Langsung ke konten utama

MEMBEDAH KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

 











 ( 1 )

 

PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA

Keuangan Negara menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.  

 

Keuangan Negara menurut penjelasan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah Seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a.    Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b . Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

 

 

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Menurut UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa kerugian keuangan Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang / kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force majure).

 

Sementara Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan,dan  pasal 1 angka 3 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara.

 

pengertian Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai 

 

Kerugian Keuangan Negara dapat berbentuk :

(1) Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan;

(2) Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/ daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku;

(3) Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif);

(4) Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai);

(5) Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusya tidak ada;

(6) Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya;

(7)Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku;

(8) Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.”  

 

Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

 

LEMBAGA YANG BERWENANG UNTUK MENGHITUNG DAN MENETAPKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Siapa atau lembaga mana yang berwewenang untuk menghitung kerugian keuangan Negara?

 

Bahwa yang menilai/menetapkan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini sesuai dengan pasal 10 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan  BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”

Secara konstitusional, kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.
 
Pasal 1 angka 1 UU BPK : “Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
Pasal 10 ayat (1) UU BPK : “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Selain BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”) juga berwenang untuk menetapkan mengenai adanya kerugian negara. Ini terkait dengan fungsi BPKP yaitu melaksanakan pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan (lihat pasal 52 Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen).

 

Sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2) huruf a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui : audit.
 
Ada dua jenis audit yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008, salah satunya audit dengan tujuan tertentu. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) menyebutkan bahwa audit dengan tujuan tertentu, antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan

 

Selain itu, Pasal 49 ayat (2) huruf c PP No. 60 Tahun 2008 mengatur, BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi : kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden. Tugas dan fungsi BPKP diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 192 Tahun 2014 tentang BPKP yang menggantikan Keputusan Presiden (Keppres) No. 103 Tahun 2001 beserta perubahannya.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf e Perpres No. 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
 
Terkait hal ini, Kepala BPKP pun telah menerbitkan pedoman teknis melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1314/K/D6/2012 tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi yang isinya:

1. Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah Audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat mengenai nilai kerugian keuangan Negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi;

2. Hasil Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara berupa pendapat auditor BPKP tentang jumlah kerugian keuangan negara merupakan pendapat keahlian profesional auditor, yang dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN);

3. Sebagai hasil dari pendapat ahli, LHPKKN ditandatangani oleh Tim Audit dan Pimpinan Unit Kerja sebagai Ahli (tanpa kop surat dan cap unit kerja);

4.  LHPKKN disampaikan kepada pimpinan Instansi Penyidik yang meminta, dilakukan dengan surat pengantar (SP) berkode SR (Surat Rahasia) yang ditandatangani oleh unit kerja.
 

 
Nah, aturan-aturan inilah yang dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum untuk meminta penghitungan kerugian negara dari BPKP. Khusus untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sesuai penjelasan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang memiliki tugas koordinasi, salah satunya dengan BPKP.

Bahwa dengan demikian kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.

 

SEMA No 4 tahun 2016

Namun kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran atau SEMA No. 4 tahun 2016 yang menyebutkan bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.”

 

SEMA No. 4 tahun 2016 tersebut sempat menuai polemik dan protes dari berbagai pihak karena dianggap mempersulit penanganan perkara korupsi. Apalagi dalam penanganan perkara korupsi, LHPKKN dari BPKP sudah berkali-kali digunakan oleh penuntut umum untuk pembuktian di pengadilan dan hakim pun mengakui penghitungan kerugian keuangan negara tersebut.

 

Dalam pasal 32 ayat (1) UU Tipikor juga menyebutkan yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian Negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Instansi yang berwenang itu adalah BPK, BPKP, Inspektorat.

 

Bahwa apabila  semua perkara korupsi harus diaudit BPK maka itu justru akan menimbulkan permasalahan tekhnis karena keterbatasan personil SDM BPK yang terbatas, sehingga akhirnya penanganan perkara korupsi akan memakan waktu yang sangat lama karena harus menunggu perhitungan kerugian Negara dari BPK.

 

Ketua MA M Hatta Ali mengatakan rumusan SEMA No. 4 Tahun 2016 tidak selamanya mengikat hakim. Siapapun yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus diikuti hakim sebab hakim bisa berpendapat sendiri. SEMA itu hanya menyatakan BPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara konstitusional. Namun, tidak melarang BPKP atau institusi lainnya menghitung kerugian Negara

 

BPKP tidak berwenang hitung kerugian Negara sempat digugat di PTUN

Memang dalam beberapa penanganan perkara korupsi seringkali kewenangan BPKP untuk menghitung kerugian Negara sempat di gugat oleh kuasa hukum beberapa terdakwa. Walaupun sebagian besar gugatan tersebut ditolak oleh Hakim namun demikian ada beberapa putusan PTUN yang sempat mengalahkan BPKP terkait tidak berwenang menghitung kerugian negara, antara lain putusan PTUN Pontianak Nomor 12/G/2015/PTUN-PTK dan putusan PTUN Jakarta Nomor 231/G/2012/PTUN-JKT yang gugatannya diajukan oleh mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, PT Indosat Tbk, dan PT IM2.

Namun kemudian semua putusan tersebut akhirnya dibatalkan oleh PTUN. MA dan PK. dan mengakui penghitungan kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP

 

Bahwa kewenangan BPK, BPKP, Inspektorat berwenang menghitung Kerugian Negara sudah tidak perlu diperdebatkan lagi.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 31/PUU-X/2012 menyebutkan pembuktian tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain. Sehingga, KPK bisa membuktikan sendiri adanya unsur kerugian negara di luar temuan BPKP dan BPK.

 

Bahwa juga sudah pernah ada kesepakatan penegak hukum criminal justice system dan instansi terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi pada rapat koordinasi criminal justice system tanggal 27-­28 September 2011 yang juga ditandatangani pengawas eksternal maupun internal yang Antara lain, disepakati :

(1)Aparat penegak hukum dan instansi terkait tidak mempermasalahkan siapa yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, bisa BPK atau BPKP;

(2) Aparat penegak hukum bisa meminta bantuan siapapun untuk menghitung kerugian keuangan negara, tidak harus BPK atau BPKP, bisa akuntan publik atau ahli lain; dan

(3)Selama keyakinan hakim terpenuhi, hakim bahkan dapat menerima perhitungan kerugian keuangan negara tanpa adanya perhitungan kerugian keuangan negara dari ahli (BPK/BPKP/lainnya).

 

MASALAH PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Pasal 59 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara menyatakan,

(1)   Setiap kerugian negara/daerah yang  disebabkan  oleh  tindakan  melanggar  hukum  atau  kelalaian  seseorang  harus  segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut;

(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun”.

 

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan“Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”.

 

Bahwa dengan demikian  setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian tersebut kerugian negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi. Sehubungan dengan itu, setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah wajib segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian”.

 

Bahwa dengan demikian penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.

 

MENGENAI TEMUAN BPK YANG MENGANDUNG INDIKASI KERUGIAN NEGARA.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.

Selanjutnya di dalam Pasal 10 ayat (2) yang antara lain menyatakan bahwa penilaian kerugian keuangan Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

 

Pasal 10 ayat (3) yang antara lain menyatakan bahwa untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau

a). Penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain.

b). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara yang telah ditetapkan oleh BPK, dan

c). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.

 

Bahwa di dalam Pasal 20 UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.

Ayat (1) pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Ayat (2) pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Ayat (3) jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

Ayat (4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

 

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah hukum administrasi Negara (administratif), sehingga  sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil pemeriksaan telah ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan, berarti kewajiban administratifnya bagi BPK telah selesai, dengan demikian adanya  pengembalian oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, berarti kerugian negara/daerah dalam temuan tersebut telah dipulihkan.

 

Atas rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut tentunya BPK tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di dalamnya, dan tentunya BPK  tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3), (4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK)

 

Tapi bagaimana apabila dalam waktu 60 hari ternyata rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK.

 

Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, menyebutkan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”.

Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindaklanjuti maka BPK akan melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak hukum.

 

UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara pasal 13 menyebutkan “ pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/daerah dan/atau unsur pidana.

kemudian pasal 14 ayat (1) menegaskan “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan mengenai BPK terlebih dahulu harus melakukan pemeriksaan investigatif untuk menemukan adanya indikasi pidana terhadap perbuatan yang merugikan keuangan negara terdapat pertentangan dengan pasal 8 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK, dimana disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Artinya tidak diperlukan pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif .

 

MENGENAI REKOMENDASI BPK UNTUK MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA

Isue utama perbuatan korupsi adalah timbulnya kerugian negara, sehingga sudah barang tentu harus ada upaya pemgembalian kerugian negara tersebut. Pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan instrumen pidana, instrumen perdata dan instrumen TGR (Tuntutan Ganti Rugi). Dengan adanya pengertian keuangan negara yang berbeda-beda pada setiap UU yang dibentuk  misalnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang menimbulkan multitafsir terhadap hal kerugian negara, sehingga dalam penerapannya pun terdapat perbedaan tafsir antara Jaksa, Hakim dan BPK serta BPKP yang menimbulkan perbedaan dalam penanganan perkara korupsi.

 

Bahwa terjadinya multitafsir dan perbedaan pendapat antar lembaga tadi berdampak  pada  kebijakan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian negara yang menimbulkan permasalahan yaitu :

 

APAKAH PARA PIHAK YANG DISEBUTKAN DALAM REKOMENDASI BPK UNTUK MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA DAPAT DIBEBASKAN DARI TUNTUTAN PIDANA, JIKA YANG BERSANGKUTAN TELAH MENGGANTI SELURUH KERUGIAN NEGARA/DAERAH YANG DITIMBULKANNYA

 

Bagi penegak hukum jawabannya mungkin sederhana yaitu pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana (pasal 4 UU No. 31 tahun 1999). Tapi apabila ditanyakan, bagaimana kalau kerugian negara dikembalikan sebelum dilakukan penyelidikan, sewaktu dilakukan penyidikan, setelah penyidikan bahkan sewaktu persidangan bergulir, maka kita akan menemukan jawaban yang berbeda-beda.

 

Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”. Pengertian dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sifatnya seolah-olah alternatif, pertanyaannya adalah kapan hanya sekedar sanksi administrasi dan kapan diterapkan sanksi pidana?

 

Namun adanya ketentuan bahwa Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi  pidana, maka setiap hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik. Kewenangan BPK hanyalah menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi sedangkan penegak hukum adalah menemukan adanya perbuatan pidana untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana.

 

Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan “ sekalipun temuan BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Kalau tidak ada pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.

 

Lalu bagaimana seharusnya penegak hukum menyikapi rekomendasi BPK berupa pengembalian kerugian negara yang tidak ditindaklanjuti, atau sebagian ditindaklanjuti dan yang telah ditindaklanjuti seluruhnya namun melewati lebih dari 60 hari ?

 

Penerapan hal ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum dalam praktek di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang dihadapi. Pertama-tama penegak hukum harus memahami bahwa dalam penanganan perkara korupsi, yang paling utama adalah bagaimana  mengembalikan kerugian negara kepada negara. Dalam penegakan hukum, penegak hukum harus lebih mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan Negara (restoratif justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan Negara relatif kecil dipertimbankan untuk tidak ditindaklanjuti.

 

Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam  penanganan perkara tindak pidana korupsi sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan Negara) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan) sehingga dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat.

 

 

 

BAGAIMANA DENGAN PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA KETIKA KASUSNYA SUDAH DITANGANI OLEH PENEGAK HUKUM, APAKAH DENGAN ADANYA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA TERSEBUT MAKA KASUSNYA AKAN DIHENTIKAN KARENA KERUGIAN NEGARA SUDAH DIPULIHKAN

 

Penegak hukum karena rujukannya adalah pasal 4 UU Tipikor maka umumnya akan menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana artinya penyelidikan/penyidikan/penuntutan/pemeriksaan di sidang pengadilan tetap dilakukan walaupun kerugian keuangan Negara sudah dikembalikan, mengenai uang Negara yang sudah dikembalikan itu menjadi barang bukti dan sebagai salah satu faktor yang akan meringankan hukuman pelaku.

 

Namun dalam praktek penanganan perkara korupsi, penegak hukum dalam hal ini Penyidik memiliki kebijakan yang berbeda terkait pengembalian kerugian Negara yang dilakukan pada waktu masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan dan atau penuntutan. Ketika masih dalam proses penyelidikan dan belum ada penetapan tersangka maka ketika ada pengembalian kerugian Negara maka penyidik lebih leluasa untuk menghentikan perkaranya namun berbeda kemudian ketika pengembalian kerugian Negara tersebut dilakukan dalam tahap penyidikan dan telah ada penetapan tersangka maka penyidik akan berpaling ke pasal 4 UU Tipikor “Pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.

 

Tidak dihentikannya perkara setelah dilakukan penyidikan walaupun sudah ada pengembalian kerugian Negara tampaknya sejalan dengan Surat edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara oleh Penyelenggara Pemerintahan yang dilakukan setelah batas waktu 60 hari. adalah menjadi kewenangan Penyidik melakukan proses hukum apabila ditemukan indikasi Tindak Pidana Korupsi

 

Namun pendapat berbeda disampaikan oleh pakar hukum administrasi yang menyatakan bahwa dengan adanya pengembalian kerugian Negara maka kerugian Negara sudah dipulihkan dan penyidik seharusnya menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan kasus tersebut kecuali pengembaliannya ketika sudah dalam proses persidangan maka baru berlaku ketentuan pasal 4 UU Tipikor.

Mereka umumnya merujuk kepada UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara dan UU NO. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara.

 

Pendapat ini pernah dipakai oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Tinggi Kupang Nomor: 18/Pid/1992/P.T.K. tanggal 25 Maret 1992 yang memutuskan bahwa tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum, oleh karena kerugian keuangan Negara/Daerah Tingkat II Sikka sebagai akibat dari perbuatan terdakwa telah dikembalikan sehingga kerugian keuangan Negara/Daerah Tingkat II Sikka sudah tidak dirugikan lagi.

 

Namun walaupun demikian Putusan Pengadilan Tinggi Kupang tersebut dalam tingkat kasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI dengan putusannya  Nomor: 1401K/Pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan pertimbangan hukum bahwa meskipun kerugian Negara/Daerah Tingkat II Sikka sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan hukum terdakwa tetap ada dan tidak hapus dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa serta terdakwa tetap dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Bahwa tampaknya pembentuk atau penyusun UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 mencantumkan pasal 4 di dalam UU Tipikor tersebut karena mengacu kepada Yurisprudensi MA tersebut.

 

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DALAM TAHAP PENUNTUTAN DAN PERSIDANGAN

Dalam beberapa penanganan perkara tindak pidana korupsi, tidak sedikit terdakwa dengan sukarela mengembalikan kerugian negara berupa sejumlah uang kepada Penuntut umum (tahap penuntutan maupun tahap persidangan) baik dalam bentuk penyerahan maupun penitipan.

 

Terhadap penyerahan atau penitipan uang tersebut perlu diberikan status hukum oleh JPU dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1.    Pengembalian dilakukan pada tahap penuntutan sampai dengan sebelum pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai oleh Hakim :

-       Supaya JPU dengan pengantar surat dari Kajari meminta kepada Hakim untuk mengeluarkan penetapan agar uang tersebut ditetapkan sebagai berikut.

-       Apabila Hakim mengeluarkan penetapan, maka uang tersebut sebagai barang bukti, sehingga ditentukan status hukumnya dalam amar surat tuntutan yaitu dikembalikan kepada negara Cq. Institusi negara yang dirugikan

 

2.    Pengembalian dilakukan pada tahap setelah pemeriksaan di persidangan dinyatakan selesai oleh Hakim.

-       Sebelum surat tuntutan dibacakan supaya Jaksa Penuntut Umum meminta kepada Hakim untuk membuka sidang kembali dengan alasan akan mengajukan permohonan penetapan sebagai barang bukti atas pengembalian uang tersebut dengan mengacu pada ketentuan pasal 182 ayat (2) KUHAP.

 

3.    Apabila Hakim tidak bersedia mengeluarkan penetapan penyitaan atas penyerahan uang tersebut (baik dengan alasan bahwa penyitaan adalah tindakan penyidik maupun dengan alasan lain), maka JPU menempuh langkah-langkah sebagai berikut :

-       Di dalam amar surat tuntutan supaya JPU menuntut terdakwa untuk membayar uang pengganti kepada negara Cq. Institusi negara yang dirugikan dengan menggunakan/memperhitungkan uang yang telah diserahkan/dititipkan.

-       Oleh karena Hakim tidak mengeluarkan penetapan terhadap status uang tersebut sebagai barang bukti, maka uang yang telah diserahkan tersebut oleh JPU tidak perlu ditentukan status hukumnya dalam amar surat tuntutan sebagai barang bukti, karena statusnya bukan barang bukti.

 

Bagaimana dengan laporan tindak pidana korupsi sedangkan pelakunya sudah mengembalikan kerugian Negara

Sering terjadi LSM penggiat korupsi melaporkan kasus korupsi berdasarkan temuan LHP BPK. Namun ketika ditindaklanjuti oleh penegak hukum yaitu Polisi atau Kejaksaan ternyata kasus yang dilaporkan tersebut sudah ditindaklanjuti dengan pengembalian kerugian Negara.

 

Bahwa pengembalian kerugian Negara yang dilakukan oleh Bendahara dan Pegawai negeri bukan bendahara melalui proses penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah dan/atau pengembalian kerugian Negara sebagaimana yang diatur dalam UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah ……………………………………………………………..

 

sebelum dilakukan penyelidikan atau penyidikan oleh penegak hukum maka yang berlaku adalah ketentuan dalam hukum administrasi sebagaimana dalam UU tersebut diatas………………

 

Jangan sampai penegak hukum tidak memahami ini namun tetap memaksakan kasusnya diproses dengan berpegang pada pasal 4 UU Tipikor sehingga kemudian implikasinya adalah  pengembalian kerugian keuangan Negara melalui proses TP-TGR yang dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Walikota/Bupati  kedepannya tidak akan dipatuhi oleh pelaku dengan alasan sia-sia belaka mengembalikan kerugian keuangan negara namun akhirnya diperhadapkan dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2002, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.

 

Namun demikian walaupun pengembalian uang oleh pejabat merupakan itikad baik tetapi tetap harus dilihat motifnya dan momennya terlebih dahulu yaitu dengan melihat waktu kapan uangnya dikembalikan apakah sebelum adanya proses hokum atau sesudah adanya proses hukum

 

 

BAGAIMANA MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

( 2 )

Pada dasarnya kerugian Keuangan Negara terjadi jika prestasi yang diterima oleh negara lebih kecil dari uang yang dibayarkan oleh negara. Untuk menghitung kerugian Keuangan Negara terlebih dahulu harus diketahui apakah kasus yang dihitung kerugian keuangan negaranya itu masih masuk dalam ruang lingkup Keuangan Negara. 
 

Tujuan dari sebuah kegiatan audit investigasi atau audit dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN) adalah untuk menentukan adanya penyimpangan dan kerugian yang ditimbulkan dari penyimpangan tersebut.  Bisa dikatakan bila terdapat kerugian keuangan hampir dipastikan terdapat penyimpangan. Namun ada juga kondisi dimana terdapat penyimpangan namun tidak ditemukan kerugian Keuangan Negara.  Misalnya pada kasus pengadaan barang/jasa di atas Rp200.000.000,00 menurut Perpres Pengadaan Barang/Jasa, pengadaan tersebut harus dilakukan dengan metode pelelangan umum namun pihak SKPD melakukannya secara swakelola.  Penyimpangan telah terjadi namun setelah dilakukan pemeriksaan ternyata barang tersebut telah sesuai spesifikasi dan tidak terjadi kemahalan harga sehingga tidak ada kerugian Keuangan Negara.  

 

Pada saat melakukan audit investigasi/ PKKN atas kasus TPK, auditor memerlukan metode penghitungan yang tepat untuk dapat menghitung jumlah kerugian keuangan negara yang terjadi.  Penggunaan metode untuk menghitung kerugian keuangan negara ditentukan berdasarkan bukti-bukti audit yang mendukung pengungkapan kronologi fakta dan terjadinya pengeluaran negara.  Metode penghitungan kerugian keuangan tidak dapat disamaratakan antara kasus satu dengan kasus lain.  Dalam artian metode penghitungan kerugian keuangan sangat tergantung dengan sifat kasus,judgement auditor itu sendiri dan kriteria yang digunakan.  Maka tidak heran jika kita pernah mendengar suatu kasus tindak pidana korupsi yang sama, beberapa pemeriksa memiliki hasil penghitungan kerugian Keuangan Negara yang berbeda-beda. 

 

Pada dasarnya terdapat beberapa metode yang biasa dipergunakan dalam menghitung besarnya jumlah kerugian Keuangan Negara antara lain metode total loss, metode net loss, metode harga wajar dan metode harga pokok.

1.     Metode net loss (kerugian bersih)

Jumlah total loss (kerugian total) dihitung dari seluruh jumlah uang yang dibayarkan/ dikeluarkan oleh negara karena negara tidak mendapatkan imbalan/prestasi senilai jumlah pengeluaran tersebut.   Metode total loss (kerugian total) dipergunakan untuk menghitung kerugian keuangan negara pada kasus kegiatan  fiktif dan barang/jasa yang sama sekali tidak dapat digunakan.  Beberapa kondisi ketika metode total loss dapat diterapkan:

1.    Pengadaan barang/jasa fiktif 

2.    Kegiatan fiktif 

3.    Honor fiktif/tidak dibayarkan 

4.    Barang/jasa yang diterima tidak sesuai spesifikasi kontrak sehingga tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan

 

Bagaimana jika dalam kegiatan atau pengadaan tersebut terdapat pajak seperti PPN atau PPh yang telah dipotong dan disetor ke kas negara?  Apakah pajak tersebut menjadi pengurang kerugian keuangan negara?  pajak-pajak tersebut tidak mengurangi kerugian Keuangan Negara namun oleh auditor dianggap sebagai tindak lanjut.  Misal SKPD X membuat suatu kegiatan fiktif sebesar Rp100.000.000 dan atas kegiatan tersebut bendahara SKPD X telah memotong PPN dan PPh sebesar Rp15.000.000,00.  Kerugian keuangan negara atas kegiatan fiktif tersebut tetap Rp100.000.000,00 bukan Rp85.000.000,00.  Setoran pajak Rp15.000.000,00 tidak dapat dijadikan pengurang kerugian Keuangan Negara walaupun terdapat pemasukan ke kas negara.  Pajak diinformasikan sebagai tindak lanjut.  Sedangkan untuk pengadaan barang/jasa yang hasil pekerjaannya  tidak dapat digunakan/dimanfaatkan, pajak harus dikurangkan terlebih dahulu.

 

2.    Metode net loss (kerugian bersih)

Metode net loss (kerugian bersih) dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/jasa terjadi kekurangan volume pekerjaan.   Dalam kasus ini rekanan hanya berhak menerima pembayaran sebesar prestasi yang dia berikan kepada negara. 

Pajak-pajak yang telah disetorkan ke kas negara harus dikurangkan terlebih dahulu.  Baru kemudian pembayaran netto yang diterima rekanan (setelah dikurangi pajak) disandingkan dengan nilai realisasi terpasang yang dihitung berdasarkan penghitungan volume pekerjaan terpasang oleh ahli teknis bangunan.  Auditor tidak dapat menghitung sendiri volume pekerjaan terpasang karena auditor tidak mempunyai kompetensi di bidang teknik bangunan/konstruksi.  Sebagai solusinya, auditor bisa meminta bantuan ahli teknik misalnya dari Dinas Pekerjaan Umum atau Universitas yang independen.  Kalau kita melihat skema penghitungan kerugian keuangan negara tadi seolah-olah auditor tidak mempertimbangkan besaran keuntungan yang berhak diterima oleh rekanan?  Jawabannya adalah jika dalam proses pengadaan sudah terdapat penyimpangan maka judgement auditor menyatakan bahwa rekanan tersebut tidak berhak atas keuntungan.

 

3.    Metode harga wajar

Metode harga wajar dipergunakan apabila dalam kasus pengadaan barang/ jasa terjadi mark-up (kemahalan harga) harga atau terdapat kemahalan harga barang/jasa.  Kasus mark-up sangat umum terjadi dalam proses pengadaan barang/jasa.  Mark-up dimaksudkan agar rekanan memperoleh keuntungan yang lebih besar.  Indikasi adanya mark-up biasanya sudah terlihat sejak proses perencanaan pengadaan yaitu dalam pembuatan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). 

 

Agar nilai kontraknya tinggi biasanya HPS sudah disetting sedemikian rupa agar diperoleh harga kontrak yang telah direncanakan.  Biasanya mark-up akan diikuti penyimpangan dalam proses pelelangan yaitu terdapat pengaturan siapa yang akan menjadi pemenang lelang.  Pengaturan pemenang lelang dimaksudkan agar rekanan yang telah disetting dari awal dapat keluar sebagai pemenang dan pemenang tersebut memperoleh keuntungan yang lebih tinggi karena harga-harga telah dinaikkan.

 

Memang gampang-gampang  susah untuk menentukan adanya mark-up karena dapat menimbulkan perdebatan.  Misalnya jika harga dalam kontrak ternyata diketahui lebih tinggi 40% dari harga pasar wajar, belum serta merta dapat dikatakan mark-up karena mark-up itu sangat debatable. Untuk menentukan mark-up harus didapatkan bukti-bukti yang cukup.  Perlu diingat adalah HPS bukan sebagai dasar untuk menentukan besaran kerugian negara.

Bagaimana menghitung kerugian Keuangan Negara dari kasus mark-up.  Caranya adalah dengan membandingkan harga dalam kontrak dengan harga pasar yang wajar.  Harga pasar yang wajar dapat diperoleh dengan harga barang sejenis pada tahun yang sama dan dalam kondisi-kondisi yang sama. Ketika sulit untuk mencari harga barang tersebut di pasaran, maka bisa digunakan harga yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan Umum dan sumber lain yang kompeten.

 

4. Metode harga pokok

Metode harga pokok dipergunakan untuk menghitung kerugian pokok atau nilai pokok pada kasus penyimpangan prosedur dalam penyaluran kredit perbankan pemerintah.  Harga pokok pada kredit perbankan artinya adalah pokok uang ketika uang tersebut cair dari Keuangan Negara.  Biasanya penyimpangannya berupa kredit yang tidak layak cair atau digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.  Bunga yang sudah disetor atau bahkan dibayarkan tidak mengurangi kerugian keuangan negara.  Namun jika bunga sebenarnya sudah dibayarkan tetapi tidak dimasukkan ke dalam kas negara, maka bunga tersebut menambah kerugian Keuangan Negara.

 

 

BAGAIMANA TERJADINYA KERUGIAN NEGARA PADA PENGADAAN BARANG DAN JASA.

(  3  )

Di dalam  UU Tipikor ada kalimat kerugian negara, namun demikian definisi operasionalnya harus mengikuti UU yang khusus mengatur tentang keuangan Negara yaitu  UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 1 nomor 22 yang berbunyi : ”Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Jadi kerugian negara terjadi jika :

1.    Ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara;

2.    Terjadi situasi yang mana surat berharga (berarti bisa termasuk sertifikat hak atas tanah atau aset lain, jaminan bank seperti jaminan pelaksanaan proyek atau sejenisnya atau mungkin bilyet deposito dan sejenisnya) yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan;

3.    Kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara.

 

Ad.1. Kapan bisa terjadi ”ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara”?

Dalam pengadaan khususnya pelaksanaan kontrak, negara berhak memperoleh denda jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak. Jika denda tersebut tidak masuk ke negara maka disitu sudah terjadi kerugian Negara. Maka pejabat yang mempunyai kewenangan harus menagih denda tersebut.

 

Ad.2. Kapan terjadi situasi yang mana ”surat berharga yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan dalam konteks pengadaan barang/jasa” ?

Menurut Perpres tentang pengadaan barang dan jasa, jika peserta lelang mengundurkan diri pada saat pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa maka jaminan penawaran menjadi hak negara. Juga pada tahap pelaksanaan kontrak jika ada wanprestasi dan ada pemutusan kontrak maka jaminan pelaksanaan juga menjadi milik negara. Nah apabila jaminan itu ternyata tidak bisa diuangkan maka disitulah ada kerugian Negara.

 

Ad.2. Kapan terjadi kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara dalam konteks pengadaan ?

Bahwa dalam pengadaan jika dalam kontrak sudah disepakati harga sekian rupiah akan dibayarkan kepada penyedia barang/jasa dengan sekian output sudah di-deliver kepada pemilik pekerjaan (misalkan 10 mesin jahit atau 1000 meter persegi jalan paving K-350), maka jika output tersebut secara kuantitas tidak memenuhi ketentuan dalam kontrak dan pemilik pekerjaan (PPK) tetap membayar penuh, dapat dipastikan negara dirugikan.

 

Pertanyaan lanjutan, bagaimana jika output di-deliver dengan kuantitas sesuai kontrak tapi kualitas (spesfikasi teknis) tidak memenuhi dan PPK tetap membayar penuh ? Ya ini juga terjadi kerugian negara.

 

Pertanyaan terakhir, bagaimana jika saat pekerjaan dilaksanakan (khususnya fisik konstruksi) ditemukan spesifikasi teknis tidak memenuhi dan pembayaran masih belum dibayar penuh, apakah disini juga terjadi unsur kerugian negara ?
Bahwa menurut perpres tentang pengadaan barang dan jasa, jika pekerjaan belum di-serahterima-kan maka PPK masih bisa meminta kepada penyedia barang/jasa untuk memenuhi spesifikasi teknis yang diminta dalam kontrak sebelum menyelesaikan pembayaran yang diminta. Jadi apabila berdasarkan hasil penilaian ternyata ada kekurangan dalam pekerjaan maka PPK memerintahkan  penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak”.

 

PENILAIAN KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam peradilan pidana untuk menilai kerugian Negara itu bersifat kasuistis atau dilihat kasus per kasus.

Contoh pertimbangan majelis hakim dalam kasus kredit yang disalurkan Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN) menyatakan unsur “kerugian negara” tidak terbukti karena perjanjian kredit masih berlangsung hiingga September 2007 dan CGN selalu membayar cicilan hutang .Alasan majelis hakim menyatakan unsur “kerugian negara” tidak terbukti dalam kasus tersebut adalah karena secara substansi, Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga negara juga tidak dirugikan.

 

Pendapat majelis hakim ini mengacu pada Pasal 1 Angka 22 UU Perbendaharaan Negara yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata.

Dengan digunakannya UU Perbendaharaan Negara, berarti majelis hakim telah menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil, dengan mengeyampingkan ketentuan UU 31/1999 yang menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil yaitu suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian Negara yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 yang unsurnya“..dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

 

Di dalam penjelasan pasal di atas dikatakan bahwa katadapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

 

Bahwa dalam perkembangan kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengeluarkan putusan No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 26 Juli 2006 yang membatalkan sifat melawan hukum materil dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)

 

Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 itu hingga kini menjadi polemik apakah perbuatan korupsi masuk delik formil atau sekaligus delik materil.

Namun bagi hakim putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut tak sepenuhnya ditaati

Sebab, mereka merasa lebih terikat dengan berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana mewajibkan para hakim menggali, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim juga masih memegang yurisprudensi terkait sifat melawan hukum dalam arti formil dan materil.

 

 

APAKAH KERUGIAN BUMN MERUPAKAN KERUGIAN NEGARA

(  4 )

Apakah kerugian yang dialami oleh BUMN dalam melakukan kegiatan usahanya sama dengan kerugian negara?

 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita melihat definisi dari BUMN.

Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.( Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara )

 

BUMN terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (“Persero”) dan Perusahaan Umum (“Perum”). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

 

Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero selama tidak diatur oleh UU BUMN.

 

Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti, S.H. yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perdata” pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.

 

Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT, yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.

 

Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35 UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah.

 

Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN:

 

Pasal 39 UU BUMN:

“Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri:

a.    baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi;

b.    terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau

c.    langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.”

 

Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakan tanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN dalam menjalankan usahanya.

 

Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”).Ketentuan yang kami maksud adalah Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi:

 

“g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;”

 

Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara.

 

Bahwa oleh karena kekayaan BUMN termasuk kekayaan Negara maka kerugian yang dialami oleh BUMN  adalah termasuk dalam kerugian Negara

 

 

PERDEBATAN MENGENAI APAKAH KERUGIAN BUMN SEBAGAI KERUGIAN NEGARA

(  5  )

 

Polemik mengenai status uang negara yang ditempatkan pada BUMN/BUMD atau yayasan yang menerima fasilitas dari Negara, apakah termasuk keuangan Negara atau bukan, bermula pada saat Mantan Kepala BPK Hadi Purnomo menjawab pertanyaan anggota Panitia Khusus DPR tentang hak angket Bank Century soal dana 6,7 trilyun. Hadi Purnomo menjawab itu uang negara. Dasarnya adalah pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, laporan keuangan LPS diaudit BPK, artinya dana LPS adalah uang negara. BPK memeriksa keuangan negara, apalagi modal awal LPS senilai 4 triltun dari APBN.

Namun pendapat Purnomo Hadi itu ditolak oleh Kementerian Keuangan kalau dana penyertaan modal itu dinilai sebagai uang negara. Di depan pansus Century, Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa dana LPS adalah kekayaan negara yang dipisahkan sehingga dana itu bukan uang negara.

 

Polemik masalah uang negara atau bukan dalam kasus Bank Century menjadi sangat penting apalagi bila dikaitkan dengan  status hukum uang Negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh Pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN/BUMD  yang berbadan hukum persero, apakah masih termasuk keuangan Negara atau bukan. Apabila dalam dana bail out Bank Century diputuskan bukan uang negara maka kasus-kasus yang menimpa pejabat BUMN/BUMD  yang didakwa dan dituntut melakukan tindak pidana korupsi juga harus dibebaskan karena tidak ada unsur merugikan uang negara.

 

Pakar Hukum banyak yang berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, menyatakan, uang di badan hukum (LPS, BUMN, BUMD, Yayasan) adalah milik badan hukum itu, bukan lagi uang negara meski berasal dari APBN, karena sudah dipisahkan.

Namun mantan hakim Konstitusi, HAS Natabaya melihat dana LPS adalah kekayaan negara, karena itu, BPK berhak memeriksa laporan keuangan LPS.

 

Tulisan ini mencoba merangkum berbagai pandangan terkait dengan isu hukum tentang bagaimana status hukum uang Negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh Pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN/BUMD  yang berbadan hukum persero, apakah masih termasuk keuangan Negara atau bukan?

 

Jawaban atas permasalahan terbagi dalam 3 (tiga) pandangan yaitu pertama pihak yang berpendapat bahwa itu adalah uang negara yang dipisahkan sehingga bukan lagi keuangan negara, kedua pihak yang berpendapat bahwa itu adalah keuangan negara dan ketiga bagaimana penerapannya oleh Penegak hukum dalam konteks tindak pidana korupsi.

 

PERTAMA, PENDAPAT YANG MENGATAKAN UANG BUMN/BUMD BUKAN LAGI KEUANGAN NEGARA, ARGUMENTASINYA ADALAH :

·      Pasal 4 ayat 1 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN yang mengatakan bahwa keuangan BUMN (persero) bukan lagi merupakan keuangan Negara. Ketentuan tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya fatwa mahkamah Agung No. WKMA/yud/20/VIII/2006 yang pada intinya mengacu pada penjelasan pasal 4 ayat 1 UU No. 19/2003 yang mengatakan “bahwa keuangan BUMN (persero) bukan lagi merupakan keuangan Negara, sehingga pengelolaan dan pertanggungjawabannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN. Demikian pula piutang BUMN bukan merupakan piutang Negara sehingga penyelesaiannya tidak dapat dilakukan melalui mekanisme UU No. 49/prp/1969 tentang panitia urusan piutang Negara (PUPN),.

·      Ini merupakan bukti yuridis bahwa pengertian kekayaan Negara yang dipisahkan tidak lagi berstatus keuangan Negara, akan tetapi berstatus hukum keuangan badan hukum lain yang bersatus hukum BUMN (persero), sehingga pengelolaan dan pertanggungjawabannya dilakukan seperti halnya perusahaan swasta biasa. Hal serupa berlaku pula bagi kekayaan daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD atau persero.

 

·      Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan “bahwa perusahan persero, yang selanjutnya disebut persero” adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara RI. yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya pasal 11 menyebutkan terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas.

 

·      Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu badan hukum yang berbentuk PT. memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan direksi (sebagai pengurus), komisaris (sebagai pengawas), dan pemegang saham (sebagai pemilik).

·      Berdasarkan hal tersebut kekayaan BUMN persero maupun kekayaan BUMN perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan Negara.

 

KEDUA, PENDAPAT YANG MENGATAKAN UANG BUMN/BUMD ADALAH KEUANGAN NEGARA. ARGUMENTASINYA ADALAH :

Dari segi hukum status yuridis kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN masih termasuk keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara khususnya pasal 2 huruf g dan i yang mengatakan “ bahwa kekayaan negara/daerah yang sudah dipisahkan masih tetap dianggap sebagai  keuangan Negara atau keuangan daerah.

Pasal 2 huruf  g dan I UU No. 17 tahun 2003 mengatakan “keuangan yang dimaksud meliputi:

a.    Hak Negara untuk memungut pajak …dsb.

b.    Kewajiban Negara ….dsb..

c.    ….., d…..e…..f…dsb..

g.   Kekayaan  negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah.

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

 

Bahwa UU No. 17 tahun 2003 ingin menegaskan bahwa uang Negara yang dipisahkan pada BUMN secara yuridis normatif termasuk dalam keuangan Negara.

Pasal 1 butir 10 UU No. 19/2003 tentang BUMN mendefinisikan kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya.

Sumber kekayaan Negara yang berasal dari APBN menunjukkan bahwa uang Negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang Negara yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan Negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya sebagai uang Negara, meskipun dikelola oleh BUMN sebagai persero.

Karena sifatnya keuangan Negara, maka BUMN termasuk objek yang menjadi pemeriksaan BPK selaku satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan Negara dan lembaga yang independen.

Pasal 3 ayat (1) UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara menegaskan “bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara. Hal ini artinya uang Negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup kewenangan pemeriksaan BPK dan merupakan bagian keuangan Negara.

 

Pasal 10 ayat (1) UU No. 15/2006 tentang BPK juga menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum  baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara. Jadi posisi BUMN dalam perspektif hukum positif adalah melakukan pengelolaan keuangan Negara. Artinya pengelolaan keuangan Negara oleh BUMN tidak menghilangkan sifat dari kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai uang Negara, tidak berubah sifatnya menjadi uang privat.

 

Bahwa dalam konteks yang lebih luas, kekayaan BUMN adalah termasuk keuangan Negara dengan pertimbangan :

·         Tujuan Negara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia (Alinea ke IV UUD 1945)

·         Sebagai implementasi perwujudan tujuan Negara tersebut antara lain dimuat dalam UU tentang keuangan Negara pada klausul menimbang angka 1 dan penjelasan alinea pertama UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yaitu “ penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan Negara”.

·         Sedangkan tekhnis pengelolaan keuangan Negara diatur yaitu : pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, taat asas, dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundangan (penjelasan umum UU No. 17/2003).

·         Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga harus diperiksa oleh lembaga yang bebas dan mandiri yaitu BPK (pasal 23E UUD 1945 dan klausul menimbang huruf a dan b, penjelasan alinea kedua UU No. 15/2004 tentang BPK).

·         Terminologi keuangan Negara berkaitan dengan kekayaan dipisahkan secara lex spesialis dengan adanya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yang merupakan penjabaran dari pasal 23C Amandemen ke 3 UUD 1945 yang menyatakan : hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan Undang-undang”. Maka UU no. 17 tahun 2003 lebih kuat dari UU lainnya berkaitan pengaturan tentang keuangan Negara.

·         Pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 menyatakan : keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1g meliputi “kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah. Terminology keuangan Negara dalam penjelasan ke 3 UU No. 31 tahun 1999 adalah “keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hokum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

·         Bahwa dari uraian datas, maka keuangan Negara yang dipisahkan pada BUMN merupakan mutlak keuangan Negara (yang menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (karena fungsi BUMN adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat - lihat  pertimbangan huruf b UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN - dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh Negara (melalui BUMN). Tujuan tersebut tidak mungkin dilakukan melalui keuangan milik swasta

·         Bahwa pasal 1 UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN yaitu :
a. BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh  Negara melalui penyertaan secara langsung  yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan b. perusahaan perseroan yang selanjutnya disebut persero adalah BUMN yang berbentuk PT yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan c. kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya.

 

       Berdasarkan uraian diatas maka uang BUMN adalah uang negara, dasar filosofinya adalah :

1.      Uang negara yang diinvestasikan pada BUMN tujuannya adalah menambah penghasilan negara yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2.      Uang negara yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN adalah bersumber dari uang rakyat di APBN. Hal ini berimplikasi harus tunduk pada mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang negara lainnya.

3.      BUMN tidak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum privat untuk menghindari akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang dipisahkan.

 

KETIGA, DALAM KONTEKS TINDAK PIDANA KORUPSI, PENEGAK HUKUM DALAM PRAKTEK PERADILAN MENGANGGAP BAHWA UANG BUMN/BUMD ADALAH KEUANGAN NEGARA.

Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, penjelasan UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengartikan keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hUkum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

 

Jadi makna keuangan negara juga termasuk hak dan kewajiban yang berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, Yayasan, Badan Hukum atau perusahaan bilamana menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

 

Bahwa dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Pejabat-pejabat BUMN terungkap fakta, dimana BUMN sering dijadikan arena transaksi dan negosiasi kepentingan politik antara penguasa dan pengusaha yang membahayakan keselamatan Negara. BUMN sering dijadikan sapi perah politik menyebabkan kerugian Negara dalam jumlah fantastik, kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di PT. PLN (persero), dan PT. Pertamina serta BUMN yang lain memperlihatkan hal tersebut.

 

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 48/PUU-XI/2013, MENGAKHIRI POLEMIK TENTANG APAKAH KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (ASSET PT BUMN/BUMD,) ADALAH TERMASUK KEUANGAN NEGARA ?

 

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyangkut uji materil pasal 2 huruf g dan huruf I UU No. 17 tahun 2003 menyatakan bahwa ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf I  UU No. 17/2003 tentang keuangan Negara tidak menimbulkan kepastian hukum, justru memberikan kepastian hukum dengan menjelaskan status keuangan yang digunakan oleh Badan hukum milik negara PT dalam menyelenggarakan fungsi negara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 khususnya pada alinea ke empat. Peran dan Fungsi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah demikian besar dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, oleh karena itu harus  diiringi penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana  milik negara harus dikelola secara transparan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian Putusan  MK ini memperluas pengertian keuangan negara dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD 1945 yaitu Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat.

 

KESIMPULAN

Penempatan uang Negara di BUMN sering menghadapi dilema. Disatu sisi badan hukum korporasi harus diberi ruang untuk melakukan inovasi namun disisi lain terdapat ancaman jerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena sebagian kekayaan yang dikelolanya bersumber dari uang Negara ketika korporasi menghadapi resiko  bisnis. Setiap bisnis ada resiko. Tidak mungkin bisnis BUMN bebas dari resiko. Oleh karena itu ada pandangan yang menyatakan bahwa adalah tidak adil menjadikan seorang Direksi BUMN menjadi tersangka hanya karena satu transaksi dalam PT. BUMN (persero) telah merugikan negara, sementara secara keseluruhan BUMN diuntungkan.  Hal ini pernah ditanyakan oleh salah satu Direksi Bank BUMN (Persero) dalam suatu kesempatan mengisi materi tentang perkreditan Perbankan dan tindak pidana Korupsi. Pertanyaan tersebut diajukan dalam kaitan dengan Pasal 56 UU No. 1 tahun 1995 tentang PT. menyatakan “ bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, direksi menyusun laporan tahun untuk diajukan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan. Menurut Direksi Bank BUMN ini, kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan.

 

Bahwa kita perlu melihat perbedaan dalam pengelolaan BUMN dengan pengelolaan APBN/APBD.

-       BUMN orientasinya adalah Bisnis untuk memperoleh keuntungan sedangkan pengelolaan APBN adalah untuk pembangunan.

-       Bahwa secara tekhnis operasional, jika strategi bisnis, perjanjian bisnis murni kemudian terjadi force majeure, atau transaksi bisnis yang menghasilkan pendapatan diluar target yang direncanakan disebabkan kondisi eksternal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). Hal ini bukan merupakan kerugian keuangan Negara dalam konteks tindak pidana korupsi, dugaan perbuatan merugikan keuangan Negara dapat terjadi jika pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan termasuk dana-dana publik yang dikelola pada BUMN terlihat dilakukan secara professional, tetapi transaksi bisnis dilakukan “secara sengaja melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan mengurangi hak pendapatan Negara (BUMN) atau menimbulkan kewajiban membayar oleh BUMN melalui pemberian fasilitas kredit atau pekerjaan yang di mark up atau usaha curang yang seharusnya tidak terjadi. Maka hal ini sudah masuk klasifikasi “perbuatan pidana merugikan keuangan Negara”.

    Jadi harus dipisahkan antara wilayah bisnis murni dan perbuatan pidana dalam bisnis BUMN. Memang untuk memisahkan hal ini secara jernih dibutuhkan profesionalisme dan kompetensi keahlian antara “ pengetahuan perbuatan merugikan keuangan Negara dan pengetahuan bisnis BUMN”.

 

TEKHNIS PEMERIKSAAN MENGUNGKAP KERUGIAN NEGARA

DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

(  6  )

 

1.    Untuk memulai pemeriksaan korupsi maka unsur yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah adanya kerugian Negara, karena ini  yang paling mudah untuk dibuktikan. Unsur kerugian negara dapat diindentifikasi dengan adanya kemahalan harga kontrak.

     Auditor harus meyakinkan bahwa harga kontrak adalah mahal. Hal ini dapat ditempuh dengan membandingkan harga kontrak dengan harga pasar setempat. Harga pasar dapat diketahui dengan melakukan survei harga di pasar setempat. Harga yang disurvei adalah harga barang yang sama dengan yang dibeli oleh proyek, termasuk semua unsur yang melekat pada kewajiban penyedia barang unruk memenuhinya. Unsur-unsur harga tersebut meliputi syarat penyerahan (biaya pengiriman barang sampai ke lokasi penyerahan), biaya pelatihan (jika ada), biaya overhead secara wajar, laba wajar, dan PPN (pajak pertambahan nilai). Jika harga kontrak masih dalam batas kewajaran dibandingkan dengan harga pasar, maka unsur kerugian negara tidak ada, audit tidak perlu dilanjutkan. Sebaliknya, jika diketahui harga kontrak mahal melebihi batas kewajaran, dapat diduga unsur kerugian negara telah terjadi.

 

2.    Dalam hal harga kontrak diketahui mahal, langkah berikutnya adalah mengarah pada unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum yang paling mudah dibuktikan adalah penyimpangan dalam penyusunan HPS. Peluang penyimpangan hukum dalam penyusunan HPS oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah tidak menyusun HPS sesuai dengan ketentuan.

     Jika HPS disusun sesuai dengan ketentuan, dapat dipastikan harganya sesuai dengan harga wajar. Karena harga kontrak telah diketahui mahal, pantas diduga bahwa HPS tidak didasarkan pada survei harga. Jika HPS memang tidak didasarkan pada survei harga, dan kenyataannya harga kontrak mahal, berarti HPS lebih tinggi daripada harga kontrak. Dengan demikian unsur melawan hukum dapat lebih dipastikan keberadaannya.

 

     Pasal 66 ayat (7) Perpres 54 Tahun 2010 menyatakan bahwa penyusunan HPS harus didasarkan pada data harga pasar setempat, mempertimbangkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), biaya satuan dari asosiasi terkait, daftar biaya/tarif yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal, kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan, unsur inflasi, suku bunga, kurs tengah Bank Indonesia, kontrak sejenis, perkiraan biaya konsultan perencana, norma indeks dan/atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

    

     Memerhatikan ketentuan tersebut, auditor dapat meminta kepada PPK selaku penyusun HPS untuk menunjukkan dokumen survei harga. Jika PPK melakukan survei harga sebagaimana diatur dalam pasal 66 ayat (7), dipastikan HPS akan setinggi harga wajar sebagaimana hasil survei auditor. Karena harga kontrak mahal, dan HPS lebih mahal daripada harga kontrak, maka dapat dipastikan pula PPK tidak melakukan survei harga. Dengan demikian unsur melawan hukum sudah dapat dibuktikan.

 

3.    Dengan telah adanya unsur melawan hukum dalam membuat HPS yang tidak didasarkan survei harga, dan harga kontrak ternyata berindikasi ada kerugian negara (mahal), maka PPK sebagai pembuat HPS sudah dapat diduga memenuhi pasal 2 tersebut. Sekalipun ada kemungkinan PPK tidak memerkaya diri sendiri, minimal telah dapat dikatakan telah memerkaya orang lain atau korporasi, yakni penyedia barang yang menerima pembayaran dari proyek.

 

4.    Bahwa selanjutnya siapa pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya penggelembungan harga. Untuk ini auditor dapat memulainya dengan mendalami pelaku tingkat dasar dalam pelanggaran hukum, yakni PPK sebagai penyusun HPS. Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah bagaimana caranya dia dapat menetapkan harga dalam HPS, padahal tidak melakukan survei harga. Secara logika, tidak ada orang berani menetapkan harga tanpa melakukan survei harga. Tanpa survei harga, PPK dapat menetapkan harga, berarti dia memiliki referensi harga. Dalam kolusi harga seperti ini, dapat diduga PPK memiliki referensi dari atasan langsungnya atau dari calon penyedia barang yang sebenarnya harus dikendalikan dengan HPS. Jika dari pendalaman dapat dibuktikan bahwa referensi harga memang berasal dari penyedia barang, maka unsur kolusi dapat dibuktikan keberadaannya.

     Selanjutnya, auditor dapat menguak adanya jaringan atau kolusi yang sebenarnya terjadi. Yang tidak boleh dilupakan dalam audit ini adalah mengungkap seluruh pihak yang terlibat, antara lain adalah para calon penyedia barang yang kalah, penyedia barang sebagai pemenang lelang, panitia lelang atau para pejabat di unit layanan pengadaan, bahkan juga para pejabat atasan PPK

 

 

 

Komentar

  1. Assalamualaikum wr. wb. Pak, menarik sekali kajian pengembalian kerugian keuangan negara menurut SE Kejagung 2010 (perkara korupsi relatif kecil tidak dilanjuti), SEMA 2016 (jangka waktu 60 hari perkara korupsi tidak dilanjuti), yurisprudensi PT (kerugian keuangan negara sdh dikembalikan perkara dilepas dari tuntutan jaksa) yg semuanya bertentangan dengan Pasal 4 UU PTPK dengan kajian pendekatan normatif.
    Saya mohon kiranya bisa kiranya data kasusnya diinformasikan melalui email. kebetulan saya sedang menulis karya ilmiah dengan topik tersebut terkait dengan keadilan dibandingkan pengembalian kerugian keuangan negara sudah dikembali tetapi diproses pidana. terima kasih. Wassalam, hatur nuhun.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran