Mayoritas Ulama Islam berpendapat bahwa Nabi saw tidak pernah menentukan dan memilih seorangpun untuk menjadi khalifah pengganti beliau setelah beliau wafat karena beliau hendak menyerahkan persoalan tersebut kepada kesepakatan kaum muslimin sendiri. Dalil alquran yang menjadi sandaran adalah,”bermusyawaralah kalian dalam urusan kalian (QS. Al Imran ayat 159).
Namun dalam sejarahnya sistem syuro (musyawarah) dalam memilih pemimpin ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Abu Bakar, Khalifah pertama misalnya sebelum ia wafat berwasiat untuk menyerahkan kursi kekhalifahannya kepada Umar Bin Khattab. Lalu ketika Umar akan meninggal, Ia mengamanatkan kepada Abdurahman bin Auf untuk memilih satu dari 5 orang yang diajukannya untuk menjadi khalifah dan kemudian terpilihlah Usman Bin Affan menjadi Khalifah.
Ketika Muawiyah dari Bani Umayah menduduki kursi kekhalifahan ia kemudian menerapkan sistem putra mahkota dengan mengangkat anaknya Yazid untuk meneruskan kursi kekhalifahan. Dan mulai saat itulah kursi kekhalifahan berputar hanya pada keluarga atau kerabat dekat khalifah yang terus berlanjut ke masa Dinasti Abbasyiah, sampai Kekhalifahan ottoman Turki.
Bahwa supaya rakyat tidak memberontak atau memprotes terhadap pemimpin yang diangkat maka disusunlah suatu pandangan yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan persatuan umat yaitu menyatakan “bahwa penguasa yang zalim sekalipun harus dipatuhi meski tidak ada kepatuhan dalam melanggar perintah Allah. Dalilnya adalah “Taatlah kepada Allah, Rasul dan pemimpin diantara kalian (QS An Nisa ayat 59)
Di zaman modern ini sistem kekuasaan yang diwariskan itu terus berlanjut diterapkan oleh penguasa timur tengah. Lihatnya misalnya sistem pemerintahan kerajaan Saudi Arabia, Maroko, Yordania, dan sejumlah Negara arab lainnya yang mereka menerapkan secara konsisten sistem putra mahkota dalam suksesi kekuasaan.
Nah melihat dari sejarah tersebut, dalam pemilihan khalifah atau pemimpin di dalam Islam tampaknya tidak secara utuh menerapkan sistem syuro atau musyawarah sebagaimana petunjuk dalam alquran.
Di seluruh dunia juga hampir sama, semua pemerintahan adalah diwariskan melalui sistem putra mahkota hingga kemudian muncul sistem baru yang bernama demokrasi. Kepemimpinan raja kemudian berpindah ke tangan rakyat. Kerajaan berubah menjadi Negara. rakyatlah yang kemudian memilih pemimpin. Slogan,”suara rakyat adalah suara Tuhan” menjadi jargon yang menghipnotis seluruh masyarakat dunia sehingga kemudian mereka berlomba-lomba menerapkan sistem demokrasi ini di negaranya masing-masing.
Namun ternyata sistem demokrasi Pemilihan langsung dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyatlah yang berdaulat untuk menentukan pemimpinnya sendiri adalah ilusi belaka. Yang menentukan pemimpin sebenarnya adalah partai Politik dan rakyat hanya dipaksa untuk menerima pilihan partai politik itu.
Bagaimana dengan Indonesia
Sudah lama Indonesia menerapkan demokrasi dengan pemilihan langsung untuk memilih pemimpin. Namun ternyata kebanyakan pemimpin yang terpilih lebih mengutamakan kepentingan kelompok, partai atau golongan daripada kepentingan rakyat. Banyak pemimpin yang muncul hanyalah pemimpin instan yang ujug-ujug muncul karena kekuatan uang dan popularitas, dibesarkan oleh media tapi tanpa kemampuan leadership yang memadai. Mereka memuja kemapanan dan kemakmuran sehingga membuat jiwa mereka tumpul dan tidak sensitif terhadap kehancuran hidup bangsa.
Sebagaimana sejarah masa lampau dimana kepemimpinan adalah diwariskan dari penguasa lama kepada anak keturunannya, maka dalam sistem demokrasi ini kepemimpinan melalui pewarisan ini kembali terulang melalui yang disebut dengan politik dinasti.
Setelah 76 Indonesia merdeka, ternyata bangsa Indonesia belum bisa mewujudkan cita-citanya untuk mewujudkan kesejehateraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara kita garis pantainya termasuk terpanjang di dunia tapi kita masih mengimpor garam, tanah kita subur dan luas tapi kita masih mengimpor bahan pangan apakah itu beras, kedelai, tepung dan sebagainya. Kekayaan alam kita sangat besar. kita punya tambang apakah itu emas, perak, timah, nikel, dan minyak bumi, namun mirisnya semua kekayaan itu justru lebih banyak dieksploitasi oleh perusahaan asing dan tidak bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri.
Bahkan yang sangat mengenaskan negara yang begitu kaya ini justru memiliki hutang yang sangat besar. Rakyatnya banyak yang miskin sementara ada segelintir orang yang sekali makan siang di restoran bisa untuk makan satu bulan keluarga miskin.
Saat sebagian rakyat Indonesia membutuhkan tanah sekedar beberapa meter persegi untuk tempat tinggal disisi lain beberapa gelintir orang kaya memiliki tanah hampir seluas kecamatan. Berdasarkan data disebutkan bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang non pribumi yang jumlahnya hanya 0,2% dari total penduduk Indonesia. 0,2% orang Indonesia tersebut menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi, PT ini PT itu, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, dan Hak penguasaan hutan (HPH). Bahkan baru-baru ini kita dihebohkan dengan berita bagaimana 6000 KK di Bojong Koneng Bogor yang telah mendiami tanahnya selama turun temurun mau digusur hanya karena mereka tidak memiliki bukti kepemilikan sebagaimana bukti HGB yang dimiliki oleh sebuah korporasi besar.
Namun itulah yang terjadi.
Bahwa Kalau pemimpin kita memang sungguh-sungguh untuk memakmurkan rakyatnya maka tentunya pemerintah tidak perlu mengimpor garam kalau petaninya dapat membuat garam sendiri, pemerintah juga tidak perlu mengimpor beras kalau petaninya dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Kalau peternaknya dapat memenuhi kebutuhan daging sendiri maka
tentunya pemerintah tidak perlu mengimpor daging lagi. Kalau rakyat kita bisa mengesplorasi dan mengeksploitasi tambang kita sendiri mengapa kita perlu mengundang investor untuk mengelola tambang kita. Pemimpin yang mencintai bangsanya tentu menginginkan rakyatnya mandiri tanpa bergantung dari luar negeri. Pemimpin yang mencintai negaranya tentu tidak akan menggadaikan kekayaan alam bangsanya kepada pihak asing.
Elit politik Kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin memilih pemimpin yang baik. Pemimpin yang amanah, cerdas, dan jujur. Kalaupun akhirnya ada pemimpin yang memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya maka mereka akhirnya akan disingkirkan oleh kekuatan yang rakus dan tamak. Umar Bin Abdul azis khalifah yang saleh hanya bertahan 2 tahun 5 bulan sebelum kemudian dibunuh dengan cara di racun. Itu pula yang dialami oleh Presiden Soekarno yang dilengserkan melalui operasi intelijen oleh CIA Amerika serikat karena tidak mau menyerahkan tambang-tambang kita untuk dikelola oleh Amerika.
Di dalam Negara demokrasi yang kepemimpinannya ditentukan melalui pemilu maka Pemimpin yang baik, cerdas, amanah dan jujur hanya akan muncul kalau memang mayoritas rakyat menghendakinya. Pemimpin adalah representasi rakyat itu sendiri.
Allah swt berfirman,”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raf ayat 96).
Suatu negeri yang awalnya penuh berkah dapat berubah menjadi sengsara karena kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduknya.
“Dan Allah telah membuat perumpaan sebuah negeri yang dahulunya aman, tenteram, rezekinya datang melimpah ruah dari setiap tempat, tetapi karena penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah merasakan bencana kelaparan dan ketakutan sebab ulah perilaku mereka sendiri." (QS an-Nahl: 112).
Komentar
Posting Komentar