengharamnkannya sampai hari kiamat (HR. Muslim).

Benarkah syiah sesat karena sampai sekarang telah melegalkan perzinahan melalui kawin mut’ah (perkawinan temporer) padahal kawin mut’ah itu sudah dilarang Nabi saw melalui dalil hadis riwayat Muslim diatas.

 

Jawaban Ulama Syiah

Atas pengingkaran suni terhadap syiah mengenai kawin mut’ah ini, kami akan mengetengahkan pendapat kaum syiah tentang kehalalan pernikahan mut’ah (temporer) yang diklaim sebagai perzinahan sehingga syiah dianggap menghalalkan perzinahan. Kami berlindung kepada Allah swt dari tuduhan ini. Tidak mungkin kaum syiah menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkanNya kaum syiah mengikuti imam mereka, berbakti dan bertaqwa kepada Allah sehingga tidak menentang hukum-hukumnya.

 

Salah satu fitnah paling besar tentang syiah adalah terkait isu nikah mut'ah ini. Dalam fitnah yang sering disebarluaskan, dikatakan bahwa syiah telah menghalalkan zina, karena dianggap nikah mut'ah sama dengan zina. 

 

Padahal mereka yang memfitnah itu juga mengetahui bahwa dalam keyakinan semua mazhab, DULU Rasulullah saw pernah menghalalkan nikah mut'ah. Nah, logika sederhananya, jika dulu nikah mut'ah pernah dihalalkan apakah mungkin nikah mut'ah itu sama dengan zina, apalagi bahkan zina dengan istri orang lain?

Tanpa disadari, tudingan itu itu sama saja dengan menuduh Rasulullah saw pernah membolehkan zina. Nauzubillah! Itu benar-benar sama saja melakukan fitnah yang sangat besar pada Rasulullah saw. 

 

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ kedua-nya berkata, “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah (utusan) Rasulullah Saw, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.’  (bisa dibaca dalam Imam Al-Bukhari, hadits 5115-7, kitab Al-Nikah, bab Nahy Rasulillah saw 'an Nikah Al-Mut'ah Akhiran; dan Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, hadits 3302-5, kitab Al-Nikah, bab Nikah Al-Mut'ah)

Itulah fakta sejarah yang diungkapkan dalam kitab-kitab Sunni, bahwa pada masa Nabi saw (hingga masa kekhalifahan Abu bakar), nikah mut’ah dilakukan oleh para sahabat nabi. 

 

Pernikahan mut'ah ini mulai dilarang pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana beliau berpidato di hadapan khalayak

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” (baca dalam Muhammad Fakhr Al-Din Al-Razi, Tafsir Al-Fakhr Al-Razi, juz 10, h. 51, QS. Al-Nisa' [4]:24, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1981 M, 1401 H)

 

Mengapa syiah menghalalkan nikah mut'ah ?

Alasannya karena syiah berpandangan bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh AlQuran maka hukumnya tidak boleh berubah (diubah) oleh siapapun, sampai hari kiamat. 

Masalah pernikahan mut’ah, alquran menyebutnya dalam surat An-Nisa,” Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban ....  (QS. An Nisa ayat 24).

 

AlQuran adalah sumber hukum tertinggi dan karenanya tidak dapat dihapuskan dengan hukum yang lebih rendah (misalnya oleh ijtihad sahabat atau fatwa khalifah). 

 

Itulah sikap syiah terhadap nikah mut'ah. Argumennya adalah hukum yang ditetapkan Allah swt dan Rasulullah saw tidak boleh diubah oleh manusia (sekalipun oleh fatwa khalifah).

Lalu, juga perlu disadari, bahwa hukum nikah mut'ah ini hanya “Boleh”. Bukan “mustahab (sunnah)” apalagi “wajib”, seperti yang sering ditudingkan kepada syiah. 

 

Karenanya sekalipun syiah menghalalkan nikah mut'ah, bukan berarti otomatis semua orang syiah mengamalkannya. Ini lebih ke persoalan menegakkan posisi hukum dalam Islam, karena hukum harus mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia.

 

Bahwa kita tidak bisa menafikan fakta bahwa menjamurnya hubungan seks yang tidak sah alias perzinahan di seluruh dunia baik di kota besar maupun kecil, baik ditempat tersembunyi maupun terang-terangan merupakan dalil terbaik bahwa perkawinan mut’ah adalah jalan keluar dari orang-orang yang tidak bisa mengendalikan hasrat dorongan seksualnya apalagi dia berada jauh dan terpisah dari istrinya karena suatu hal. Bahwa jika dorongan seksual yang demikian besar itu tidak disalurkan secara halal maka mereka bisa melampiaskannya dengan cara-cara melanggar moral agama.

 

Dan lagi pula, nikah mut'ah itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Ada syarat-syarat dan ketentuannya seperti halnya dalam nikah daim (permanen), seperti harus ada izin dari wali (ayah), harus ada akad dan mahar, ketika terjadi perceraian ataupun batasan waktu pernikahan sudah berakhir, masa iddah nya adalah selama 2 kali siklus haid, dsb.

 

Bahwa ahlussunnah wal jamaah mengharamkan mut’ah karena empat madzhab Islam melarang pernikahaan ini dan tidak mempraktekkannya karena mereka mengikuti ijtihad Umar yang mengharamkannya.

 

Adapun kaum syiah semuanya sepakat ihwal kehalalannya dari Allah dan Rasulullah saw, dan bahwa Umar lah yang mengharamkannya. Tentu saja, mereka hanya meneladani para imam suci dari ahlulbait As yang mengatakan kehalalannya hingga hari kiamat.

 

Tuduhan keempat

Bahwa syiah sesat karena mereka menyakini kemaksuman para Imam mereka dan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan

 

Jawaban Ulama Syiah

Bahwa kaum syiah menyakini kemaksuman Imam mereka adalah dibuktikan oleh dalil-dalil akli dan nakli. Mari kita mulai dengan dalil-dalil dari alquran. Allah swt berfirman,”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya (QS. Al Ahzab ayat 33)

 

Ayat yang mulia menegaskan bahwa Allah menghilangkan kotoran (rijs) dari ahlulbait As dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Rijs mencakup juga semua kekejian, kemaksiatan dan kesalahan manusiawi. Dan penyucian dari segala dosa bermakna keterpeliharaan (‘ishmah). Karena mereka adalah hamba-hamba Allah yang ikhlas, maka tidak mungkin setan dapat mendekati mereka.

 

Allah swt berfirman,” wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil-Amri di antara kamu… (QS. An Nisa ayat 59)

Kaum syiah memahami ayat tersebut bahwa Allah swt menyeru para sahabat yang ada bersama Rasulullah dan memerintahkan kepada mereka agar menaatin-Nya, menaati Rasul-Nya dan mematuhi ulil amri. Ulil amri itu adalah orang-orang yang ada dibelakang Rasulullah yaitu Ahlulbait As, yang ditunjukkan dalam sabdanya,”aku tinggalkan untuk kalian dua beban yang berat yaitu kitab Allah dan keluargaku. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya.

 

Ayat yang mulia itu menyatakan bahwa barang siapa yang mematuhi ahlulbait maka berarti dia mematuhi Rasulullah saw, dan barang siapa yang mematuhi rasulullah saw maka berarti dia mematuhi Allah swt.

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak memerintahkan kecuali apa yang diperintahkan Allah, karena beliau maksum sehingga tidak akan berbuat salah, dan bahwa ahlulbait tidak memerintahkan kecuali apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw karena juga maksum atau terpelihara dari berbuat salah.

 

Hal ini juga ditegaskan akal, karena tidak mungkin Allah swt memerintahkan kepada manusia untuk mematuhi makhluk yang berdosa dan bersalah, sebab jika para pemimpin melakukan kesalahan maka dia akan menyeret semua rakyatnya ke dalam kesalahan dan dosa.

Banyak juga hadis-hadis dari rasulullah saw yang menceritakan tentang keluarganya (‘itrah)-nya, bahwa mereka adalah para washi, para khalifah, para pemimpin pembawa hidayah, pelita dikegelapan, dan pegangan yang kuat. Mereka adalah ahlidz-dzikir, yang mendalam ilmunya (ar-rasikhuna fil-‘ilm), dan ulil amri yang telah ditetapkan oleh Allah bahwa kepatuhan kepada mereka berarti kepatuhan kepada-Nya

 

Tuduhan kelima

Bahwa syiah menyakini bahwa para imam mereka mengetahui hal-hal ghaib, sementara Rasulullah sendiri bersabda seperti dikutip dalam alquran,”sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya (QS. Al A’raf ayat 188).

 

Jawaban Ulama Syiah

Bahwa ayat yang disebutkan diatas tidak menyangkal mengetahui pengetahuan yang gaib dari Rasulullah saw. Ayat itu hanya berbicara tentang permintaan orang-orang musyrik kepada beliau untuk menunjukkan hal-hal yang luar biasa. Perlu diketahui bahwa Rasulullah saw mengetahui hal gaib dan telah berbicara kepada para sahabatnya banyak hal gaib yang akan terjadi pada 50 tahun setelah beliau wafat. Antara lain adalah sabdanya,”putraku Hasan akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslim. Sabdanya,” Ammar akan terbunuh oleh kelompok durhaka. Sabdanya,”Wahai Ali, engkau akan terbunuh oleh orang yang paling celaka dari generasi terakhir yang menebas kepalamu hingga darah membasahi janggutmu. Sabdanya,”Khilafah sepeninggalku adalah 30 tahun dan selanjutnya adalah kerajaan yang represif. Sabdanya,”Putraku Al Husein akan terbunuh di negeri derita (karb) dan bencana (bala). Sabdanya kepada Abu Dzar al Ghifaru,”kamu akan meninggal dalam kesendirian dan dibangkitkan juga sendirian. Sabdanya kepada putrinyaAz Zahra as,”kamu adalah orang pertama yang akan menyusulku (ke alam baqa). Sabdanya kepada sahabat-sahabatnya,”akan dibukakan bagi kalian pusaka-pusaka Kisra dan Romawi. Sabdanya kepada mereka,”sungguh-sungguh kalian akan mengikuti tradisi kaum-kaum sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sedepa demi sedepa hingga kalaupun mereka masuk ke lubang biawak niscaya kalian akan memasukinya juga (kaum itu adalah yahudi dan nasrani). Sabdanya kepada Ali as,”sungguh umat ini akan mengkhianatimu sepeninggalku. Karena itu, bersabarlah sampai engkau bertemu denganmu dalam keadaan terzalimi.

 

Itu adalah beberapa hal gaib yang diberitahukan oleh Rasulullah saw . Masih banyak hal gaib lainnya yang dicatat oleh sejarahwan dan ahli hadis.

 

Bahwa keyakinan kaum syiah bahwa para Imam mereka mengetahui hal-hal yang gaib adalah keyakinan yang benar karena Allah memperlihatkan kepada mereka beberapa hal gaib itu melalui Rasul-Nya yang mulia. Allah swt berfirman,”Dia mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.. (QA. Al Jin ayat 26-27).

 

Bahwa para Imam syiah adalah mewarisi pengetahuan dari Rasulullah saw yang beliau ajarkan kepada washinya Ali bin Abi Thalib, Ali mengajarkannya kepada para washinya yaitu Hasan dan Husein. Dan Husein mengajarkannya kepada para Imam Maksum dari keturunannya. Para sejarahwan dari kalangan suni, syiah dan mu’tazilah telah mencatat banyak berita gaib yang dibicarakan oleh Amirul Mukminim Ali bin Abi Thalib pada masa kekhalifahannya, dan telah benar-benar terjadi persis yang disampaikan oleh beliau. Membahas hal ini akan menjadi pembicaraan yang panjang jadi kami cukupkan sampai disini.

 

Tuduhan keenam

Bahwa syiah telah melakukan penambahan dalam lafadz azan dengan mengucapkan ,”Aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah dan keturunannya yang maksum adalah hujjah Allah.

 

Jawaban Ulama Syiah

Orang-orang syiah mengucapkan kalimat ini sebagai hal yang disukai (istihbab) semata, bukan sebagai kewajiban (wujub), dan ini merupakan respon terhadap orang –orang yang mengutuk Ali As.

 

Tuduhan ketujuh

Bahwa kaum syiah telah melakukan perbuatan menyiksa diri sendiri dengan memukul kepala mereka dengan pedang pada peringatan hari Asyura.

 

Jawaban Ulama Syiah

Tidak semua orang syiah melakukan hal itu, tetapi beberapa orang syiah saja yang diliputi oleh emosi karena besarnya cinta dan kasih sayang mereka kepada Husein bin Ali, pemimpin para syuhada dan pemuka kaum muda penghuni surga, serta atas pembunuhan dan pembantaian yang terjadi padanya. Untuk itu, mereka diberi pahala, demikian menurut marja yang menjadi tempat rujukan mereka.

 

Akan tetapi 90 persen marja syiah melarang dan mengharamkan tindakan tersebut. Dan ini tidak diketahui oleh suni sehingga mereka menganggap bahwa itu semua dianjurkan oleh ulama syiah.

 

Mayoritas ulama Syiah berfatwa bahwa melukai diri (qameh zani) dalam acara-acara asyuro maupun hari-hari duka cita adalah pebuatan haram dan bertentangan dengan agama.

Tak kurang dari Ayatullah Bagir Shadr, Imam Khomaini, Ayatullah Ali Khamenei, Ayatulah Ali Sistani, Ayatullah Jawadi Amuli, Ayatullah Makarim Syirazi, Ayatullah Mazaheri Isfahani, Ayatullah Kazim Haeri dll ... semua berfatwa mengenai keharaman melukai diri sendiri.

 

Mengapa fatwa seperti itu harus dkeluarkan? Karena faktanya memang pernah ada sekelompok kecil kaum syiah yang ekstrem melakukan qameh zani tsb, misalnya di wilayah Pakistan, yang foto mereka itulah yang terus menerus disebarkan hingga sekarang.

Bagi mereka yang pernah bermukim di Iran, Irak dan Lebanon, dengan gambling akan berkata, bahwa mereka tidak menjumpai tindakan qameh zani tersebut.

Juga di banyak Negara termasuk Indonesia. Dalam acara duka cita asyuro, paling banter hanya menepuk-nepuk dada sebagai symbol duka cita.

 

Mengenai peringatan hari Asyura

Asyura bukanlah hari raya, melainkan hari duka cita.

Asyura adalah peristiwa pembantaian keluarga Nabi saw di suatu tempat bernama Karbala, Irak selatan. Peristiwa ini berlangsung pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah, sekitar 50 tahun setelah wafatnya Nabi.

 

Peristiwa asyura disebut sangat tragis karena beberapa hal berikut ini :

·      Perang terjadi antara kafilah keluarga Nabi Muhammad SAW melawan 30.000 pasukan yang semuanya adalah orang Islam. Pasukan itu sendiri dipimpin oleh Umar, putera dari Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat besar Nabi. Artinya, saat itu orang-orang Islam melakukan pembantaian terhadap anak-keturunan dari nabi mereka sendiri.

·      Rombongan keluarga Nabi sempat disiksa rasa haus selama tiga hari sebelum akhirnya dibunuh. Pasukan Umar memblokade sungai Eufrat sehingga keluarga Nabi tidak bisa mengambil air minum.

·      Jenazah Al Husayn dan rombongannya dimutilasi. Kepala mereka dipenggal dan ditancapkan diatas tombak. Lalu, kepala-kepala itu diarak ke Kufah dan ke Syam (Suriah) untuk dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah.

·      Sisa rombongan keluarga Nabi yang masih hidup yaitu para wanita dan 2 pria yang tidak berdaya, digiring dan dirantai. Mereka diharuskan mengikuti arak-arakan kepala yang ditancapkan di atas tombak, untuk dipertontonkan kepada umat Islam di kota-kota yang dilewati.

 

Hal-hal diatas adalah fakta yang disepakati kebenaran peristiwanya baik oleh sejarawan Sunni maupun Syiah.

Nah, para muslim Syiah memperingati peristiwa Asyuro tersebut terutama memperingati syahid nya Imam Husain as, sama seperti sebagian umat Islam menyelenggarakan acara HAUL tokoh-tokoh atau ulama-ulama dalam rangka mengenang keteladan dari tokoh yang ia peringati. 

Apabila umat Islam sunni sering mengadakan haul setiap tahun untuk berbagai tokoh ulama-ulama, lalu mengapa kaum syiah tidak boleh mengadakan haul untuk memperingati syahid nya penghulu para syuhada, Imam Husain as? Itulah yang dimaksud dengan peringatan Asyura.

 

Tuduhan kedelapan

Bahwa syiah menganggap para marja mereka sebagai maksum seperti Imam Khomeini, Al Khui dan lainnya

 

Jawaban Ulama Syiah

Yang dianggap maksum oleh kaum syiah adalah para Imam yang disebutkan oleh Rasulullah dalam shahih Bukhari dan Muslim adalah berjumlah 12 Imam. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, dan Sembilan imam dari keturunan Husein. Jika kepada mereka kita tambahkan Rasulullah saw dan putrinya Fathimah As, maka jumlah seluruhnya ada empat belas. Rasulullah sudah pasti kemaksumannya. Adapun fathimah kemaksumannya dijelaskan adalah  QS. Al Ahzab ayat 33.  Dialah perempuan satu-satunya di tengah umat ini yang ditetapkan kemaksumannya.

 

Kita harus membedakan antara Imam syiah dan Marja syiah. Kaum syiah tidak mengakui kemaksuman kecuali pada Nabi dan para Imam. Jumlah Imam adalah dua belas dan mereka tidak bertambah dan tidak berkurang. Adapun orang selain mereka tidak ada yang maksum betapapun mereka memiliki kedudukan yang tinggi dalam hal keilmuan dan ketaqwaan.

 

 

Tuduhan kesembilan

Bahwa syiah adalah sesat karena mereka tidak mengakui adanya rukun iman yang enam yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-Nya, kepada nabi-Nya, kepada qadha dan qadar, serta iman kepada hari akhir.

Sementara syiah hanya memiliki lima rukun iman yaitu tauhid, keadilan Allah, kenabian, Imamah dan hari kiamat.

 

Jawaban Ulama Syiah

Perlu diketahui, bahwa rukun Iman dan rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia saat ini adalah sebuah formula/rumusan yang disusun oleh para ulama teologi Asy'ariyah.

Tetapi tak dapat dipungkiri, bahwa teologi Asy’ariyah hanyalah salah satu aliran dari banyak himpunan aliran lain yang ada dalam mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Misalnya, ada aliran teologi Maturidiyah. Juga ada aliran Mu’tazilah. Masing-masing aliran ini juga memiliki rumusan formula tersendiri tentang Rukun Iman dan Rukun Islam nya, yang juga berbeda dengan rumusan teologi Asya’riyah.

 

Ahlul Hadis dan teologi Salafi yang menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang juga berbeda dengan Asy’ariyah.

Jadi hal paling penting untuk digarisbawahi adalah:  jika ada bagian keimanan yang tidak dimasukkan ke dalam formula atau rumusan sebuah rukun iman, bukan berarti bahwa bagian tersebut tidak diimani oleh para pengikut aliran tsb. Hanya saja, rumusan formulanya memang berbeda.
Contohnya ...

Dalam rukun iman Sunni tercantum iman kepada kitab-kitab suci, sedangkan di dalam rukun Syiah tidak tercantum. Apakah Syiah tidak mempercayai kitab suci?

Tentu saja tidak demikian. Orang-orang Syiah jelas meyakini keberadaan kitab-kitab suci dan bahwa kltab-kitab suci tersebut diturunkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasulnya.

Hanya saja Syiah tidak mencantumkannya secara tersendiri, tapi memasukkannya ke dalam sub-bagian dari nubuwwah (kenabian), yaitu nubuwah para Nabi terdahulu, dan Nabi terakhir  Muhammad SAW.

Hal yang sama juga berlaku pada keimanan pada malaikat dan qadha/qadar. Syiah percaya bahwa malaikat ltu memang ada dan mereka masing-masing punya sejumlah tugas.

Syiah juga percaya bahwa Allah punya ketetapan yang tidak mungkin bisa dilawan oleh siapapun. Hanya saja, Syiah memasukkan bahasan tentang hal ini pada sub-bagian bab pembahasan pilar yang lainnya.

Sunni membatasi rukun iman hanya kepada enam perkara. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa Sunni tidak percaya kepada hal-hal yang lain.

Ketika Sunni hanya memasukkan adanya ketetapan Allah sebagai rukun iman, bukan berarti mereka menolak sifat-sifat Allah yang lain seperti Mahatahu, Mahahidup. dan Mahaabadi.

Sunni juga tidak memasukkan kepercayaan terhadap alam kubur dan kefanaan dunia dalam rukun iman mereka, meskipun jelas sekali bahwa mereka meyakininya.

Jadi ... sekali lagi ...  sekadar tidak memasukkan suatu kepercayaan ke dalam rukun iman, bukan berarti tidak mempercayainya. Itu point utama yang perlu kita sadari.

 

Kasus yang sama juga berlaku pada rukun lslam-nya orang Syiah. Isu yang dihembus-hembuskan adalah, orang Syiah punya rukun Islam yang berbeda, yaitu: Shalat, Puasa, Zakat,Haji,Wilayah.

Pertanyaannya, apakah orang Syiah tidak bersyahadat? Tentu saja mereka bersyahadat.

Silakan telaah buku-buku tuntunan cara beribadah orang-orang Syiah. Pasti akan mendapati bahwa pembacaan Syahadatain (dua kalimat syahadat) merupakan salah satu kewajiban di dalam salat. Syahadatain juga wajib dibaca oleh khatib salat Jumat.

 

Penelaahan yang seksama terbadap bab-bab fikih orang Sy‘iah (bukan hanya bersandarkan kepada ‘katanya’) akan menuntun kita pada pemahaman bahwa apa yang dipercayai oleh orang Sunni sebagai pilar keislaman juga dipercayai oleh orang Syiah.

 

Orang Syiah juga percaya kepada ajaran amar makruf nahi munkar, munakahat (pernikahan), waqaf, jihad, mu’amalah. hukum warisan, thaharah, mengurus jenazah, dan lain sebagainya. Semuanya sama. Seandainyapun ada perbedaan dalam tata cara, perbedaan tersebut amat sangat sedikit. Tapi, bukankah di antara mazhab fikih Sunni sendiri (Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) sendiri ada banyak perbedaan dalam hal tata cara beribadah?

 

 

Tuduhan kesepuluh

Ada yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba, seorang yahudi adalah sebagai pendiri Syiah

 

Jawaban Ulama Syiah

Sosok yang bernama Abdullah bin Saba banyak diyakini sebagian umat Islam awam sebagai pendiri Syiah, yaitu seorang Yahudi yang bertujuan memecah belah umat Islam.

Padahal dalam Syiah sendiri, sosok ini tidak pernah disebut-sebut atau dirujuk atau diingat-ingat, baik dalam semua kitab Syiah maupun dalam pembicaraan para ulama Syiah.

 

Kalau memang orang ini ada dan merupakan pendiri, tentunya perkataannya akan selalu dirujuk dan dijadikan pedoman oleh Syiah. Namanya pun mestilah akan termaktub dalam berbagai riwayat sebagaimana layaknya seorang pendiri dalam berbagai aliran atau madzhab semisal madzhab Hanafiah, atau Maliki atau Syafi’i ataupun Hambali.

Syiah terkenal sangat menghormati para Wali dan Imam nya; dan mewujudkannya dalam bentuk ziarah-ziarah. Tentunya, apabila memang sosok ini ada apalagi sebagai pendiri, harus lah jelas dimana makamnya dan bagaimana riwayatnya sehingga layak untuk diziarahi dan diingat-ingat, baik ketika lahirnya maupun wafatnya. Pada faktanya, sosok ini sangat tidak jelas.

 

Terlepas dari fakta yang ada, perlu kiranya disampaikan 3 hal utama terkait Abdullah bin Saba sebagai sosok yang patut diragukan keberadaannya:

·      Kesimpangsiuran informasi, sehingga tidak jelas siapakah sebenarnya sosok ini. Menurut Ibn Hazm dan Syahrastani, sosok ini sebenarnya bernama Ibnu Sauda. Tetapi Ibn Thahir Al Bagdadi dalam kitabnya ‘Al-Farqu Bainal Firaq’, dan Al Asfaraini dalam kitabnya ‘At-Tabsyirah fid-Diin’ menyebutkan bahwa Ibnu Sauda bukanlah Abdullah bin Saba.

·      Demikian pula dengan asal muasalnya. Di kitab lain dikatakan berasal dari San’a Yaman, sedangkan di kitab lain, disebut berasal dari Hira. Kemunculannya di satu kitab dikatakan pada zaman Ustman bin Affan, di kitab lain dikatakan pada zaman pemerintahan Ali.

·      Ajaran-ajarannya yang termaktub dalam berbagai kitab juga berbeda-beda. Di satu kitab dikatakan dia mengajarkan bahwa Muhammad akan hidup kembali. Di kitab lain, Ali lah yang akan hidup kembali. Di kitab lain, dia mengajarkan bahwa Ali adalah tuhan seutuhnya tetapi di kitab lain disebutkan bahwa dia mengatakan adanya sebagian sifat Tuhan pada diri Ali.

 

Dari ajaran yang serba tidak jelas itu, apalagi menyangkut akidah maka jelas menunjukkan bahwa sosok ini, kalaupun benar ada, bukanlah orang yang layak diikuti oleh syiah.

 

Lalu, dari mana datangnya cerita Abdullah bin Saba ini?

Riwayat tentang sosok ini berasal dari kitab Tarikh Thabari melalui 2 orang sebagai narasumbernya yaitu Saif bin Umar Attamimi dan As-Surri bin Yahya. 

Tetapi ternyata dari berbagai kitab tentang biografi para perawi telah disebutkan bahwa Saif bin Umar adalah seorang periwayat palsu, tidak bisa dipercaya, zindiq, munkar dan lemah (Ibnu Hayyan, Al-Hakim An-Naisaburi, Ibnu Addiy, Ibnu Mu’in, Abu Dawud, An-Nasa’I dan As-Suyuthi). 

 

Penilaian tersebut juga berlaku untuk As-Surri bin Yahya yang bahkan disebut sebagai Al-Kadzdzab (tukang bohong) oleh para ulama hadits terkenal.

Dari berbagai fakta itu, jelaslah bahwa tuduhan/fitnah syiah didirikan oleh Abdullah bin Saba sama sekali tidak masuk akal dan terbantahkan dengan sangat mudah. 



 

Tuduhan kesebelas

Bahwa syiah sering menyembunyikan identitasnya dengan berlindung dibalik yang namanya Taqiyyah.

 

Jawaban Ulama Syiah

Taqiyyah adalah menyembunyikan keyakinan yang dianutnya dengan menampakkan sikap lahiriah yang berbeda, disebabkan oleh adanya alasan-alasan yang membahayakan jiwa atau hartanya, baik dirinya ataupun orang lain. 

 

Hal ini umumnya terpaksa dilakukan kaum syiah yang berada di wilayah-wilayah yang "tidak aman" untuk memperlihatkan keyakinan syiahnya (terancam dibunuh, terancam harta dan rezkinya, dlsb).

 

Beberapa dalil  bolehnya bertaqiyyah, tertulis dalam al-quran, misalnya:

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka....” (Qs Ali Imran [3]: 28)

dan ayat 

"Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs Al-Nahl [16]: 106)

 

Ada beberapa contoh dalam sejarah yang membuktikan bahwa melakukan taqiyyah merupakan bagian dari ajaran Islam. Diantaranya yang terkenal adalah taqiyyah yang dilakukan oleh Asiyah (istri Fir'aun) yang menyembunyikan keyakinannya di hadapan Fir'aun.

Selain itu juga terkenal sekali kisah bagaimana salah satu sahabat Nabi saw bernama Ammar bin Yasir yang terpaksa taqiyyah karena terancam terbunuh padahal hatinya penuh dengan keimanan.

 

Tuduhan keduabelas

Bahwa syiah memiliki syahadat tersendiri yang berbeda dengan syahadat kaum muslimin pada umumnya. Syahadat syiah adalah dengan menambahkan,” wa ‘Aliyyan waliyyullâh.”

 

Jawaban Ulama Syiah

Syiah meyakini bahwa syahadat merupakan ikrar yang paling penting dalam Islam. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah bukti seseorang telah mengucapkan ikrar yang agung dan pertanda perubahan keimanannya untuk menjadi seorang muslim.

 

Syiah tidak mengakui adanya tambahan lain atas teks syahadat sebagaimana ijmak kaum muslimin. Tambahan teks “wa ‘Aliyyan waliyyullâh” sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku rujukan Syiah. 

Bahkan, penambahan teks tersebut, sebagaimana yang dituduhkan kepada Syiah dalam azan, adalah bid'ah menurut jumhur ulama Syiah.

 

Sebagian perilaku awam yang menambahkan kalimat sebagaimana yang dituduhkan sebagai syahadat syiah yang beda dengan syahadat sunni ... tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar, karena perilaku awam bukanlah sumber hukum atau pun otoritas yang dapat dipegang dalam menilai mazhab mana pun.

 

Bahkan, di dalam Kitab Wasâil Al-Syi’ah bab 19 tentang azan dan ikamah disebutkan larangan untuk menambah teks “wa ‘Aliyyan waliyullâh” dalam azan. 

Bahkan, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dimasukkan dengan tidak sahih dalam kitab-kitab Syiah. Hal yang sama disebutkan dalam semua referensi Syiah lain.

 

Dalam pandangan syiah juga, siapapun kaum muslimin ahlus sunnah wal jamaah (sunni) yang memilih mazhab syiah, maka ia tidak perlu melakukan syahadat lagi. Sebab dalam syiah, semua muslimin sunni adalah sudah beragama Islam. Karena itulah ia tidak perlu ber syahadat lagi.

 

 

 

Tuduhan ketigabelas

Bahwa syiah selalu menjadikan hadis Ghadir kum sebagai dalil bahwa Imam Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kaum muslimin sepeninggal Nabi Muhammad saw. Apa sebenarnya peristiwa Ghadir kum tersebut ? 

 

Jawaban Ulama Syiah

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10H yang diriwayatkan juga di berbagai kitab Sunni sebagai peristiwa yang benar terjadi dalam sejarah Islam (Ath Thabari, Al Hamedani dan Al Bahgdadi) dan atas dasar hadits mutawattir (Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hajar, Jazari Asy Syafi’i, As Sajestani dan An Nasa’i), dengan perawi dari kalangan para sahabat yang jumlahnya beragam sampai 110 orang (catatan Allamah Amini dari berbagai kitab hadits Sunni).

 

Perbedaan yang diyakini atas peristiwa itu terletak pada kata “Maula” yang diucapkan Rasulullah SAW ketika mengangkat tangan Ali dihadapan umatnya di lembah (Ghadir) bernama Rabigh atau Khum, sejauh 3 mil dari Juhfah, setelah terlebih dulu mengumpulkan umatnya sepulang dari berhaji di Mekah menuju Madinah.

 

Sebelumnya, Allah SWT terlebih dulu menurunkan ayat 67 Surah Al Maidah: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan Risalah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

 

Maka saat itu di siang hari terik memanggang padang sahara, beliau SAWW memanggil jamaah haji yang sudah terlanjur berada di depan dan yang di belakang ditunggu sampai semua berkumpul.

Kemudian setelah shalat berjama’ah, beliau SAWW berpidato tentang akidah, diatas mimbar yang terdiri dari tumpukan pelana unta. Usai berpidato, beliau SAWW menyampaikan: “Aku tinggalkan dua pusaka yang berharga, yaitu Al Qur’an dan Ahlul Bait”.

 

Kemudian memanggil Ali dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga terlihat bagian putih dari lengan bawah kedua nya, serta melanjutkan: “Allah adalah Pemimpin (Maula) ku dan aku adalah pemimpin (maula) bagi orang-orang yang beriman. Aku lebih utama bagi kaum mukminin dibandingkan diri mereka sendiri. Maka, siapa saja yang menjadikan aku sebagai pemimpin (maula) nya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga”.

 

Usai beliau membubarkan jemaahnya, turunlah ayat 3 surah Al-Maidah: “Hari ini, Aku sempurnakan agama kalian, Kucukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku rela Islam menjadi agama kalian”.

Hanya sedikit ulama Sunni yang menyangkal terjadinya peristiwa tersebut. Hanya saja, kata Maula yang diucapkan beliau SAWW dimaknai bukan sebagai pemimpin, tetapi hanya sebagai “orang yang dicintai”.

Adapun Syiah meyakini kata Maula tersebut adalah bermakna pemimpin. Karena itu peristiwa Ghadir Kum ini juga dirayakan setiap tahun oleh masyarakat Syiah sebagai salah satu hari raya, selain hari raya Ied Fitri dan Ied Adha.

 

Penutup

Bahwa munculnya istilah suni dan syiah sebenarnya berawal dari masalah politik yang bersumber dari perbedaan pendapat diantara para sahabat terkait siapa sesungguhnya yang lebih layak diikuti sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah saw.

 

Dalam Keyakinan Sunni:

·      Rasulullah saw tidak dengan jelas menunjuk penggantinya. Dengan demikian masalah siapa pengganti beliau dalam kepemimpinan umat diserahkan kepada musyawarah kaum muslimin (QS. Asy-Syura ayat 38)

·      Namun demikian, beberapa peristiwa dimaknai sebagai petunjuk beliau bahwa penggantinya adalah Abu Bakar, yaitu: Mengajak Abu Bakar untuk menemaninya hijrah dari Mekah ke Madinah. Menikahi anaknya dan Memintanya mengimami shalat disaat beliau sedang sakit parah

 

Sedangkan dalam Keyakinan Syiah:

·      Rasulullah saw telah dengan jelas dan tegas menunjuk penggantinya.

·      Sebagai pemimpin yang baik, terutama demi pentingnya menjaga kemurnian ajaran Islam, maka tidak mungkin beliau meninggalkan umatnya begitu saja.

·      Berbagai riwayat yang juga ada dalam kitab-kitab Sunni telah menunjukkan hal ini dengan jelas, bahwa beliau telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya.

 

Fakta-fakta seputar kelayakan Ali bin Abi Thalib menjadi pengganti Rasulullah saw:

·      Kerabat terdekat Rasulullah saw, baik sebagai sepupu maupun mantu.

·      Terdahulu masuk Islam (as Saabiquunal Awwalun).

·      Pahlawan perang, sampai ada pepatah Arab “Tidak ada pemuda setangguh Ali, tak ada pedang sesakti Dzulfiqar” (Dzulfiqar adalah pedang Ali dalam setiap peperangan).

·      Paling berilmu, sehingga mendapat julukan Babul ‘ilm atau Pintu Ilmu sesuai hadits beliau SAWW, “Aku adalah Kota Ilmu dan Ali adalah gerbangnya. Siapa yang mau memasuki sebuah kota, hendaknya dia masuk lewat pintunya”.

·      Imam Kaum Sufi, sehingga dikenal sebagai Divine Wisdom (imam dalam Ilmu Hikmah) dan Spiritual Warriorship (Futuwwah). Hampir semua tarekat bermuara kepada ajaran Ali dan para pendirinya adalah keturunannya, antara lain Syekh Abdu Qadir Jaelani, pendiri tarekat Qadiriah. Penghormatan kaum sufi kepada Ali sangat tinggi sehingga beliau mendapat julukan Karamallahu Wajhahu (Semoga Allah memuliakan wajahnya).

·      Orang Arab terfasih setelah Rasulullah SAWW, sehingga Ibn Abil Hadid (ulama dan sastrawan terkenal Mu’tazilah di abad ke-7 menyusun buku berjudul “Syarah Nahjul Balaghah” dengan kata pengantar: ”Demi Yang Maha Benar, perkataan Ali di bawah firman Khaliq dan diatas perkataan makhluk. Masyarakat bisa belajar disiplin ilmu retorika dan penulisan dari Ali.”

·      Keterpesonaan atas kefasihan Ali ini juga diutarakan oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam buku Syarahnya atas Nahjul Balaghah: “Tak seorangpun dari suku Arab yang tidak meyakini bahwa setelah Al Qur’an dan sabda Nabi SAW, ucapan Ali adalah yang termulia, terfasih, paling berbobot, dan juga paling komprehensif”.

·      Khalifah ke-4 yang diangkat umat secara ber ramai-ramai menjadi Khalifah setelah Utsman bin Affan. Ketegasan Ali dalam memimpin umat menimbulkan perlawanan yang mendorong terjadinya 3 peperangan, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawan.

 

Makna kata syiah sebenarnya dalam bahasa Arab berarti ‘pengikut’. Namun dalam perjalanan waktu, kata ini kemudian dijadikan label bagi umat Islam yang meyakini bahwa pengganti Rasulullah SAW adalah Ali dan memutuskan untuk memilih Ali sebagai pemimpinnya. 

Konsekuensi dari pilihan ini adalah lebih mengutamakan pendapat dan ajaran Rasulullah saw yang disampaikan oleh Imam Ali as untuk diikuti dalam menjalankan ajaran Islam.

 

Bahwa sudah saatnya wacana syiah sesat, kafir dan bukan Islam tidak perlu lagi diperdebatkan apalagi dipropagandakan lagi. Umat Islam seharusnya mengikuti perintah Allah swt untuk bersatu dan tidak berpecah belah (QS. Al Imran ayat 103).

 

Para ulama-ulama Islam dari berbagai madzhab  telah mengupayakan persatuan ini.  Salah satu resolusi persatuan yang dihasilkan oleh para ulama seluruh dunia yang sangat terkenal adalah Risalah Amman, yang mana dalam resolusi itu dikatakan bahwa Mazhab Syiah diakui sebagai salah satu dari 8 madzhab dalam Islam, sehingga tidak boleh dikafirkan.

 

Resolusi ini dikeluarkan di Jordania atas prakarsa Raja Abdullah II, ditandatangani oleh kurang lebih 500 ulama terkemuka dari 50 negara termasuk Indonesia, dan diadopsi oleh 6 dewan ulama islam internasional pada sidang Organisasi Konferensi Islam di Mekah pada bulan Juli 2006.

Adapun ulama Indonesia yang ikut menandatangani risalah amman tsb adalah Maftuh Basyuni (Menag RI pada saat itu), Ketum PB NU Hasyim Muzadi, dan Ketum Muhammadiyyah Din Syamsuddin.

 

Wallahu’alam


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kew...

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejay...

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dala...