Tindak
lanjut temuan kerugian negara dalam LHP BPK, antara administrasi atau pidana
Oleh :
Muhammad Ahsan Thamrin
Bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah
satu-satunya lembaga negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk
melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
(pasal 23E ayat (1) UUD 1945).
BPK bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah
pusat, pemerintah Daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan
layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006
tentang BPK).
Pelaksanaan pemeriksaan
BPK, dilakukan berdasarkan Undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara (pasal 6 ayat (2) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).
Pemeriksaan BPK mencakup
pemeriksaan keuangan ,pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan
kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas
pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek
efektifitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas. pemeriksaan
investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Tentang pemeriksaan
investigatif disebutkan : pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif
guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/unsur pidana. BPK
segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kesepakatan bersama antara BPK dan
Kejaksaan Agung RI
Nomor : 01/KB/I-VIII.3/07/2007
Nomor : KEP-071/A/JA/07/2007
Tentang tindak lanjut
penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang diduga mengandung unsur
tindak pidana, disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) apabila dalam pemeriksaan BPK
terungkap hal-hal yang diduga mengandung unsur tindak pidana, maka BPK sesuai
kewenangannya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada penegak hukum, termasuk
Kejaksaan Agung. jadi yang diserahkan
oleh BPK kepada Kejaksaan Agung adalah pemeriksaan investigatif.
Lalu bagaimana dengan LHP BPK dalam bentuk
hasil pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yang salah satunya
dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan
Perundang-undangan yang didalamnya dilaporkan adanya temuan seperti : indikasi
merugikan keuangan negara, kelebihan bayar, penerimaan negara kurang disetor,
bukti tidak lengkap, tidak sesuai ketentuan, tidak dapat dipertanggungjawabkan
dan kurang dapat dipertanggungjawabkan, apakah perbuatan tersebut sudah mengandung
unsur pidana yang merugikan keuangan
negara, apakah seluruh temuan tersebut, BPK
akan menindaklanjutinya dalam bentuk pemeriksaan
investigatif yang selanjutnya hasilnya diserahkan kepada penegak hukum atau
penegak hukum sendiri dapat langsung melakukan pemeriksaan tanpa menunggu
penyerahan hasil laporan investigatif dari BPK ?
Permasalahan ini semakin menjadi debatable
apabila dikaitkan dengan adanya rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian
negara yang kemudian ditindaklanjuti oleh para pihak sebagaimana disebutkan
dalam rekomendasi BPK, apakah kerugian negara/daerah dalam temuan tersebut
tidak ada lagi karena telah dipulihkan sehingga menjadi ranah administrasi yang
mana penegak hukum tidak boleh memasukinya ?
Tulisan ini
mencoba membahas masalah ini dari berbagai sudut pandang, dan pembaca dipersilahkan untuk melihat dari sudut
pandang sendiri.
Mengenai
temuan BPK yang mengandung indikasi kerugian negara.
Di dalam Pasal 10
ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa BPK menilai dan/atau
menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD,
dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.
Selanjutnya di
dalam Pasal 10 ayat (2) yang antara lain menyatakan bahwa penilaian kerugian
keuangan Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 10 ayat (3)
yang antara lain menyatakan bahwa untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti
kerugian, BPK berwenang memantau
a). Penyelesaian ganti kerugian
Negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
dan pejabat lain.
b). Pelaksanaan pengenaan ganti
kerugian Negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola keuangan Negara yang telah ditetapkan oleh BPK, dan
c). Pelaksanaan pengenaan ganti
kerugian Negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
Bahwa di dalam
Pasal 20 UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara.
Ayat (1) pejabat
wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
Ayat (2) pejabat
wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas
rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
Ayat (3) jawaban
atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan
diterima.
Ayat (4) BPK memantau pelaksanaan tindak
lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5) Pejabat yang diketahui tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi
administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa hasil pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan
pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah
hukum administrasi Negara (administratif), sehingga sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil
pemeriksaan telah ditindaklanjuti oleh pejabat yang bersangkutan, berarti
kewajiban administratifnya bagi BPK telah selesai, dengan demikian adanya pengembalian oleh para pihak sebagaimana
disebutkan dalam rekomendasi BPK, berarti kerugian negara/daerah dalam temuan
tersebut telah dipulihkan.
Atas rekomendasi yang telah ditindaklanjuti
tersebut tentunya BPK tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan investigatif untuk
mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di dalamnya, dan tentunya BPK tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut
kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3),
(4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).
Tapi bagaimana apabila dalam waktu 60 hari ternyata rekomendasi
BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh oleh
para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK.
Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang perbendaharaan negara, menyebutkan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan
bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”.
Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai
ditindaklanjuti maka BPK akan melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya
dilaporkan kepada penegak hukum.
UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara pasal 13 menyebutkan “ pemeriksa
dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi
kerugian Negara/daerah dan/atau unsur pidana.
kemudian pasal 14 ayat (1) menegaskan “apabila
dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun ketentuan mengenai BPK terlebih dahulu harus
melakukan pemeriksaan investigatif untuk menemukan adanya indikasi pidana terhadap
perbuatan yang merugikan keuangan negara terdapat pertentangan dengan pasal 8
UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK, dimana disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP)
ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana
tersebut, dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat
penyidik yang berwenang. Artinya tidak diperlukan pemeriksaan lain berupa
pemeriksaan investigatif .
Mengenai rekomendasi BPK untuk mengembalikan
kerugian Negara
Isue utama perbuatan korupsi adalah timbulnya
kerugian negara, sehingga sudah barang tentu harus ada upaya pemgembalian
kerugian negara tersebut. Pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan
instrumen pidana, instrumen perdata dan instrumen TGR (Tuntutan Ganti Rugi).
Dengan adanya pengertian keuangan negara yang berbeda-beda pada setiap UU yang
dibentuk misalnya dalam UU Nomor 31
Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, yang
menimbulkan multitafsir terhadap hal kerugian negara, sehingga dalam
penerapannya pun terdapat perbedaan tafsir antara Jaksa, Hakim dan BPK serta
BPKP yang menimbulkan perbedaan dalam penanganan perkara korupsi.
Bahwa terjadinya multitafsir dan perbedaan pendapat antar lembaga tadi
berdampak pada kebijakan yang berkaitan dengan pengembalian
kerugian negara yang menimbulkan permasalahan yaitu :
Apakah para pihak yang disebutkan dalam rekomendasi BPK
untuk mengembalikan kerugian negara dapat dibebaskan dari tuntutan pidana, jika
yang bersangkutan telah mengganti seluruh kerugian negara/daerah yang
ditimbulkannya ?
Bagi penegak hukum
jawabannya mungkin sederhana yaitu pengembalian kerugian negara tidak menghapus
pidana (pasal 4 UU No. 31 tahun 1999). Tapi apabila ditanyakan kembali, bagaimana kalau
kerugian negara dikembalikan sebelum atau sewaktu dilakukan penyelidikan, sewaktu dilakukan
penyidikan, setelah penyidikan bahkan sewaktu persidangan bergulir, maka kita
akan menemukan jawaban yang berbeda-beda.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan
bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana”.
Pengertian dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sifatnya
seolah-olah alternatif, pertanyaannya adalah kapan hanya sekedar sanksi
administrasi dan kapan diterapkan sanksi pidana?
Namun adanya ketentuan bahwa Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan
pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat
dikenakan sanksi pidana, maka setiap hasil
pemeriksaan (LHP) BPK yang mengandung indikasi merugikan keuangan negara
seyogyanya harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI)
terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk
melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan
melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik. Kewenangan BPK hanyalah
menetapkan ganti rugi yang merupakan sanksi administrasi sedangkan penegak
hukum adalah menemukan adanya perbuatan pidana untuk selanjutnya memberikan sanksi
pidana.
Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan “ sekalipun temuan
BPK tidak pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang
pelanggaran administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi.
Kalau tidak ada pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi
itu sumbernya pada administrasi yang tidak tertib.
Lalu bagaimana seharusnya penegak hukum menyikapi rekomendasi BPK
berupa pengembalian kerugian negara yang tidak ditindaklanjuti, atau sebagian
ditindaklanjuti dan yang telah ditindaklanjuti seluruhnya namun melewati lebih
dari 60 hari ?
Penerapan hal ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum dalam
praktek di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang dihadapi. Pertama-tama
penegak hukum harus memahami bahwa dalam penanganan perkara korupsi, yang
paling utama adalah bagaimana mengembalikan
kerugian negara kepada negara. Dalam penegakan hukum, penegak hukum harus lebih mengedepankan
rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya
telah mengembalikan kerugian keuangan Negara (restoratif justice), terutama
terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan Negara
relatif kecil dipertimbankan untuk tidak ditindaklanjuti. Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat big fish
(berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian keuangan Negara)
dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan)
sehingga dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat.
Kaitan Laporan Pemeriksaan (LHP) BPK atas
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan Perundang-undangan dan Unsur-unsur
tindak pidana Korupsi dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999.
Disini penulis akan menyajikan contoh laporan hasil pemeriksaan BPK atas
kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan laporan keuangan Kementerian
pekerjaan umum tahun 2012, Nomor : 07c/HP/XIX/05/2013 tanggal 31 mei 2013, hlmn
1-6.
a.
Terdapat kelebihan pembayaran atas paket
pengadaan Barang dan Jasa
1.
Kondisi
Laporan
hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kementerian Pekerjaan Umum TA. 2011
Nomor 13.c/LHP/XVII/05/2012 tanggal 21 mei 2012 mengungkapkan beberapa
kelemahan dalam pengadaan barang/jasa antara lain “terdapat kelebihan
pembayaran atas 28 paket pengadaan barang/jasa sebesar Rp.8.407.077.600,32.-
BPK merekomendasikan Menteri pekerjaan Umum agar memberikan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan kepada para kepala Satker, PPK, pengawas lapangan,
dan konsultan pengawas yang kurang cermat dalam menguji kewajaran tagihan
belanja yang diajukan oleh kontraktor serta memerintahkan para kepala satker
untuk mempertanggungjawabkan kelebihan
pembayaran sebesar Rp.8.407.077.600,32.- dengan menyetorkan ke kas negara .
Kementerian
pekerjaan umum telah menindaklanjuti melalui surat teguran kepada kepala
Satker, PPK, pengawas lapangan, konsultan pengawas dan telah menyetorkan ke kas
negara sebesar Rp. 7.026.362.945,98.- sedangkan sisanya sebesar
1.380.714.654,34.- belum disetor. Dengan demikian sampai dengan pemeriksaan
berakhir rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut belum seluruhnya selesai
ditindaklanjuti.
Hasil
pengujian secara uji petik atas kegiatan pengadaan barang dan jasa pada
Kementerian Pekerjaan umum tahun 2012, diketahui terdapat kelebihan pembayaran
sebesar Rp. 5.433.780.036,70.- telah dikembalikan sebesar Rp.
4.822.740.989,27.- dan sisa sebesar Rp. 611.039.047,43.-
Catatan :
1. pengertian kelebihan pembayaran berarti
terdapat kerugian negara berupa timbul atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran
kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu, ini masuk klasifikasi Unsur
“kerugian negara”.
2. Adanya
rekomendasi BPK kepada kepala satker untuk mempertanggungjawabkan kelebihan
pembayaran dengan menyetorkan ke kas negara, berarti kerugian tersebut secara
nyata,dan pasti yang dapat dinilai
dengan uang (jumlah hasil pemeriksaan).
3. Terkait kerugian keuangan Negara serta dikaitkan dengan kewenangan
BPK secara rigid sebagaimana pada pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2006
tentang BPK, maka BPK :“ menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara
yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum karena sengaja/lalai yang
dilakukan oeh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.
2.
Kriteria (permasalahan tersebut tidak sesuai
dengan)
Peraturan
presiden Nomor 54 tahun 2010 Jo. Perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaan
barang/jasa pemerintah, pasal 51 ayat 2 : kontrak harga satuan merupakan
kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas
waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan pembayarannya didasarkan pada
hasil pengukuran bersama atas volumen pekerjaan yang benar-benar telah
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa dan dimungkinkan adanya pekerjaan tambah/kurang
berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan yang diperlukan.
Catatan
Kriteria – permasalahan tersebut tidak sesuai dengan ….. dengan penyebutan peraturan
perundang-undangan terkait secara spesifik)
Apabila ada temuan, biasanya BPK akan
menyebutkan seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan/dilanggar
artinya tindakan/perbuatan tersebut secara eksplisit adalah melanggar peraturan
perundang-undangan, atau dengan kata lain bertentangan dengan hukum/melawan
hukum formil.
3.
Akibat
Hal tersebut
mengakibatkan : kelebihan pembayaran pekerjaan kepada penyedia jasa konstruksi
senilai Rp. 5.433.780.036,70.-
catatan
Pengertian kelebihan
pembayaran berarti terdapat kerugian negara berupa timbul atau bertambahnya
kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang seharusnya tidak perlu,
ini masuk klasifikasi Unsur “kerugian negara”.
4.
Sebab, permasalahan tersebut disebabkan :
a.
PPK tidak sepenuhnya mempedomani spesifikasi
tekhnis serta kurang optimal dalam melakukan pengendalian atas tagihan.
b.
Pengawas lapangan dan konsultan supervisi
kurang cermat dalam melakukan pengawasan kuantitas hasil pekerjaan.
c.
Panitia serah terima pekerjaan (PHO) kurang
cermat dalam melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan.
d.
Kontraktor kurang cermat dalam melakukan
perhitungan volumen pekerjaan.
Catatan
Sebab, permasalahan tersebut disebabkan ….. ….(dengan menyebutkan penyebab keadaan dan tanggung jawab pejabat
terkait)
Ini terkait dengan unsur perbuatan
melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan)
Dengan demikian LHP BPK yang telah menyimpulkan berdasarkan bukti
bukti dokumen dan keterangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang diperiksa, bahwa
telah terjadi kerugian Negara dengan menyebut jumlah kerugian Negara serta
mengungkapkan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan maka itu
adalah merupakan perbuatan yang menyimpang jika berdasarkan kewenangan yang
diberikan perundang-undangan maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang
sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga temuan BPK
terkait dengan laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan
terhadap peraturan Perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh penegak hukum
untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan adanya perbuatan tindak
pidana korupsi.
Harapan kepada BPK
Bahwa ujung
tombak pemberantasan korupsi sebenanrnya ada pada BPK sebagai lembaga Negara
yang memeriksa seluruh pengelolaan keuangan Negara setiap tahun. Diharapkan BPK
dalam melakukan pemeriksaan agar lebih tegas dan konsisten, independen,
objektif dan professional dalam mengungkap adanya perbuatan merugikan keuangan
Negara/daerah sehingga temuan tersebut dapat langsung dieksekusi oleh aparat
penegak hukum. pasal 8 UU No. 15 tahun
2006 tentang BPK, disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur
pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling
lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan
BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Dan tentunya hal ini berpulang kembali pada sikap aktif tindak lanjut pemeriksa
dan/atau anggota BPK itu sendiri atas temuan unsur pidana untuk melaporkannya
kepada penegak hukum.
Saya
berandai-andai, seandainya sistem ini berjalan dengan baik dimana BPK
benar-benar menjalankan fungsinya melakukan pemeriksaan atas pengelolaaan
keuangan negara yang berindikasi pidana yang merugikan keuangan negara dan
melaporkan seluruh hasil temuannya kepada penegak hukum, maka penegak hukum
(Polisi dan Jaksa) tidak perlu lagi mencari-cari kasus untuk diperiksa, tapi cukup
menunggu penyerahan hasil pemeriksaan LHP BPK untuk ditindaklanjuti. Dan
disinilah peran penting BPK sebagai ujung tombak pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
Trimakasih Pak. Sangat membantu saya.
BalasHapusSangat berharap kami TERSANGKA korupsi tapi prosedur penetapan TERSANGKA kami tanpa bukti permulaan baik pemeriksaan bpk atau lainnya, sehingga kerugian negara nya tidak jelas, tidak konkrit dan tdk nyata. Apa hakim berwenang menghitung kerugian negara
BalasHapusTidak menimbulkan efek jerah...
BalasHapusManntab surantab kawan
BalasHapusTerima kasih. Atas gagasan gasan postifnya
BalasHapusApakah pengembalian bisa bertahap atau dicicl?.. thanks
BalasHapusPenyampaian yang menarik, tapi jika kasusnya begini pak:
BalasHapusLHP BPK melaporkan adanya temuan yang disampaikan ke inspketorat dan sudah di lakukan penanganan oleh inspektorat lewat proses sidang ganti rugi, tetapi tengan proses sidang penyidik dari kepolisian dalam hal ini tindak pidana tipikor masuk dengan membawa hasil audit dari bpkp yang hasilnya berbeda jauh dengan hasil audit bpk, apakah boleh hal tersebut terjadi, karena proses penanganan masih di ranah APIP
Ada setudi kasus gni pak,ada Pt yg bergerak di bidang kontruksi yg mengerjakan gedung olahraga di salah satu pemda,setelah di audit oleh BPK ternyata di temukan kerugian negara karna ada beberapa aitem yg tidak sesuai sepek,PT tersebut mengembalikan kerugian yg sudah di tentukan oleh BPK.
BalasHapusPertanyaan saya apakah polisi atau jaksa bisa menuntut kepada PT tersebut?
Joss
BalasHapusbikinkan sy tesis judul ini donk....hehe
BalasHapus