Langsung ke konten utama

Tindak lanjut temuan kerugian negara dalam LHP BPK, antara administrasi atau pidana



Tindak lanjut temuan kerugian negara dalam LHP BPK, antara administrasi atau pidana

Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin


Bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara (pasal 23E ayat (1) UUD 1945).

BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah pusat, pemerintah Daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).

Pelaksanaan pemeriksaan BPK, dilakukan berdasarkan Undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (pasal 6 ayat (2) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).

Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan ,pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas. pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Tentang pemeriksaan investigatif disebutkan : pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/unsur pidana. BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam kesepakatan bersama antara BPK dan Kejaksaan Agung RI

Nomor : 01/KB/I-VIII.3/07/2007

Nomor : KEP-071/A/JA/07/2007

Tentang tindak lanjut penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang diduga mengandung unsur tindak pidana, disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) apabila dalam pemeriksaan BPK terungkap hal-hal yang diduga mengandung unsur tindak pidana, maka BPK sesuai kewenangannya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada penegak hukum, termasuk Kejaksaan Agung.  jadi yang diserahkan oleh BPK kepada Kejaksaan Agung adalah pemeriksaan investigatif.

Lalu bagaimana dengan LHP BPK dalam bentuk hasil pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yang salah satunya dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan yang didalamnya dilaporkan adanya temuan seperti : indikasi merugikan keuangan negara, kelebihan bayar, penerimaan negara kurang disetor, bukti tidak lengkap, tidak sesuai ketentuan, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kurang dapat dipertanggungjawabkan, apakah perbuatan tersebut sudah mengandung unsur pidana  yang merugikan keuangan negara,  apakah seluruh temuan tersebut, BPK  akan menindaklanjutinya dalam bentuk pemeriksaan investigatif yang selanjutnya hasilnya diserahkan kepada penegak hukum atau penegak hukum sendiri dapat langsung melakukan pemeriksaan tanpa menunggu penyerahan hasil laporan investigatif dari BPK ?

Permasalahan ini semakin menjadi debatable apabila dikaitkan dengan adanya rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian negara yang kemudian ditindaklanjuti oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, apakah kerugian negara/daerah dalam temuan tersebut tidak ada lagi karena telah dipulihkan sehingga menjadi ranah administrasi yang mana penegak hukum tidak boleh memasukinya ?

Tulisan ini mencoba membahas masalah ini dari berbagai sudut pandang, dan  pembaca dipersilahkan untuk melihat dari sudut pandang sendiri.



Mengenai temuan BPK yang mengandung indikasi kerugian negara.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.

Selanjutnya di dalam Pasal 10 ayat (2) yang antara lain menyatakan bahwa penilaian kerugian keuangan Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.



Pasal 10 ayat (3) yang antara lain menyatakan bahwa untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau

a). Penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain.

b). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara yang telah ditetapkan oleh BPK, dan

c). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.


Bahwa di dalam Pasal 20 UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.

Ayat (1) pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Ayat (2) pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Ayat (3) jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

Ayat (4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.


Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah hukum administrasi Negara (administratif), sehingga  sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil pemeriksaan telah ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan, berarti kewajiban administratifnya bagi BPK telah selesai, dengan demikian adanya  pengembalian oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, berarti kerugian negara/daerah dalam temuan tersebut telah dipulihkan.

Atas rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut tentunya BPK tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di dalamnya, dan tentunya BPK  tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3), (4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).


Tapi bagaimana apabila dalam waktu 60 hari ternyata rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK.

Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, menyebutkan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”.

Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindaklanjuti maka BPK akan melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak hukum.



UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara pasal 13 menyebutkan “ pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/daerah dan/atau unsur pidana.

kemudian pasal 14 ayat (1) menegaskan “apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan mengenai BPK terlebih dahulu harus melakukan pemeriksaan investigatif untuk menemukan adanya indikasi pidana terhadap perbuatan yang merugikan keuangan negara terdapat pertentangan dengan pasal 8 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK, dimana disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Artinya tidak diperlukan pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif .





Mengenai rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian Negara

Isue utama perbuatan korupsi adalah timbulnya kerugian negara, sehingga sudah barang tentu harus ada upaya pemgembalian kerugian negara tersebut. Pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan instrumen pidana, instrumen perdata dan instrumen TGR (Tuntutan Ganti Rugi). Dengan adanya pengertian keuangan negara yang berbeda-beda pada setiap UU yang dibentuk  misalnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang menimbulkan multitafsir terhadap hal kerugian negara, sehingga dalam penerapannya pun terdapat perbedaan tafsir antara Jaksa, Hakim dan BPK serta BPKP yang menimbulkan perbedaan dalam penanganan perkara korupsi.

Bahwa terjadinya multitafsir dan perbedaan pendapat antar lembaga tadi berdampak  pada  kebijakan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian negara yang menimbulkan permasalahan yaitu :

Apakah para pihak yang disebutkan dalam rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian negara dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, jika yang bersangkutan telah mengganti seluruh kerugian negara/daerah yang ditimbulkannya ?

Bagi penegak hukum jawabannya mungkin sederhana yaitu pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana (pasal 4 UU No. 31 tahun 1999). Tapi apabila ditanyakan kembali, bagaimana kalau kerugian negara dikembalikan sebelum atau sewaktu dilakukan penyelidikan, sewaktu dilakukan penyidikan, setelah penyidikan bahkan sewaktu persidangan bergulir, maka kita akan menemukan jawaban yang berbeda-beda.

Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”. Pengertian dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sifatnya seolah-olah alternatif, pertanyaannya adalah kapan hanya sekedar sanksi administrasi dan kapan diterapkan sanksi pidana?

Namun adanya ketentuan bahwa Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi  pidana, maka setiap hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik. Kewenangan BPK hanyalah menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi sedangkan penegak hukum adalah menemukan adanya perbuatan pidana untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana.

Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan “ sekalipun temuan BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Kalau tidak ada pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.



Lalu bagaimana seharusnya penegak hukum menyikapi rekomendasi BPK berupa pengembalian kerugian negara yang tidak ditindaklanjuti, atau sebagian ditindaklanjuti dan yang telah ditindaklanjuti seluruhnya namun melewati lebih dari 60 hari ?

Penerapan hal ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum dalam praktek di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang dihadapi. Pertama-tama penegak hukum harus memahami bahwa dalam penanganan perkara korupsi, yang paling utama adalah bagaimana  mengembalikan kerugian negara kepada negara. Dalam penegakan hukum, penegak hukum harus lebih mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan Negara (restoratif justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan Negara relatif kecil dipertimbankan untuk tidak ditindaklanjuti. Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam  penanganan perkara tindak pidana korupsi sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan Negara) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan) sehingga dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat.



Kaitan Laporan Pemeriksaan (LHP) BPK atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan dan Unsur-unsur tindak pidana Korupsi dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999.

Disini penulis akan menyajikan contoh laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan laporan keuangan Kementerian pekerjaan umum tahun 2012, Nomor : 07c/HP/XIX/05/2013 tanggal 31 mei 2013, hlmn 1-6.

a.      Terdapat kelebihan pembayaran atas paket pengadaan Barang dan Jasa

1.      Kondisi

     Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kementerian Pekerjaan Umum TA. 2011 Nomor 13.c/LHP/XVII/05/2012 tanggal 21 mei 2012 mengungkapkan beberapa kelemahan dalam pengadaan barang/jasa antara lain “terdapat kelebihan pembayaran atas 28 paket pengadaan barang/jasa sebesar Rp.8.407.077.600,32.- BPK merekomendasikan Menteri pekerjaan Umum agar memberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan kepada para kepala Satker, PPK, pengawas lapangan, dan konsultan pengawas yang kurang cermat dalam menguji kewajaran tagihan belanja yang diajukan oleh kontraktor serta memerintahkan para kepala satker untuk mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp.8.407.077.600,32.- dengan menyetorkan ke kas negara .

     Kementerian pekerjaan umum telah menindaklanjuti melalui surat teguran kepada kepala Satker, PPK, pengawas lapangan, konsultan pengawas dan telah menyetorkan ke kas negara sebesar Rp. 7.026.362.945,98.- sedangkan sisanya sebesar 1.380.714.654,34.- belum disetor. Dengan demikian sampai dengan pemeriksaan berakhir rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut belum seluruhnya selesai ditindaklanjuti.

    Hasil pengujian secara uji petik atas kegiatan pengadaan barang dan jasa pada Kementerian Pekerjaan umum tahun 2012, diketahui terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp. 5.433.780.036,70.- telah dikembalikan sebesar Rp. 4.822.740.989,27.- dan sisa sebesar Rp. 611.039.047,43.-

      Catatan :

1.   pengertian kelebihan pembayaran berarti terdapat kerugian negara berupa timbul atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu, ini masuk klasifikasi Unsur “kerugian negara”.

2.   Adanya rekomendasi BPK kepada kepala satker untuk mempertanggungjawabkan kelebihan pembayaran dengan menyetorkan ke kas negara, berarti kerugian tersebut secara nyata,dan  pasti yang dapat dinilai dengan uang (jumlah hasil pemeriksaan).

3.  Terkait kerugian keuangan Negara serta dikaitkan dengan kewenangan BPK secara rigid sebagaimana pada pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK, maka BPK :“ menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum karena sengaja/lalai yang dilakukan oeh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.

2.      Kriteria (permasalahan tersebut tidak sesuai dengan)

    Peraturan presiden Nomor 54 tahun 2010 Jo. Perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, pasal 51 ayat 2 : kontrak harga satuan merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volumen pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa dan dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan.

      Catatan

Kriteria – permasalahan tersebut tidak sesuai dengan ….. dengan penyebutan peraturan perundang-undangan terkait secara spesifik)

    Apabila ada temuan, biasanya BPK akan menyebutkan seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan/dilanggar artinya tindakan/perbuatan tersebut secara eksplisit adalah melanggar peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain bertentangan dengan hukum/melawan hukum formil.

3.      Akibat

      Hal tersebut mengakibatkan : kelebihan pembayaran pekerjaan kepada penyedia jasa konstruksi senilai Rp. 5.433.780.036,70.-

      catatan

     Pengertian kelebihan pembayaran berarti terdapat kerugian negara berupa timbul atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu, ini masuk klasifikasi Unsur “kerugian negara”.

4.      Sebab, permasalahan tersebut disebabkan :

a.      PPK tidak sepenuhnya mempedomani spesifikasi tekhnis serta kurang optimal dalam melakukan pengendalian atas tagihan.

b.      Pengawas lapangan dan konsultan supervisi kurang cermat dalam melakukan pengawasan kuantitas hasil pekerjaan.

c.       Panitia serah terima pekerjaan (PHO) kurang cermat dalam melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan.

d.      Kontraktor kurang cermat dalam melakukan perhitungan volumen pekerjaan.

      Catatan

Sebab, permasalahan tersebut disebabkan ….. ….(dengan menyebutkan penyebab keadaan dan tanggung jawab pejabat terkait)

      Ini terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan)



Dengan demikian LHP BPK yang telah menyimpulkan berdasarkan bukti bukti dokumen dan keterangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang diperiksa, bahwa telah terjadi kerugian Negara dengan menyebut jumlah kerugian Negara serta mengungkapkan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan maka itu adalah merupakan perbuatan yang menyimpang jika berdasarkan kewenangan yang diberikan perundang-undangan maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga temuan BPK terkait dengan laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh penegak hukum untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan adanya perbuatan tindak pidana korupsi.



Harapan kepada BPK

Bahwa ujung tombak pemberantasan korupsi sebenanrnya ada pada BPK sebagai lembaga Negara yang memeriksa seluruh pengelolaan keuangan Negara setiap tahun. Diharapkan BPK dalam melakukan pemeriksaan agar lebih tegas dan konsisten, independen, objektif dan professional dalam mengungkap adanya perbuatan merugikan keuangan Negara/daerah sehingga temuan tersebut dapat langsung dieksekusi oleh aparat penegak hukum.  pasal 8 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK, disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Dan tentunya hal ini berpulang kembali pada sikap aktif tindak lanjut pemeriksa dan/atau anggota BPK itu sendiri atas temuan unsur pidana untuk melaporkannya kepada penegak hukum.

Saya berandai-andai, seandainya sistem ini berjalan dengan baik dimana BPK benar-benar menjalankan fungsinya melakukan pemeriksaan atas pengelolaaan keuangan negara yang berindikasi pidana yang merugikan keuangan negara dan melaporkan seluruh hasil temuannya kepada penegak hukum, maka penegak hukum (Polisi dan Jaksa) tidak perlu lagi mencari-cari kasus untuk diperiksa, tapi cukup menunggu penyerahan hasil pemeriksaan LHP BPK untuk ditindaklanjuti. Dan disinilah peran penting BPK sebagai ujung tombak pencegahan dan pemberantasan korupsi.




Komentar

  1. Trimakasih Pak. Sangat membantu saya.

    BalasHapus
  2. Sangat berharap kami TERSANGKA korupsi tapi prosedur penetapan TERSANGKA kami tanpa bukti permulaan baik pemeriksaan bpk atau lainnya, sehingga kerugian negara nya tidak jelas, tidak konkrit dan tdk nyata. Apa hakim berwenang menghitung kerugian negara

    BalasHapus
  3. Tidak menimbulkan efek jerah...

    BalasHapus
  4. Manntab surantab kawan

    BalasHapus
  5. Terima kasih. Atas gagasan gasan postifnya

    BalasHapus
  6. Apakah pengembalian bisa bertahap atau dicicl?.. thanks

    BalasHapus
  7. Penyampaian yang menarik, tapi jika kasusnya begini pak:
    LHP BPK melaporkan adanya temuan yang disampaikan ke inspketorat dan sudah di lakukan penanganan oleh inspektorat lewat proses sidang ganti rugi, tetapi tengan proses sidang penyidik dari kepolisian dalam hal ini tindak pidana tipikor masuk dengan membawa hasil audit dari bpkp yang hasilnya berbeda jauh dengan hasil audit bpk, apakah boleh hal tersebut terjadi, karena proses penanganan masih di ranah APIP

    BalasHapus
  8. Ada setudi kasus gni pak,ada Pt yg bergerak di bidang kontruksi yg mengerjakan gedung olahraga di salah satu pemda,setelah di audit oleh BPK ternyata di temukan kerugian negara karna ada beberapa aitem yg tidak sesuai sepek,PT tersebut mengembalikan kerugian yg sudah di tentukan oleh BPK.
    Pertanyaan saya apakah polisi atau jaksa bisa menuntut kepada PT tersebut?

    BalasHapus
  9. bikinkan sy tesis judul ini donk....hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran