Bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta
Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).
Bahwa UU RI Nomor 8 tahun 2010 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (UU TPPU) menggunakan
dua istilah hukum yaitu Pencegahan dan Pemberantasan. Titik berat pencegahan
ditujukan terhadap lembaga penyedia jasa keuangan dan lembaga penyedia
Barang/jasa dengan menentukan sejumlah kewajiban membantu PPATK melakukan
penelusuran aliran dana yang masuk dan keluar dari lembaga tersebut. Adapun
titik berat pemberantasan ditujukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian
uang baik pelaku aktif maupun pelaku pasif atau pihak ketiga yang tidak
beritikad baik membantu proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Adapun cara-cara
atau modus pencucian
uang adalah :
placement/penempatan
adalah pelaku menempatkan harta kekayaan yang diduga hasil Tindak Pidana
kedalam penyedia jasa keuangan atau sistem keuangan kemudian setelah dia
menempatkan ke sistem keuangan/penyedia keuangan jasa keuangan dia melakukan
pola-pola transaksi berupa layering.
Layering
yaitu pelapisan tujuannya untuk menjauhkan harta kekayaan hasil Tindak Pidana
dari Tindak Pidananya sendiri. Kemudian untuk menyempurnakan dengan anggapan
seolah-olah uang tersebut bersih biasanya pelaku melakukan
integrasi/integritation dengan memasukkan uang yang dianggap bersih kedalam
usaha yang sah. Sehingga dia benar-benar menganggap bahwa uang hasil Tindak
pidana tersebut adalah uang yang seolah-olah sah.
Bahwa dalam TPPU terdapat TPPU
secara aktif yang terdapat dalam pasal 3 dan pasal 4 dan TPPU secara pasif yang
terdapat dalam pasal 5.
Pasal 3 berbunyi,”
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan,
membawa
ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak
pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun
dan denda paling banyak
Rp.10.000 .000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah)”;
Pasal
4 berbunyi,”
“Setiap
Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,
sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan
hak-hak,
atau
kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1)
dipidana
karena
tindak
pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Pasal 5 ayat (1) berbunyi,”
“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1)
dipidana
dengan
pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pada prinsipnya tindak pidana
pencucian uang adalah Kejahatan ganda (double crimes). tindak pidana pencucian
uang terdiri dari kejahatan asal (predicate offense) seperti korupsi,
Narkotika, perdagangan orang dan kejahatan lainnya yang kemudian hasil dari
kejahatan asal itu dilakukan perbuatan seperti ditransfer, dibelanjakan,
dihadiakan, ditukarkan dan lain-lain. Nah perbuatan seperti mentransfer,
membelajankan, dan memberikan hasil kejahatan itulah yang disebut dengan
perbuatan pencucian uang sebagai kejahatan lanjutan (follow up crimes). Bahwa dengan
pemahaman ini maka tidak mungkin ada
tindak pidana pencucian uang tanpa ada kejahatan asal.
Prof Dr. Edward Omar Syarif Hiariej,
SH.MH. menyatakan bahwa dalam pencucian uang, kejahatan asal harus dibuktikan
dahulu atau setidak-tidaknya kejahatan asal dibuktikan bersamaan dengan
pencucian uang itu. seandainya saya didakwa melakukan pencucian uang sebanyak
Rp. 5000,- tetapi uang Rp. 5000.- ini tidak bisa dibuktikan apakah uang hasil
kejahatan atau bukan hasil kejahatan, maka saya tidak dapat dikatakan melakukan
pencucian uang. pendapat senada dikatakan oleh Prof Dr. Andi Hamzah yang
menyatakan hal yang sama yaitu “ bagaimana mungkin mencuci baju, kalau bajunya
belum dibeli.
Bahwa dalam penyidikan perkara TPPU,
untuk mengungkap kejahatan asal dapat dilakukan terlebih dahulu pelacakan
melalui kejahatan pencucian uangnya. Artinya mengungkap kejahatan bukan dari
hulu tetapi dari hilir. Hulu adalah kejahatan asal atau predicate offence
sedangkan hilir adalah perbuatan menikmati hasil kejahatan. Dalam korupsi
misalnya, maka pelaku dapat dijerat dengan UU Tipikor dan ketika hasil korupsi
dinikmati atau dialirkan maka pelaku akan dikenakan UU TPPU.
Hal yang penting adalah mungkin
penyidik mendapatkan dua alat bukti atau bukti permulaan tentang kejahatan
pencucian uang tanpa tahu terlebih dahulu kejahatan asalnya, misalnya adanya transaksi
yang mencurigakan, tetapi dalam hal akan melimpahkan ke Kejaksaan, maka harus
sudah ada bukti yang dikumpulkan terkait dengan kejahatan asalnya. Artinya
dalam hal akan diserahkan ke Kejaksaan maka sangkaan sudah ada dua kejahatan
yaitu kejahatan asal dan TPPU. Disinilah letaknya bahwa UU TPPU adalah suatu
strategi pengungkapan kejahatan dengan cara yaitu pertama disangkakan hanya
dari aliran dana (TPPU) dan pada akhirnya akan diketemukan atau terungkap
kejahatan asalnya.
Hal ini dapat dilihat dari susunan
pasal-pasal di dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan
TPPU yaitu Tindak pidana asal (predicate crime) dimuat dalam pasal 2 ayat
(1), jika Tindak pidana asal telah
terbukti, baru kemungkinan ada tindak pidana pencucian uang yaitu pasal 3 dan
pasal 4 terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana asal (misal korupsi),
Jika tindak pidana pencucian uang terbukti, baru kemungkinan ada tindak pidana
penerimaan atau penguasaan hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana
dimuat dalam pasal 5.
Dengan
demikian semangat yang termaktub dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang bagi
penegak hukum adalah bahwa orang yang diminta pertanggungjawaban pidananya
bukan hanya pelaku kejahatan asal, tetapi orang-orang yang menikmati hasil
kejahatan pun harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
Bahwa kalau kita baca di dalam UU
TPPU, telah membedakan antara tindak pidana pencucian uang aktif (pasal 3 dan
pasal 4) dan tindak pidana pencucian uang pasif (pasal 5). Kata kunci dalam
pasal 3 s/d 5 adalah diketahuinya atau
patut diduga…..yang merupakan unsur pokok dalam tindak pidana pencucian
uang baik bersifat aktif maupun pasif.
Unsur
diketahuinya dalam pencucian uang adalah dolus atau sengaja sedangkan kata-kata
“patut diduga mengandung unsur culpa/kelalaian.
Bahwa
objek dari Tindak Pidana Pencucian Uang jumlahnya adalah sebesar objek tindak pidana
pokoknya. sehingga apabila dalam tindak pidana korupsi terbukti sebesar Rp. 5
M, maka dugaan TPPU pun jumlahnya sebesar Rp. 5 M tidak bisa lebih, namun jika
ternyata kalau kemudian terdapat uang yang nilainya jauh lebih besar dari uang
hasil kejahatan asal tersebut, maka dari mana sisa uang tersebut, dari hasil
kejahatan apa, juga harus dibuktikan terlebih dahulu kalau mau dimasukkan di
dalam objek pencucian uang.
Praktek TPPU yang pernah diterapkan
oleh KPK
pasal
74 UU TPPU menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan
oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara..maka
karena KPK merupakan salah satu penyidik tindak pidana korupsi yang menurut
pasal 2 ayat 1 UU No. 8 tahun 2010 adalah dikategorikan sebagai tindak pidana asal
maka dengan sendirinya KPK berwenang menyidik TPPU.
Pasal
75 menyatakan,”Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup
terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana
pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Jadi
ketika penyidik sudah menemukan bukti permulaan yang cukup, maka dengan
sendirinya penyidik KPK dapat memulai untuk melakukan penyidikan TPPU.
Bahwa
dalam penyidikan TPPU, karena TPPU
orientasinya adalah pada pemulihan atas asset tindak pidana maka dalam
penerapannya sejak tahap penyidikan, KPK merampas semua asset terdakwa walaupun
bukan terkait dengan tindak pidana asalnya (pokoknya). Semua asset terdakwa
yang ditemukan kemudian dicari ke belakang apakah asset tersebut diperoleh
secara sah atau tidak. Nanti dipersidangan terdakwalah yang secara tekhnis untuk membuktikan apakah asset tersebut
diperoleh secara sah atau tidak. Inilah yang disebut pembalikan beban
pembuktian (burden pf prove). Apabila terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa
asetnya diperoleh secara sah maka dengan sendirinya dakwaan penuntut umum
dianggap terbukti demi hukum.
Bahwa
system pembalikan beban pembuktian yang diterapkan oleh KPK tersebut dapat
dilihat
dalam
perkara atas nama terdakwa Waode Nurhayati, terdakwa Lutfi Hasan Ishaq dan M.
Akil Mochtar.
Dalam
penanganan TPPU dengan menggunakan pembalikan beban pembuktian (burden pf
prove) tersebut, maka KPK dari sejak tahap penyidikan, penuntutan maupun persidangan
tidak perlu membuktikan terlebih dahulu perkara pokoknya dengan mengacu kepada
pasal 69 UU TPPU.
BENARKAH
KEJAHATAN ASAL TIDAK PERLU DIBUKTIKAN TERLEBIH DAHULU SESUAI PASAL 69 UU TPPU
Bahwa terkait dengan prinsip bahwa
tidak mungkin ada kejahatan pencucian uang tanpa ada kejahatan asalnya, maka
ada masalah terkait dengan pasal 69 yang seolah-olah tidak diperlukan kejahatan
utama yang dibuktikan untuk menuntut dan memidana pelakunya.
Rumusan Pasal 69 berbunyi “untuk dapat
dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana pencucian uang tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”
Apakah
benar tindak pidana asal tidak harus dibuktikan terlebih dahulu dalam
menerapkan tindak pidana pencucian uang ?
Bahwa
kita tidak bisa membaca pasal 69 itu secara berdiri sendiri yang mana
seolah-olah tidak mensyaratkan pembuktian tindak pidana asalnya dengan
mengabaikan pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan adanya tindak pidana asal.
Filosofi
dibuatnya UU TPPU adalah untuk optimalisasi merampas hasil kejahatan dan
mengembalikan kerugian Negara (dalam Tipikor) dengan mengejar asset hasil
kejahatan. Dimana bukan hanya pelaku yang dipertanggungjawabkan tetapi juga
pihak yang menikmati hasil kejahatan tersebut
Tidak
ada TPPU tanpa tindak pidana asal.Memang ada beberapa pendapat yang menyatakan
tidak perlu membuktikan tindak pidana asal untuk TPPU dan juga dalam praktek
peradilan ada beberapa putusan Pengadilan yang menyita asset-aset terdakwa
tanpa membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya dengan mengacu kepada
pasal 69. Tetapi tentunya penyidikan diawali dari tindak pidana asalnya.
Kita
tidak boleh membaca dan mengambil satu pasal secara terisolir/terpisah kemudian
menyimpulkan maksud UU dari satu pasal tersebut tetapi harus membaca
keseluruhan isi pasal secara komprehensif sebagai satu kesatuan untuk menemukan
system makna yang dikehendaki oleh UU.
Bahwa
menurut pendapat ahli Prof Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH.MH dan Prof Dr.
Andi Hamzah untuk menerapkan UU TPPU ( Pasal 3 dan Pasal 4) maka harus
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Pasal 2 ayat 1).
Bahwa yang dimaksud di dalam pasal 69
yang menyatakan “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”
haruslah dibaca dengan pengertian bahwa kejahatan asalnya sudah dibuktikan
sebelumnya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap/inchraht (misalnya perkara
Tipikornya sudah dimajukan terlebih dahulu baru kemudian TPPU Nya), karena kalau tidak diartikan demikian akan
menyebabkan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 akan kehilangan makna karena dalam
pasal tersebut menyebutkan bahwa pencucian uang dilakukan terhadap uang hasil
kejahatan yang mana harus jelas kejahatan apa yang dilakukan baru kemudian
dapat dijadikan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Bahwa
pasal 69 tidak bisa dipisahkan dengan
pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 yang merupakan delik pokoknya, sehingga nanti
terlihat bahwa dari rumusan delik bahwa tindak Pidana Pencucian Uang hanya bisa
terjadi kalau ada hasil kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat
(1);
Hal
ini juga tidak terlepas dari asas legalitas dalam hukum pidana yang menuntut
adanya kejelasan. Untuk memastikan suatu tindak pidana khususnya Tindak Pidana
Pencucian Uang terjadi maka harus ditentukan terlebih dahulu apa yang menjadi
kejahatan asalnya karena hasil kejahatan asal itulah yang dapat dijadikan
sebagai objek pencucian uang.
Bahwa
Kalimat “tidak wajib dibuktikan terlebih
dahulu” bukan berarti tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Penuntut
umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan pidana asalnya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 yang merupakan penyebab
dan penggerak dilakukannya TPPU. Tidak ada TPPU tanpa kejahatan yang
menghasilkan uang haram atau harta kekayaan tidak sah lainnya. Memisahkan TPPU
dari tindak pidana asal yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010
menjadikan pasal 2 sebagai pasal mandul atau pasal yang tidak berguna. Jadi
intinya Pembuktian terbalik di dalam UU TPPU hanya menyangkut tindak pidana asal
yang didakwakan kepada terdakwa.
Bahwa pasal 6 UU No. 46 tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi antara lain menyatakan “Pengadilan
Tindak pidana korupsi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara : a.
Tindak pidana korupsi b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana
asalnya adalah tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal 6 tersebut, sangat jelas
kewenangan pengadilan Tipikor hanya pada TPPU yang pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi, bukan tindak pidana yang DIDUGA adalah tindak pidana korupsi.
Jadi harus ada kejelasan hubungan kausaliteit antara TPPU dengan tindak pidana
korupsi yang didakwakan sebagai tindak pidana asal. Tidak bisa tindak pidana
asalnya masih berupa dugaan, asumsi, atau perkiraan bahwa tindak pidana asal
juga berasal dari tindak pidana korupsi tanpa dibuktikan korupsi yang mana.
Bahwa sebenarnya kalau penegak hukum
ingin menerapkan ketentuan tentang tidak
wajib dibuktikannya terlebih dahulu tindak pidana asalnya maka itu hanya
berlaku untuk pelaku tindak pidana pencucian uang yang bersifat pasif,
yakni “setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan,penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dst.
Jadi seseorang yang menerima atau
menampung harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya sebagai hasil
tindak pidana dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa harus menunggu penyidikan dan penuntutan terhadap orang atau
pihak yang melakukan tindak pidana asal itu. Misalnya pelaku korupsi kabur dan
belum ditemukan atau berada di luar negeri namun hasik korupsinya ternyata
disimpan atau ditransfer kepada seseorang maka orang itulah yang dapat
diterapkan ketentuan ini.
Bahwa selama ini dalam praktek
penanganan kasus korupsi KPK juga menyita harta-harta tersangka pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang sangat besar namun tidak ada kaitannya dengan
tindak pidana asalnya namun karena dianggap kekayaannya itu tidak seimbang
dengan gajinya selaku pegawai negeri atau penyelenggara Negara maka KPK juga
merampas kekayaannya dengan menerapkan UU Pencucian uang dengan berpegang pada
pasal 69 ini.
Bahwa sikap KPK yang menganggap
bahwa tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu
tindak pidana asalnya (pasal 69), maka demi kesamaan di depan hukum (equality
before the law), seharusnya KPK juga mengusut dan merampas harta kekayaan
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dilihat dari profilnya tidak
memungkinkan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut hidup
mewah dengan harta melimpah. Tidak sulit untuk mengetahui profil pegawai negeri
atau penyelenggara negara atau pejabat negara dengan profil demikian. Bahkan
dibeberapa instansi tertentu hal itu dengan mudah kita temukan.Tapi ini tidak
dilakukan oleh KPK. KPK hanya membidik TPPU kepada pelaku korupsi yang sudah
ditangkap.
Didalam
sistem yang penegakan hukumnya belum ditopang oleh penegak hukum yang
berintegritas dan professional, sistem pembuktian terbalik murni ini sangat
rawan di selewengkan. Apabila penegak
hukum berselingkuh dengan kekuasaan maka hukum akan rentang digunakan untuk
membunuh lawan politik atau menyingkirkan orang yang tidak disukai.
Kalau kita mau menerapkan pembuktian terbalik murni secara
konsekuen maka kita harus masukkan di dalam UU Tipikor supaya adil bagi semua
pihak dan lebih memberikan kepastian hukum. Dengan dimasukkannya pembuktian
terbalik di dalam UU Tipikor maka Penyidik, Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan
hakim akhirnya akan memiliki pemahaman yang sama. Pasal 69 UU TPPU yang
digunakan KPK dalam menerapkan pembuktian terbalik murni masih bersifat
multitafsir karena kontradiksi dengan penjelasan pasal-pasal lain di dalam UU
TPPU khususnya pasal 2 ayat 1 yang mensyaratkan pembuktian tindak pidana asal.
Peraturan yang multitafsir akan
membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakannya. Masing-masing pihak
akan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai suatu ketentuan, yang pada
akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai keadilan.
PENYITAAN ASET HASIL TPPU
Pasal 1 angka 16
KUHAP menjelaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Tujuan penyidik
melakukan penyitaan adalah untuk membuktikan bahwa telah benar terjadi tindak
pidana dan terdakwalah yang melakukannya dan harus mempertanggungjawabkannya.
Terkait dengan
hasil tindak pidana atau TPPU, maka tujuan dari penyitaan adalah untuk menjaga
agar asset hasil tindak pidana tersebut tidak dihilangkan atau dialihkan haknya
oleh terdakwa kepada pihak lain dan penyitaan itu dilakukan berdasarkan hasil
penyelidikan dan penyidikan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan maksud agar
dimintakan kepada pengadilan agar barang sitaan tersebut jika terdakwa bersalah
atau barang tersebut terbukti dari hasil pidana (korupsi) dapat disita Negara dan
dilakukan pelelangan dimana hasil lelang barang sitaan tersebut dimasukkan
kedalam kas Negara.
Penyitaan ini
tidak bisa dilakukan sembarangan tetapi hanya terhadap barang atau benda yang
terkait dengan tindak pidana sajalah yang dapat dilakukan penyitaan sesuai
dengan ketentuan pasal 39 ayat (1) KUHAP, yang dapat
dikenakan penyitaan adalah :
a.
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana.
b.
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c.
Benda yang dipergunakan untuk penyidikan tindak pidana.
d.
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak
pidana.
e.
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Jika barang
yang disita penyidik dianggap oleh tersangka tidak terkait sama sekali dengan
tindak pidana yang disangkakan.dituduhkan kepadanya, maka tersangka memiliki
hak untuk mengajukan upaya praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 s/d
83 KUHAP. Dan jika pengadilan setelah memeriksa pokok perkara, menyatakan
terdakwa bersalag, Hakim dapat menilai apakah barang-barang yang disita oleh
penyidik benar hasil dari tindak pidana (korupsi) yang didakwakan.
Jika memang
Hakim yakin dan menganggap demikian, maka barang yang disita dapat dinyatakan
disita oleh Negara. Namun apabila Hakim berpendapat barang yang disita tidak
ada hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan maka Hakim dapat
memerintahkan untuk mengembalikan barang-barang yang disita tersebut kepada
terdakwa atau yang berhak.
Selain itu
dapat juga ditempuh upaya melalui gugatan perdata sebagaimana yang dapat
dilihat dari putusan MA RI No. 2580 K/Pdt.G/2013 tertanggal 13 Maret 2014
mengenai perkara Hakim Syarifuddin yang menggugat KPJ terkait dengan
pengembalian asset oleh KPK dimana dalam putusan tersebut MA dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa barang-barang yang disita oleh KPK dalam kasus
pidana Hakim Syarifuddin ternyata adalah ternyata barang milik pribadi dan
tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon (Hakim
Syarifuddin) sehingga dalam putusan ini MA menghukum tergugat (KPK) untuk
mengembalikan barang-barang hasil sitaan yang tidak terkait dengan tindak
pidana serta membayar ganti kerugian imateril kepada penggugat (Syarifuddin)
sebesar Rp. 100.000.000.-
Komentar
Posting Komentar