Langsung ke konten utama

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin

Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan.

Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran Allah swt. berfiman “ dan kami perintahkan iblis untuk bersujud kepada Adam, maka mereka bersujudlah  kecuali Iblis.  Jika kita mengambil satu ayat (pasal) ini secara bebas maka implikasinya adalah bahwa Iblis adalah malaikat, karena perintah sujud diberikan kepada para malaikat, maka kita akan menafsirkan bahwa ada satu malaikat yang tidak mau bersujud yaitu yang bernama Iblis. Jadi kesimpulan kita adalah iblis dahulunya adalah malaikat. Itu kalau kita menafsirkan satu ayat secara terpisah dan kemudian mengambil kesimpulan darinya.

Padahal kalau kita membuka ayat atau pasal yang lain, kita akan mendapati keterangan bahwa malaikat selalu patuh, malaikat tidak mempunyai nafsu, dan selalu patuh pada perintah Tuhan (alquran surat At Tahrim ayat 6),  Jadi kesimpulan kita adalah malaikat tidak mungkin membangkang. Lalu siapa itu iblis? Jawaban ini akan kita dapat pada ayat atau pasal yang lain yaitu bahwa iblis adalah dari golongan jin (alquran surah al kahfi ayat 50).
Jadi kita harus melihat dan mempelajari semua ayat yang berkaitan dengan topik secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh, makna yang harmonis.

Tapi Ini berbeda lagi dengan hukum buatan manusia, walaupun secara teori ada beberapa metode penafsiran tapi tidak pernah memberikan kepastian,  penafsiran apa yang paling tepat dalam memahami suatu subjek hukum. Misalnya kita ambil contoh UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang sekarang berganti dengan nama Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (UU TPPU).

Filosofi UU TPPU ini adalah memburu uang hasil kejahatan, karena yang dikejar adalah hasil kejahatannya (follow to money) maka untuk merampas hasil kejahatan tersebut harus dibuktikan  terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime), itulah maka dicantumkan pasal 2 yaitu jenis-jenis tindak pidananya. Namun di dalam pasal 69 disebutkan bahwa Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”
Disinilah terdapat kontradiksi antara pasal 2 dan pasal 69. Lalu mana yang benar? Kita tanyakan kepada pakar hukum :
Menurut Prof. Romli Atmasasmita, Penerapan pembuktian terbalik mutrni oleh KPK sebenarnya mengacu pada ketentuan dalam konvensi anti korupsi PBB tahun 2003 (UNCAC 2003) yaitu larangan illicit enrichment (yaitu seseorang yang tidak dapat membuktikan harta kekayaannya dihubungkan dengan penghasilannya yang sah). Padahal meskipun konvensi tersebut telah diratifikasi, tetapi sampai dengan saat ini ketentuan tersebut belum pernah dimasukkan dalam produk hukum nasional, baik dalam UU Tipikor 1999/2001 maupun UU TPPU 2010, sehingga tidak dapat menjadi acuan dalam penegakan hukum.
Prof Dr. Edward Omar Syarif Hiariej, SH.MH. beliau menyatakan bahwa “terkait dengan pencucian uang, kejahatan asal harus dibuktikan dahulu atau setidak-tidaknya kejahatan asal dibuktikan bersamaan dengan pencucian uang itu. seandainya saya didakwa melakukan pencucian uang sebanyak Rp. 5000,- tetapi uang Rp. 5000.- ini tidak bisa dibuktikan apakah uang hasil kejahatan atau bukan hasil kejahatan, maka saya tidak dapat dikatakan melakukan pencucian uang.
pendapat senada dikatakan oleh Prof Dr. Andi Hamzah yang menyatakan hal yang sama yaitu “ bagaimana mungkin mencuci baju, kalau bajunya belum dibeli.

Tapi bagaimana dalam praktek ?
Dalam praktek UU TPPU, KPK mengambil pasal 69 dimana KPK akan merampas seluruh harta kekayaan terdakwa walaupun tidak ada hubungannya dengan tindak pidana asal (korupsi), selama Harta kekayaan terdakwa tersebut tidak sebanding dengan profil atau pekerjaan atau penghasilan terdakwa atau terdakwa tidak dapat menjelaskan atau membuktikan asal usul perolehan harta kekayaannya secara logis.
Bahwa sikap KPK yang menganggap bahwa  tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, akan menimbulkan polemik mengenai dimana kepastian dan keadilan bagi para pihak. Karena ada tersangka atau terdakwa yang sama-sama melakukan kejahatan serupa tapi tidak diterapkan pasal 69. Hanya diterapkan terhadap beberapa orang tertentu, sehingga seharusnya demi kesamaan di depan hukum (equality before the law), seharusnya KPK juga mengusut dan merampas harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dilihat dari profilnya tidak memungkinkan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut hidup mewah dengan harta melimpah. Tidak sulit untuk mengetahui profil pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat negara dengan profil demikian. Bahkan dibeberapa instansi tertentu hal itu dengan mudah kita temukan.Tapi ini tidak dilakukan oleh KPK. KPK hanya membidik TPPU kepada pelaku korupsi tertentu. 

Contoh lain adalah di dalam KUHAP diatur bahwa Peninjauan kembali (PK) hanya dapat digunakan oleh terpidana. Pasal ini jelas, tegas bahwa PK hanya milik terpidana karena di dalam pasal lain tidak diatur tentang hak Jaksa untuk melakukan PK. Tapi penegak hukum kemudian menafsirkan dengan bebas, bahwa karena tidak dilarang berarti boleh. Jadi Jaksa juga boleh melakukan PK. Apa yang terjadi kemudian tidak ada kepastian hukum. perang PK lawan PK.
Ini adalah sekedar contoh bagaimana seharusnya pembuat Undang-undang yaitu pemerintah dan DPR memahami betul yang namanya harmonisasi hukum, harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk meminimalisir banyaknya multitafsir dalam menerjemahkan makna suatu peraturan baik secara filosofis maupun yuridis. Kalau ini tidak dilakukan maka akademisi dan praktisi hukum akan membawa semua permasalahan ke pengadilan. Dan karena pengadilan tidak bisa menolak perkara yang diajukan kepadanya, maka Pengadilan yang akan membuat hukum. Lalu apa yang terjadi ? kebingungan. Ada Hakim yang membolehkan tersangka mengajukan pra peradilan dalam penetapan tersangka dan ada hakim yang menolak, lalu mana yang benar? Hari ini, karena banyak kepentingan, tersangka boleh mengajukan pra peradilan, tapi besok atau lusa, saya yakin pra peradilan penetapan tersangka tidak akan diperbolehkan lagi, kenapa?  Karena hanya menguntungkan penasehat Hukum, hehehe.
Bukankah PK jaksa juga seperti itu, dulu boleh, sekarang dilarang lagi kan?
Wallahu ’alam bissawwab.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem