Kegiatan pengadaan tanah untuk
pembangunan diatur dalam :
1. Undang-undang
Republik indonesia nomor
2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
2. Perpres
No. 71 tahun 2012 tentang penyelengaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum
3. Perpres
99 tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Perpres No. 71 tahun 2012 tentang
penyelengaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
4. Perpres
30 tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas Perpres No. 71 tahun 2012 tentang
penyelengaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
5. Perpres
148 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres No. 71 tahun 2012 tentang
penyelengaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Tanah negara sudah sangat terbatas
atau sudah tidak ada lagi untuk keperluan berbagai pembangunan, oleh karena itu
dilakukan pengadaan tanah dengan cara mengambil tanah rakyat dengan mekanisme
ganti kerugian.
Pasal 18 UUPA (UU No 5 tahun 1960)
menegaskan bahwa untuk kepentingan umum hak atas tanah bisa dicabut dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak sesuai dengan cara yang diatur UU. Ganti
kerugian ini diberikan dalam bentuk Uang, tanah pengganti, Pemukiman kembali,
Kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
(Pasal 36 UU No 2 tahun 2012 ).
Pada dasarnya pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan
adil. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan
tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai. Untuk melihat besarnya nilai kerugian yang akan ditetapkan maka Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah akan mengacu pada hasil penilaian dari jasa penilai
atau penilai publik.
Setelah dikeluarkan besaran nilai kerugian tersebut maka pihak yang
menguasai objek tanah akan dipertemukan dalam sebuah musyawarah dengan lembaga
pertanahan guna menetapkan besar dan bentuk ganti kerugian yang akan diberikan
kepada mereka. Apabila musyawarah selama
30 hari tidak menemukan kata sepakat, pihak yang berhak dapat menempuh
upaya keberatan ke Pengadilan Negeri setempat.
Bahwa modus yang sering digunakan
dalam ganti rugi tanah adalah harga tanah digelembungkan. Pembayaran bukan
kepada pemilik tanah secara langsung, salah ukur, kebesaran taksasi nilai ganti
kerugian. Maka untuk menghindari adanya kerugian Negara dalam ganti rugi untuk
pengadaan tanah maka perlu diteliti nama
pemilik tanah, luas tanah, letak tanah, dan batas tanah secara jelas.
Penyelenggaran pengadaan tanah untuk
kepentingan umum diselenggarakan melalui tahapan-tahapan perencanaan,
persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.
Tahapan awal pengadaan tanah :
1. Masalah
perizinan
Bahwa alokasi tanah
untuk kepentingan umum dilakukan melalui penetapan lokasi yang dilakukan oleh
Gubernur. (UU No. 2 tahun 2012 pada pasal 19 ayat (5) yang menegaskan “…..
instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada
Gubernur.
Adapun
kegiatan untuk memperoleh penetapan lokasi dalam kegiatan pengadaan tanah
dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap perencanaan dan tahap persiapan
pengadaan tanah.
a. Tahap perencanaan
Langkah
awal untuk memperoleh penetapan lokasi, instansi pemeritah yang memerlukan
tanah harus membuat perencanaan pengadaan tanah yang dimuat dalam dokumen
perencanaan (pasal 14 UU No. 2 tahun 2012 Jo. Pasal 3 Peraturan presiden No. 71
tahun 2012). Dokumen perencanaan tersebut disampaikan kepada Gubernur. Apa-apa
saja yang dimuat dalam dokumen perencanaan diatur dalam pasal 15 ayat (1) UU
No. 2 tahun 2012 Jo. Pasal 5 ayat (1) peraturan presiden nomor 71 tahun 2012.
b. Tahap persiapan pengadaan tanah
Tahap persiapan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Gubernur setelah
menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dari instansi yang memerlukan
tanah. Dalam rangka persiapan pengadaan tanah, Gubernur membentuk tim persiapan
yang beranggotakan Bupati/walikota SKPD Prov. Terkait, instansi yang memerlukan
tanah dan instansi terkait lainnya.
Tugas tim persiapan dapat dilihat dalam pasal 10 perpres No. 71
tahun 2012.
2. Perencanaan
pengadaan tanah
Langkah awal untuk
memperoleh penetapan lokasi, instansi pemeritah yang memerlukan tanah harus
membuat perencanaan pengadaan tanah yang dimuat dalam dokumen perencanaan
(pasal 14 UU No. 2 tahun 2012 Jo. Pasal 3 Peraturan presiden No. 71 tahun
2012). Dokumen perencanaan tersebut disampaikan kepada Gubernur
3. Persiapan
pengadaan tanah
Tahap persiapan
pengadaan tanah dilaksanakan oleh Gubernur setelah menerima dokumen perencanaan
pengadaan tanah dari Instansi yang memerlukan pengadaan tanah.(Gubernur dapat
mendelegasikan kewenangannya kepada Bupati)
4. Pelaksanaan pengadaan tanah
Pelaksanaan pengadaan
tanah dilaksanakan oleh Kepala Kantor wilayah BPN selaku Ketua pelaksana
pengadaan tanah. Kepala Kanwil BPN dapat menugaskan Kepala Kantor pertanahan
sebagai ketua pelaksana pengadaan tanah.
Pelaksana pengadaan tanah
dibantu oleh sekretaris pelaksana pengadaan tanah dengan tugas menyiapkan
administrasi pengadaan tanah yang meliputi keuangan pendokumentasian dan surat
menyurat lainnya .
Ketua pelaksana
pengadaan tanah membentuk satgas terdiri dari satgas A dan satgas B yang
membidangi Inventarisasi dan Identifikasi. Satgas A (data fisik) bertugas
melakukan inventrisasi dan identifikasi data fisik penguasaan , pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Satgas B (data yuridis) bertugas melakukan
inventarisasi dan identifikasi data pihak yang berhak dan objek pengadaan
tanah.
Hasil inventarisasi dan
identifikasi satgas B dibuat dalam bentuk daftar nominatif paling kurang memuat
: identitas pihak yang berhak, letak, luas dan status/jenis hak, luas dan jenis
bangunan, jenis penggunaan. Hasil inventarisasi dan identifikasi diserahkan
oleh ketua satgas kepada ketua pelaksana pengadaan tanah dengan berita acara
hasil inventarisasi dan identifikasi. Hasil inventarisasi dan identifikasi dari
satgas A (data fisik) dan satgas B (data yuridis) kemudian diumumkan di kantor
kel/desa atau nama lain, kantor kec dan lokasi pembangunan dalam waktu 14 hari
kerja. Setelah inventarisasi dan identifikasi telah selesai selanjutnya
dilakukan penilaian tanah, ganti kerugian dan pelepasan hak.
Penilaian
ganti kerugian
Penilaian
ganti kerugian dilakukan untuk menentukan nilai tanah yang akan dibebaskan dan
digunakan sebagai dasar besaran ganti kerugian kepada yang berhak. Penilaian
tanah dilakukan oleh tim penilai tanah.
Tim
penilai dipilih berdasarkan lelang mengacu kepada Perpres 54 tahun 2010 tentang
pengadaan barang dan jasa. (dilakukan dengan seleksi umum atau seleksi
sederhana)
Sebagai bahan penilaian, tim penilai
harga tanah meminta peta bidang tanah, daftar nominative dan data lain yang
diperlukan untuk bahan penilaian dari ketua pelaksana pengadaan tanah. Dan
ketua pengadaan tanah menyerahkan data yang diminta tersebut.
Penilai tanah melakukan penilaian
besarnya ganti kerugian perbidang tanah meliputi tanah, ruang atas tanah dan
bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah atau kerugian
lain yang dapat dinilai.
Besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian oleh penilai yang
kemudian disampaikan kepada ketua pelaksana pengadaan tanah dengan berita acara
penyerahan hasil penilaian.
1. Ganti
kerugian
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh ketua
pelaksana pengadaan tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai
publik.
(Berdasarkan pasal pasal 63 Peraturan presiden No. 99 tahun 2014
tentang perubahan kedua atas Peraturan presiden Nomor 71 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum)
Dasar penilaian ganti rugi
adalah nilai penggantian wajar.
Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk ganti
kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian.
2. Pelepasan hak
Pelepasan hak objek
pengadaan tanah dibuat berita acara daftar pelepasan hak objek pengadaan tanah
yang ditandatangani oleh pihak yang berhak dihadapan kepala kantor pertanahan
setempat.
Pengadaan Tanah di
Bawah 5 Ha Bisa Dilakukan Langsung
Dalam rangka
efisiensi dan efektifitas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum dalam skala kecil yang luasannya tidak lebih dari 5 ha (lima hektar),
pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui tahapan-tahapan penyelenggaraan
pengadaan tanah yang ada pada UU no. 2 tahun 2012, yaitu dengan cara jual beli
atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak. Hal
ini sebagaimana diatur dalam pasal 121
Peraturan presiden No. 40 tahun 2014 tentang perubahan atas peraturan presiden
No. 71 tahun 2012 tentang penyelenggaran pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum.
PEMBERIAN GANTI
RUGI TANAH HARUS DENGAN KESEPAKATAN KEDUA BELAH PIHAK
Dalam pemberian
ganti rugi tanah harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan adanya kerelaan
kedua belah pihak. Jangan sampai terjadi pemilik tanah dipaksa untuk
menyerahkan tanahnya dengan harga yang tidak memadai sehingga pemilik tanah
kemudian dirugikan.
Dalam
pandangan Agama Islam pembebasan tanah dengan harga dibawah standar tanpa ada
kesepakatan kedua belah pihak merupakan kezaliman. “Hai orang-orang yang
beriiman jangan kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil
kecuali harta-harta itu adalah harta perniagaan yang keluar dari persetujuan
dari kalian.” (QS. al-Nisa’: 29).
Berdasarkan
firman Allah swt tersebut akad jual-belinya orang yang dipaksa adalah tidak sah
karena tidak ada kerelaan.
TANAH
NEGARA
Tanah negara atau tanah yang langsung
dikuasai oleh negara adalah bagian dari permukaan bumi yang belum ada hak
diatasnya (Pasal 1 angka 3 PP 24/1997)
Terdapat dua unsur tentang tanah
negara yaitu dikuasai langsung / penuh oleh negara, dan tanah yang belum
dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Yang dimaksud dengan tanah yang belum dilekati sesuatu hak adalah
tanah-tanah yang belum terdapat hak-hak atas tanah seperti hak milik, HGU, HGB
dan hak pakai.
Jika
disebutkan tanah tersebut dikuasai makna
yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti
secara nyata digarap, dihuni, dimanfaatkan baik tanah maupun hasilnya, namun
belum tentu bahwa secara yuridis orang tersebut adalah pemilik atau yang
empunya tanah tersebut.
Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, yang
mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak
dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka akan jatuh pada negara dengan
kata lain negaralah pemiliknya.
Di dalam UUPA, sebutan tanah negara
adalah “tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Di dalam pasal 1 atau pasal
2 UUPA menyebutkan bahwa tanah yang dikuasai oleh negara merupakan penjabaran
dari hak menguasai dari negara atas bumi, air dan ruang angkasa.
Bahwa Wewenang pengelolaan atas tanah
negara didistribusikan ke berbagai otoritas. Secara kelembagaan tanah, air,
hutan, wilayah pesisir, mineral dan batu bara, serta minyak dan gas bumi diatur
oleh UU tersendiri yang kemudian penguasaannya didelegasikan ke berbagai
otoritas.
Nama otoritas yang mengelola sumber
daya alam tersebut adalah :
- Tanah oleh kementerian Tata ruang/Badan pertanahan nasional
-
Hutan oleh Kementerian kehutanan dan lingkungan hidup
-
Air oleh kementerian negara pekerjaan umum
-
Wilayah pesisir oleh Departemen kelautan dan perikanan
- Mineral dan batubara serta minyak dan gas bumi oleh Departemen
ESDM.
Masing-masing otoritas tersebut
menerima mandat sebagai pengelola ‘hak menguasai negara” atas sektor-sektor
diatas.
Wewenang penguasaan untuk menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi , air dan
ruang angkasa dapat dipilah menjadi dua :
Pertama, jika meliputi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan maka
bentuk instrument hukum yang diberikan disebut dengan Hak.Kedua, jika hanya meliputi penggunaan dan pemanfaatn
saja disebut dengan izin, license dan kontrak kerja sama. Ketiga, dalam hal
penerbitan instrument hukum public , terdapat perbedaan dari otoritas kehutanan
dan otoritas pertambangan.
Sebelum izin diterbitkan, otoritas
kehutanan mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan hutan (KH) sebagai
areal yang berada dibawah otoritasnya, sedangkan otoritas pertambangan
menetapkan wilayah (WK) kerja bagi minyak dan gas bumi sesuai UU No. 22 tahun
2001 dan wilayah pertambangan (WP) bagi mineral dan batubara sesuai UU No. 4
tahun 2009.
Penetapan kawasan hutan, wilayah kerja, dan wilayah pertambangan
tersebut memberikan kewenangan public kepada kedua otoritas tersebut. Otoritas
kehutanan diberi wewenang untuk melakukan penguasaan, pengurusan, dan juga
memberikan izin pemanfaatan hutan serta izin penggunaan hutan kepada perorangan
atau badan hukum.
Demikian pula dengan penetapan wilayah
kerja dan wilayah pertambangan memberikan wewenang kepada otoritas pertambangan
untuk melakukan penguasaan, pengurusan dan juga memberikan izin usaha serta
kontrak kerja sama kepada perorangan atau badan hukum.
Otoritas pertambangan menetapkan areal
tertentu sebagai wilayah kerja bagi minyak dan gas bumi dan wilayah
pertambangan bagi mineral dan batu bara. Pada wilayah pertambangan tersebut
kemudian ditetapkan wilayah usaha pertambangan (WUP) , wilayah pertambangan
rakyat (WPR) , dan wilayah pencadangan nasional (WPN).
Penetapan status WK, WUP, WPR dan WPN merupakan petunjuk
adanya bahan tambang yang dimungkinkan untuk diekplorasi /dieksploitasi.
Seluruh tanah yang ditunjuk tersebut
diklasifikasikan sebagai tanah negara, baik sebellum ditetapkan WK, WUP, WPR
dan WPN maupun sesudah ditetapkan.
Hak pengelolaan lahan, tidak dapat
diklasifikasikan sebagai tanah negara. Maria SW Sumarjono menyatakan “hak
pengelolaan merupakan bagian dari hak menguasai negara yang sebagian
kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Oleh karena itu HPL merupakan
fungsi/kewenangan public sebagaimana hak menguasai negara. Oleh karena itu
tanah HPL tidak dapat diperjualbelikan/dialihkan, tetapi dapat dilepaskan
(kembali kepada negara) untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan
sesuatu hak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perbedaan
antara tanah negara dan tanah pemerintah
Tanah negara bukanlah tanah yang
dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, sementara tanah pemerintah adalah tanah
yang dikuasai instansi pemerintah tertentu dan dapat diberikan dengan hak atas
tanah berupa hak pakai atau hak pengelolaan.
Kehadiran UU No. 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara dan PP No. 6 tahun 2006 tentang pengelolaan barang milik
negara/Daerah Jo. PP No. 38 tahun 2008 tentang perubahan atas PP No. 6 tahun
2006 membuat istilah tanah negara dengan tanah pemerintah menjadi campur aduk.
Hal ini karena ketentuan tersebut diatas menggunakan terminology barang milik
negara dan barang milik daerah terhadap semua asset yang dimiliki, termasuk
tanah.
Pasal 1 angka 10 UU No. 1 tahun 2004
menyatakan “barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban APBN atau berasal dari perolehan sah lainnya. Dan pasal 1 angka 11
menyatakan “barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban APBD atau berasal dari perolehan sah lainnya.
Namun untuk memperoleh pemahaman bahwa
sesungguhnya tanah-tanah yang menjadi asset pemerintah pusat/daerah itu
merupakan tanah pemerintah – bukan tanah negara – adalah dengan melihat pada
subjek hak (pemegang hak) yang tertera di dalam sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
Di dalam pasal 49 ayat (1) UU No 1
tahun 2004 dinyatakan “barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang
dikuasai pemerintah pusat/daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah
RI/pemerintah daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan UU No 1 tahun 2004
tersebut, maka tanah sebagai asset pemerintah dapat dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu :
1.Kekayaan
negara yang dikelola pemerintah pusat; barang milik negara adalah semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan sah
lainnya
2.Kekayaan
negara yang dikelola pemerintah Daerah; barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan sah lainnya
3.Kekayaan
negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN dan BUMD.
Terkait dengan tanah pemerintah,
Menteri Negara Agraria/kepala BPN pernah menerbitkan SE No. 500-468 tanggal 12
pebruari 1996 tentang masalah Ruislag tanah-tanah pemerintah.
Dalam SE tersebut ditegaskan bahwa
untuk memperoleh kesamaan persepsi mengenai tanah asset pemerintah, maka yang
dimaksud dengan asset adalah :
1. tanah-tanah
bukan pihak lain dan yang telah dikuasai secara fisik oleh instansi pemerintah
2.tanah-tanah
bukan pihak lain yang dikelola dan dipelihara/dirawat dengan dana dari instansi
pemerintah.
3. Tanah-tanah
bukan pihak lain yang telah terdaftar dalam daftar inventaris pemerintah yang
bersangkutan
4. Tanah-tanah
sebagaimana tersebut pada huruf a sampai dengan huruf c, baik yang sudah ada
sertifikatnya maupun yang belum ada sertifikat tanahnya
5.Tanah yang
secara fisik dikuasai atau
digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan hubungan hukum yang dibuat
antara pihak lain dan instansi pemerintah dimaksud.
MENGENAI
HAK GUNA USAHA
Hak guna Usaha (HGU) diatur dalam
PP No. 40 tahun 1996.
Kapan
hak guna usaha hapus ( pasal 17).
(1)
Hak Guna Usaha hapus karena :
a.Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya.
b.Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena
1.Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan/atau Pasal 14;
2. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
4. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
5. Ditelantarkan;
6. Tanahnya musnah;
7. ketentuan Pasal 3 ayat (2).
(2) Hapusnya Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnyamenjadi Tanah Negara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan keputusan Presiden.
Maka Jelaslah sudah bahwa dengan
berakhirnya Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam PP No. 40 tahun 1996 pasal
17 (1) huruf (a) maka Hak Guna Usaha tersebut sudah hapus. Sedangkan dipasal
penjelasan dinyatakan sudah jelas. Untuk pasal 17 (3) soal keputusan Presiden
saat ini belum ada Keputusan Presiden soal tersebut.
Dengan
demikian Hak Guna Usaha yang dipegang oleh sebuah PT. yang berakhir sejak
tanggal 31 Desember 2009, secara otomatis sejak tanggal 1 Januari 2010 menjadi
Tanah yang dikuasai oleh Negara.
PP
No. 40 tahun 1996, mengacu kepada UU No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan UU
Pokok Agraria. Dalam pasal 34 huruf (a). Yang didalam pasal penjelasannya
sebagaimana penjelasan UU ini di angka II, yang pada intinya demi kepastian
hukum. Artinya demi kepastian hukum soal penguasaan/kepemilikan atas tanah yang
HGUnya berakhir, maka tanah tersebut dikuasai oleh negara.
Hal ini sesuai dengan sifat tanah yang
berfungsi sosial, artinya negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi
menguasai tanah tersebut demi kesejahteraan rakyatnya. Karena tanah berfungsi
sosial tersebut maka hukum atas tanah merupakan rumpun Hukum Administrasi
Negara.
Adapun kewajiban bekas pemegang Hak Guna Usaha
dapat dilihat dari pasal 12 ayat 1 huruf (g) dan huruf (h) yang mengenai
Kewajiban Pemegang hak Guna Usaha (g) bekas pemegang Hak menyerahkan kembali
tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna
Usahanya Hapus (h) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus
kepada Kepala Kantor Pertanahan. Maka seharusnya Kantor Pertanahan harus
menarik sertifikat Hak Guna Usaha PT.
yang sudah menjadi tanah negara tersebut.
Artinya
tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut secara otomatis menjadi tanah negara (tanah
yang dikuasai oleh Negara).
Lalu apa yang dimaksud BPN dengan Hak
Perdata? Yang melekat
menjadi Hak Perdata adalah segala sesuatu yang ada diatas bekas Hak Guna Usaha
tersebut (tanaman dan Bangunan). Hal tersebut jelas pada pasal 18 (1) Apabila
Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, bekaspemegang
hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan
menyerahkan tanah dan tanaman yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha
tersebut kepada Negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
Karena
pihak PT. melakukan/mengajukan permohonan perpanjangan/permohonan (yang sudah
diblokir atau diminta oleh Pemerintah Daerah untuk waduk) hak baru maka tanaman
dan bangunan yang ada diatas bekas HGU tersebut melekat Hak Perdata PT. Hak ini
bersumber pada kepemilikan atas bangunan dan tanaman tersebut merupakan hak
pribadi maka atas tanaman dan bangunan diatas tanah tersebut masuk dalam hukum
perdata. Apabila HGU tersebut diajukan oleh perusahaan lain dan mendapatkan
persetujuan dari BPN maka pemegang Hak Baru harus mengganti rugi atas tanaman
dan Bangunan yang ada diatas tanah tersebut. Disitulah dikatakan bahwa Hak
Perdata itu melekat atas tanaman dan bangunan yang ada diatas tanah bekas Hak
Guna Usaha. Bukan melekat atas tanahnya.
Menurut UUPA, dengan berakhirnya ha
katas tanah (HGU,HGB dan HP) maka status tanah tersebut dinyatakan menjadi
tanah Negara dalam arti pemegang hak tidak lagi mempunyai hak
atas bekas HGU/HGB/HP tersebut dengan
merujuk pada PP No 40 tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan
hak pakai.
Yang menjadi persoalan adalah apakah
bekas pemegang hak masih berhak atas tanah bekas HGU/HGB/HP tersebut ?
Selama ini dalam praktek penegakan hukum oleh Kejaksaan, bahwa dengan
berakhirnya hak atas tanah, maka berakhirlah hubungan hokum antara bekas
pemegang ha katas tanah dengan tanah tersebut, sehingga segala bentuk ganti
rugi yang diberikan kepada bekas
pemegang hak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dengan juga pemberian
ganti kerugian (uang talih asih, kerohiman, dsb) dalam hal pengadaan tanah
kepada orang-orang yang menguasai tanah Negara, dikategorikan sebagai tipikor.
Khusus untuk tanah-tanah bekas HGU
yang tidak dilakukan perpanjangan haknya, maka untuk menyelesaikan status
tanah-tanah bekas HGU , BPN mengeluarkan kebijakan tentang pemutusan hubungan
hokum bekas pemegang hak dengan hak atas tanahnya tersebut yaitu berupa surat pernyataan pelepasan hak
(HGU)
Namun terhadap tanah-tanah bekas hak
dalam hal pemegang hak adalah BUMN/BUMD sebagaimana diatur dalam UU No. 19 tahun
2003 tentang BUMN, dan instansi pemerintah sebagaimana diatur dalam UU No. 1
tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara.
Di dalam UU No. 19 tahun 2003, tanah
bekas hak dinyatakan sebagai asset BUMN/D. dan menurut UU No. 1 tahun 2004
tanah bekas hak tersebut dinyatakan sebagai barang milik Negara/Daerah.
Dengan demikian penguasaan dan pengaturan
lebih lanjut atau penghapusan “tanah Negara” bekas hak dari BUMN/D dan BMN/D
harus melalui prosedur berupa pelepasan izin untuk BUMN/D dan “penghapusan
barang untuk BMN/D.
Uraian diatas menunjukkan bahwa sesungguhnya
ada kepentingan pihak tertentu di atas tanah Negara yang menjadi dasar
pertimbangan diberikannya “ganti kerugian” bagi para pihak yang menguasai tanah
Negara. Dalam praktek pertanahan, kepentingan itu disebut hak keperdataan.
Di dalam kedua UU tersebut, penguasaan
BUMN atas tanah dikategorikan sebagai asset, sehingga meskipun ha katas tanah
telah berakhir namun tanah tersebut masih menjadi milik dari BUMN yang
bersangkutan.
Dengan demikian penghapusan atau
pemindahtanganan asset memerlukan mekanisme
dan prosedur khusus, yang salah satunya adalah izin pelepasan asset dari
Menteri Negara BUMN Nomor PER-02/MBU/2010 tentang tata cara penghapusbukuan dan
pemindahtanganan aktiva tetap BUMN. Pemindahtanganan itu berupa penjualan,
tukar menukar, ganti rugi,dll).
- Penjelasan pasal 40 UU No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dalam penjelasan pasal tersebut
dinyatakan bahwa salah satu pihak yang berhak menerima ganti kerugian atas
objek pengadaan tanah adalah pihak yang menguasai tanah Negara dengan itikad
baik, yaitu pemakai tanah Negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya bekas pemegang hak yang telah
habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang
bersangkutan.
- Surat kepala BPN (kepada Kepala Kantor wilayah BPN Prov. Sumatera
utara) Nomor : 540-1-434-D1 tanggal 22 pebruari 2006 menyatakan bahwa meskipun
HGU yang sudah berakhir jangka waktunya yang berstatus sebagai tanah yang
langsung dikuasai Negara, namun tidak dengan sendirinya menghapuskan asset dari
bekas pemegang hak, termasuk perbuatan-perbuatan hokum oleh bekas pemegang hak terhadap tanah
tersebut.
HAK ATAS TANAH
Hak
atas tanah itu ada 3 yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak guna bangunan.
Pada
dasarnya bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya
sertipikat tanah.
(lihat Pasal 19 ayat [2] huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) jo. Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (“PP
24/1997”).
Namun
demikian Negara tidak menjamin bahwa sertifikat yang disajikan sudah benar.
Apabila ternyata di kemudian hari terdapat tuntutan atau gugatan dengan
melampirkan bukti hak atas tanah yang lebih kuat, maka sertifikat yang sudah
ada dapat dibatalkan.
Akan
tetapi, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat tersebut ( pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah).
DI
DALAM KUHP TINDAK PIDANA BIDANG PERTANAHAN DIATUR DALAM :
1. Pasal 167
KUHP penyerobotan tanah
2. Pemalsuan
surat-surat pasal 263,264,266 dan 274 KUHP
3. Kejahatan
penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak seperti tanah, rumah dan
sawah . kejahatan ini disebut dengan stellionaat yang diatur dalam pasal 385
KUHP.
Permasalahan yang sering timbul dalam
bidang pertanahan adalah adanya sertifikat tumpang tindih, adanya manipulasi
luas tanah, pemalsuan alas hak, pemalsuan bukti kepemilikan tanah.
Kejahatan tanah dalam bentuk jaminan
kredit, seperti pemalsuan agunan kredit, jaminan palsu, harga tanah fiktif dan
modus operandi lainnya.
Tindakan penelantaran tanah baik yang
sudah diberikan sertifikat atau belum bersetifikat adalah tindakan yang
merugikan Negara. Tanah menjadi tidak produktif sehingga tidak dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan atau pemerintah tidak segera mulai membangun. menelantaran
tanah di Negara Indonesia oleh pemilik tanah adalah perbuatan melawan hukum
bukan persoalan perdata yang harus diganti kerugian. Melanggar keputusan
pemberian hak atas tanah, melanggar kebijakan pertanahan Indonesia.
Tanah yang terbukti diterlantarkan
berdasarkan UU No 5/1960 Jo. PP No. 11/2010 adalah potensi menjadi asset bangsa
yang bisa diatur kembali untuk kemakmuran Negara.mengembalikan tanah yang
terbukti terlantar kepada pemiliknya sama halnya dengan menghilangkan kekayaan
bangsa dan merugikan Negara.
Modus penguasaan tanah Negara
Penggarap menguasai lahan kosong,
kemudian penggarap bekerjasama dengan pejabat setempat untuk memberikan
keterangan tentang keberadaan penggarap di atas tanah tersebut. Surat
keterangan penguasaan atas fisik tanah kemudian diterbitkan oleh lurah dan
camat yang dilanjutkan untuk mengurus pembayaran PBB atas tanah itu. Berbekal
surat keterangan dari lurah dan camat, pembayaran PBB serta KTP penduduk di
tanah itu, langsung diajukan SKPT dan sertifikat di BPN.
Penyerobotan tanah secara paksa dan
illegal diperparah dengan penerbitan sertifikat penguasaan hak atas tanah oleh
BPN tanpa meneliti riwayat/asal usul
asal tanah dan melihat kondisi dilapangan. Siapa pemegang hak semula atas tanah
Sengketa pertanahan dapat berbentuk
pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati dengan
HGU, baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir.
Komentar
Posting Komentar