Langsung ke konten utama

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PERMASALAHANNYA

 



Bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,  menitipkan,  membawa  ke  luar  negeri, menukarkan,  atau  perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1 UU TPPU).

 

Bahwa UU RI Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (UU TPPU) menggunakan dua istilah hukum yaitu Pencegahan dan Pemberantasan. Titik berat pencegahan ditujukan terhadap lembaga penyedia jasa keuangan dan lembaga penyedia Barang/jasa dengan menentukan sejumlah kewajiban membantu PPATK melakukan penelusuran aliran dana yang masuk dan keluar dari lembaga tersebut. Adapun titik berat pemberantasan ditujukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang baik pelaku aktif maupun pelaku pasif atau pihak ketiga yang tidak beritikad baik membantu proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

 

Adapun cara-cara atau modus pencucian uang adalah :

placement/penempatan adalah pelaku menempatkan harta kekayaan yang diduga hasil Tindak Pidana kedalam penyedia jasa keuangan atau sistem keuangan kemudian setelah dia menempatkan ke sistem keuangan/penyedia keuangan jasa keuangan dia melakukan pola-pola transaksi berupa layering.

 

Layering yaitu pelapisan tujuannya untuk menjauhkan harta kekayaan hasil Tindak Pidana dari Tindak Pidananya sendiri. Kemudian untuk menyempurnakan dengan anggapan seolah-olah uang tersebut bersih biasanya pelaku melakukan integrasi/integritation dengan memasukkan uang yang dianggap bersih kedalam usaha yang sah. Sehingga dia benar-benar menganggap bahwa uang hasil Tindak pidana tersebut adalah uang yang seolah-olah sah.

 

Bahwa dalam TPPU terdapat TPPU secara aktif yang terdapat dalam pasal 3 dan pasal 4 dan TPPU secara pasif yang terdapat dalam pasal 5.

Pasal 3 berbunyi,”

 

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,  menghibahkan,  menitipkan,  membawa  ke  luar   negeri,  mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga  atau perbuatan lain atas Harta  Kekayaan yang diketahuinya atau  patut  diduganya  merupakan  hasil  tindak pidana  sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal   2  ayat  (1)  dengan  tujuan menyembunyikan atau  menyamarkan  asal  usul  Harta  Kekayaan  dipidana  karena tindak pidana  pencucian uang dengan pidana  penjara  paling lama  20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000 .000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);

 

Pasal 4 berbunyi,”

Setiap  Orang yang menyembunyikan atau  menyamarkan asal  usul, sumber, lokasi, peruntukan,  pengalihan  hak-hak,  atau  kepemilikan yang  sebenarnya  atas  Harta Kekayaan yang diketahuinya atau  patut  diduganya  merupakan  hasil  tindak pidana sebagaimana   dimaksud  dalam  Pasal   2  ayat  (1)  dipidana  karena  tindak  pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

 

Pasal 5 ayat (1) berbunyi,”

Setiap Orang  yang menerima atau  menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau  patut  diduganya  merupakan  hasil  tindak pidana sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal  2  ayat  (1)  dipidana  dengan  pidana  penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

 

Pada prinsipnya tindak pidana pencucian uang adalah Kejahatan ganda (double crimes). tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal (predicate offense) seperti korupsi, Narkotika, perdagangan orang dan kejahatan lainnya yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan perbuatan seperti ditransfer, dibelanjakan, dihadiakan, ditukarkan dan lain-lain. Nah perbuatan seperti mentransfer, membelajankan, dan memberikan hasil kejahatan itulah yang disebut dengan perbuatan pencucian uang sebagai kejahatan lanjutan (follow up crimes). Bahwa dengan pemahaman ini maka tidak mungkin ada tindak pidana pencucian uang tanpa ada kejahatan asal.

 

Prof Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH.MH. menyatakan bahwa dalam pencucian uang, kejahatan asal harus dibuktikan dahulu atau setidak-tidaknya kejahatan asal dibuktikan bersamaan dengan pencucian uang itu. seandainya saya didakwa melakukan pencucian uang sebanyak Rp. 5000,- tetapi uang Rp. 5000.- ini tidak bisa dibuktikan apakah uang hasil kejahatan atau bukan hasil kejahatan, maka saya tidak dapat dikatakan melakukan pencucian uang. pendapat senada dikatakan oleh Prof Dr. Andi Hamzah yang menyatakan hal yang sama yaitu “ bagaimana mungkin mencuci baju, kalau bajunya belum dibeli.

 

Bahwa dalam penyidikan perkara TPPU, untuk mengungkap kejahatan asal dapat dilakukan terlebih dahulu pelacakan melalui kejahatan pencucian uangnya. Artinya mengungkap kejahatan bukan dari hulu tetapi dari hilir. Hulu adalah kejahatan asal atau predicate offence sedangkan hilir adalah perbuatan menikmati hasil kejahatan. Dalam korupsi misalnya, maka pelaku dapat dijerat dengan UU Tipikor dan ketika hasil korupsi dinikmati atau dialirkan maka pelaku akan dikenakan UU TPPU.

 

Hal yang penting adalah mungkin penyidik mendapatkan dua alat bukti atau bukti permulaan tentang kejahatan pencucian uang tanpa tahu terlebih dahulu kejahatan asalnya, misalnya adanya transaksi yang mencurigakan, tetapi dalam hal akan melimpahkan ke Kejaksaan, maka harus sudah ada bukti yang dikumpulkan terkait dengan kejahatan asalnya. Artinya dalam hal akan diserahkan ke Kejaksaan maka sangkaan sudah ada dua kejahatan yaitu kejahatan asal dan TPPU. Disinilah letaknya bahwa UU TPPU adalah suatu strategi pengungkapan kejahatan dengan cara yaitu pertama disangkakan hanya dari aliran dana (TPPU) dan pada akhirnya akan diketemukan atau terungkap kejahatan asalnya.

 

Hal ini dapat dilihat dari susunan pasal-pasal di dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan TPPU yaitu Tindak pidana asal (predicate crime) dimuat dalam pasal 2 ayat (1),  jika Tindak pidana asal telah terbukti, baru kemungkinan ada tindak pidana pencucian uang yaitu pasal 3 dan pasal 4 terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana asal (misal korupsi), Jika tindak pidana pencucian uang terbukti, baru kemungkinan ada tindak pidana penerimaan atau penguasaan hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimuat dalam pasal 5.

 

Dengan demikian semangat yang termaktub dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang bagi penegak hukum adalah bahwa orang yang diminta pertanggungjawaban pidananya bukan hanya pelaku kejahatan asal, tetapi orang-orang yang menikmati hasil kejahatan pun harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

 

Bahwa kalau kita baca di dalam UU TPPU, telah membedakan antara tindak pidana pencucian uang aktif (pasal 3 dan pasal 4) dan tindak pidana pencucian uang pasif (pasal 5). Kata kunci dalam pasal 3 s/d 5 adalah diketahuinya atau patut diduga…..yang merupakan unsur pokok dalam tindak pidana pencucian uang baik bersifat aktif maupun pasif.

 

Unsur diketahuinya dalam pencucian uang adalah dolus atau sengaja sedangkan kata-kata “patut diduga mengandung unsur culpa/kelalaian. 

 

Bahwa objek dari Tindak Pidana Pencucian Uang jumlahnya adalah sebesar objek tindak pidana pokoknya. sehingga apabila dalam tindak pidana korupsi terbukti sebesar Rp. 5 M, maka dugaan TPPU pun jumlahnya sebesar Rp. 5 M tidak bisa lebih, namun jika ternyata kalau kemudian terdapat uang yang nilainya jauh lebih besar dari uang hasil kejahatan asal tersebut, maka dari mana sisa uang tersebut, dari hasil kejahatan apa, juga harus dibuktikan terlebih dahulu kalau mau dimasukkan di dalam objek pencucian uang.

 

Praktek TPPU yang pernah diterapkan oleh KPK

pasal 74 UU TPPU menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara..maka karena KPK merupakan salah satu penyidik tindak pidana korupsi yang menurut pasal 2 ayat 1 UU No. 8 tahun 2010 adalah dikategorikan sebagai tindak pidana asal maka dengan sendirinya KPK berwenang menyidik TPPU.

 

Pasal 75 menyatakan,”Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.

Jadi ketika penyidik sudah menemukan bukti permulaan yang cukup, maka dengan sendirinya penyidik KPK dapat memulai untuk melakukan penyidikan TPPU.

 

Bahwa dalam penyidikan TPPU,  karena TPPU orientasinya adalah pada pemulihan atas asset tindak pidana maka dalam penerapannya sejak tahap penyidikan, KPK merampas semua asset terdakwa walaupun bukan terkait dengan tindak pidana asalnya (pokoknya). Semua asset terdakwa yang ditemukan kemudian dicari ke belakang apakah asset tersebut diperoleh secara sah atau tidak. Nanti dipersidangan terdakwalah yang secara tekhnis  untuk membuktikan apakah asset tersebut diperoleh secara sah atau tidak. Inilah yang disebut pembalikan beban pembuktian (burden pf prove). Apabila terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa asetnya diperoleh secara sah maka dengan sendirinya dakwaan penuntut umum dianggap terbukti demi hukum.

Bahwa system pembalikan beban pembuktian yang diterapkan oleh KPK tersebut dapat dilihat

dalam perkara atas nama terdakwa Waode Nurhayati, terdakwa Lutfi Hasan Ishaq dan M. Akil Mochtar.

 

Dalam penanganan TPPU dengan menggunakan pembalikan beban pembuktian (burden pf prove) tersebut, maka KPK dari sejak tahap penyidikan, penuntutan maupun persidangan tidak perlu membuktikan terlebih dahulu perkara pokoknya dengan mengacu kepada pasal 69 UU TPPU.

 

BENARKAH KEJAHATAN ASAL TIDAK PERLU DIBUKTIKAN TERLEBIH DAHULU SESUAI PASAL 69 UU TPPU

 

Bahwa terkait dengan prinsip bahwa tidak mungkin ada kejahatan pencucian uang tanpa ada kejahatan asalnya, maka ada masalah terkait dengan pasal 69 yang seolah-olah tidak diperlukan kejahatan utama yang dibuktikan untuk menuntut dan memidana pelakunya.

Rumusan Pasal 69 berbunyi “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”

 

Apakah benar tindak pidana asal tidak harus dibuktikan terlebih dahulu dalam menerapkan tindak pidana pencucian uang ?

 

Bahwa kita tidak bisa membaca pasal 69 itu secara berdiri sendiri yang mana seolah-olah tidak mensyaratkan pembuktian tindak pidana asalnya dengan mengabaikan pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan adanya tindak pidana asal.

 

Filosofi dibuatnya UU TPPU adalah untuk optimalisasi merampas hasil kejahatan dan mengembalikan kerugian Negara (dalam Tipikor) dengan mengejar asset hasil kejahatan. Dimana bukan hanya pelaku yang dipertanggungjawabkan tetapi juga pihak yang menikmati hasil kejahatan tersebut

 

Tidak ada TPPU tanpa tindak pidana asal.Memang ada beberapa pendapat yang menyatakan tidak perlu membuktikan tindak pidana asal untuk TPPU dan juga dalam praktek peradilan ada beberapa putusan Pengadilan yang menyita asset-aset terdakwa tanpa membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya dengan mengacu kepada pasal 69. Tetapi tentunya penyidikan diawali dari tindak pidana asalnya.

Kita tidak boleh membaca dan mengambil satu pasal secara terisolir/terpisah kemudian menyimpulkan maksud UU dari satu pasal tersebut tetapi harus membaca keseluruhan isi pasal secara komprehensif sebagai satu kesatuan untuk menemukan system makna yang dikehendaki oleh UU.

 

Bahwa menurut pendapat ahli Prof Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH.MH dan Prof Dr. Andi Hamzah untuk menerapkan UU TPPU ( Pasal 3 dan Pasal 4) maka harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Pasal 2 ayat 1).

 

Bahwa yang dimaksud di dalam pasal 69 yang menyatakan “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” haruslah dibaca dengan pengertian bahwa kejahatan asalnya sudah dibuktikan sebelumnya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap/inchraht (misalnya perkara Tipikornya sudah dimajukan terlebih dahulu baru kemudian TPPU Nya),  karena kalau tidak diartikan demikian akan menyebabkan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 akan kehilangan makna karena dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa pencucian uang dilakukan terhadap uang hasil kejahatan yang mana harus jelas kejahatan apa yang dilakukan baru kemudian dapat dijadikan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

Bahwa pasal 69  tidak bisa dipisahkan dengan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 yang merupakan delik pokoknya, sehingga nanti terlihat bahwa dari rumusan delik bahwa tindak Pidana Pencucian Uang hanya bisa terjadi kalau ada hasil kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1);

 

Hal ini juga tidak terlepas dari asas legalitas dalam hukum pidana yang menuntut adanya kejelasan. Untuk memastikan suatu tindak pidana khususnya Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi maka harus ditentukan terlebih dahulu apa yang menjadi kejahatan asalnya karena hasil kejahatan asal itulah yang dapat dijadikan sebagai objek pencucian uang.

 

Bahwa Kalimat  “tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu” bukan berarti tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Penuntut umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan pidana asalnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 yang merupakan penyebab dan penggerak dilakukannya TPPU. Tidak ada TPPU tanpa kejahatan yang menghasilkan uang haram atau harta kekayaan tidak sah lainnya. Memisahkan TPPU dari tindak pidana asal yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 menjadikan pasal 2 sebagai pasal mandul atau pasal yang tidak berguna. Jadi intinya Pembuktian terbalik di dalam UU TPPU hanya menyangkut tindak pidana asal yang didakwakan kepada terdakwa.

 

Bahwa pasal 6 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi antara lain menyatakan “Pengadilan Tindak pidana korupsi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara : a. Tindak pidana korupsi b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal 6 tersebut, sangat jelas kewenangan pengadilan Tipikor hanya pada TPPU yang pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, bukan tindak pidana yang DIDUGA adalah tindak pidana korupsi. Jadi harus ada kejelasan hubungan kausaliteit antara TPPU dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan sebagai tindak pidana asal. Tidak bisa tindak pidana asalnya masih berupa dugaan, asumsi, atau perkiraan bahwa tindak pidana asal juga berasal dari tindak pidana korupsi tanpa dibuktikan korupsi yang mana.

 

Bahwa sebenarnya kalau penegak hukum ingin menerapkan ketentuan tentang tidak wajib dibuktikannya terlebih dahulu tindak pidana asalnya maka itu hanya berlaku untuk pelaku tindak pidana pencucian uang yang bersifat pasif, yakni “setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dst.

 

Jadi seseorang yang menerima atau menampung harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya sebagai hasil tindak pidana dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa harus menunggu penyidikan dan penuntutan terhadap orang atau pihak yang melakukan tindak pidana asal itu. Misalnya pelaku korupsi kabur dan belum ditemukan atau berada di luar negeri namun hasik korupsinya ternyata disimpan atau ditransfer kepada seseorang maka orang itulah yang dapat diterapkan ketentuan ini.

 

Bahwa selama ini dalam praktek penanganan kasus korupsi KPK juga menyita harta-harta tersangka pegawai negeri atau penyelenggara negara yang sangat besar namun tidak ada kaitannya dengan tindak pidana asalnya namun karena dianggap kekayaannya itu tidak seimbang dengan gajinya selaku pegawai negeri atau penyelenggara Negara maka KPK juga merampas kekayaannya dengan menerapkan UU Pencucian uang dengan berpegang pada pasal 69 ini.

 

Bahwa sikap KPK yang menganggap bahwa  tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (pasal 69), maka demi kesamaan di depan hukum (equality before the law), seharusnya KPK juga mengusut dan merampas harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dilihat dari profilnya tidak memungkinkan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut hidup mewah dengan harta melimpah. Tidak sulit untuk mengetahui profil pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat negara dengan profil demikian. Bahkan dibeberapa instansi tertentu hal itu dengan mudah kita temukan.Tapi ini tidak dilakukan oleh KPK. KPK hanya membidik TPPU kepada pelaku korupsi yang sudah ditangkap. 

 

Didalam sistem yang penegakan hukumnya belum ditopang oleh penegak hukum yang berintegritas dan professional, sistem pembuktian terbalik murni ini sangat rawan di selewengkan.  Apabila penegak hukum berselingkuh dengan kekuasaan maka hukum akan rentang digunakan untuk membunuh lawan politik atau menyingkirkan orang yang tidak disukai.

Kalau kita mau menerapkan pembuktian terbalik murni secara konsekuen maka kita harus masukkan di dalam UU Tipikor supaya adil bagi semua pihak dan lebih memberikan kepastian hukum. Dengan dimasukkannya pembuktian terbalik di dalam UU Tipikor maka Penyidik, Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan hakim akhirnya akan memiliki pemahaman yang sama. Pasal 69 UU TPPU yang digunakan KPK dalam menerapkan pembuktian terbalik murni masih bersifat multitafsir karena kontradiksi dengan penjelasan pasal-pasal lain di dalam UU TPPU khususnya pasal 2 ayat 1 yang mensyaratkan pembuktian tindak pidana asal. Peraturan yang multitafsir akan membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakannya. Masing-masing pihak akan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai suatu ketentuan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai keadilan.

PENYITAAN ASET HASIL TPPU

Pasal 1 angka 16 KUHAP menjelaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

 

Tujuan penyidik melakukan penyitaan adalah untuk membuktikan bahwa telah benar terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang melakukannya dan harus mempertanggungjawabkannya.

Terkait dengan hasil tindak pidana atau TPPU, maka tujuan dari penyitaan adalah untuk menjaga agar asset hasil tindak pidana tersebut tidak dihilangkan atau dialihkan haknya oleh terdakwa kepada pihak lain dan penyitaan itu dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan maksud agar dimintakan kepada pengadilan agar barang sitaan tersebut jika terdakwa bersalah atau barang tersebut terbukti dari hasil pidana (korupsi) dapat disita Negara dan dilakukan pelelangan dimana hasil lelang barang sitaan tersebut dimasukkan kedalam kas Negara.

 

Penyitaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan tetapi hanya terhadap barang atau benda yang terkait dengan tindak pidana sajalah yang dapat dilakukan penyitaan sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat (1) KUHAP, yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a.         Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b.        Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c.         Benda yang dipergunakan untuk penyidikan tindak pidana.

d.        Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana.

e.         Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

 

Jika barang yang disita penyidik dianggap oleh tersangka tidak terkait sama sekali dengan tindak pidana yang disangkakan.dituduhkan kepadanya, maka tersangka memiliki hak untuk mengajukan upaya praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 s/d 83 KUHAP. Dan jika pengadilan setelah memeriksa pokok perkara, menyatakan terdakwa bersalag, Hakim dapat menilai apakah barang-barang yang disita oleh penyidik benar hasil dari tindak pidana (korupsi) yang didakwakan.

 

Jika memang Hakim yakin dan menganggap demikian, maka barang yang disita dapat dinyatakan disita oleh Negara. Namun apabila Hakim berpendapat barang yang disita tidak ada hubungan dengan tindak pidana yang didakwakan maka Hakim dapat memerintahkan untuk mengembalikan barang-barang yang disita tersebut kepada terdakwa atau yang berhak.

 

Selain itu dapat juga ditempuh upaya melalui gugatan perdata sebagaimana yang dapat dilihat dari putusan MA RI No. 2580 K/Pdt.G/2013 tertanggal 13 Maret 2014 mengenai perkara Hakim Syarifuddin yang menggugat KPJ terkait dengan pengembalian asset oleh KPK dimana dalam putusan tersebut MA dalam pertimbangannya menyatakan bahwa barang-barang yang disita oleh KPK dalam kasus pidana Hakim Syarifuddin ternyata adalah ternyata barang milik pribadi dan tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon (Hakim Syarifuddin) sehingga dalam putusan ini MA menghukum tergugat (KPK) untuk mengembalikan barang-barang hasil sitaan yang tidak terkait dengan tindak pidana serta membayar ganti kerugian imateril kepada penggugat (Syarifuddin) sebesar Rp. 100.000.000.-

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran