Kata
kolusi berasal dari kata Inggris collusion yang artinya persekongkolan atau
kongkalikong. Sementara kata nepotisme dari kata inggris nepotism yang artinya
mendahulukan sanak keluarga sendiri khususnya dalam pemberian jabatan.
Di
dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Kolusi dan Nepotisme, yang disebut Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan
hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau Negara (pasal 1 angka 4).
Sementara Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya
diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1 ayat 5)
Kolusi
terkait erat dengan adanya persekongkolan untuk tujuan illegal misalnya
pemberian uang pelicin kepada penyelenggara negara untuk mendapatkan keuntungan
dan kemudahan, seperti mendapatkan proyek, atau untuk mendapatkan ijin-ijin dalam
pengelolaam sumber daya alam. di dalam Islam Kolusi dalam jenis ini diartikan
sebagai kerjasama atau tolong menolong dalam melakukan dosa karena dilakukan
dengan merugikan orang lain atau melanggar UU.
Sementara
Nepotisme dapat berwujud dalam berbagai bentuk misalnya memberikan fasilitas
khusus yang memberikan keuntungan kepada keluarganya atau pejabat menunjuk
seorang kepala dinas yang merupakan anggota keluarganya. Ketika Presiden
Soeharto memberikan fasilitas khusus kepada Tommy Soeharto untuk membuat mobil
nasional Timor padahal sesungguhnya mobil jepang dengan fasilitas bea masuk maka
itu adalah nepotisme
Namun
tidak semua nepotisme itu dilarang kalau tidak melawan hukum. Melawan hukum itu
mengandung pengertian yaitu pertama bertentangan dengan hukum obyektif
(bertentangan dengan UU), kedua bertentangan dengan hukum subyektif
(bertentangan dengan hak orang lain) dan ketiga, tidak mempunyai hak sendiri
untuk menerima, mendapatkan, memperoleh uang atau kekayaan itu.
Jadi
Kalau seorang penyelenggara negara menunjuk anak, menantu, saudara untuk
menduduki suatu jabatan karena memang memiliki kemampuan dan kapabilitas maka
itu bukanlah nepotisme, atau mengeluarkan keputusan dengan memenangkan tender
yang kebetulan keluarganya yang memang sesuai dengan prosedur yang ditempuh maka
itu bukan merupakan nepotisme
Bahwa
nepotisme baru terjadi ketika misalnya seorang pejabat menunjuk keluarganya
untuk menduduki suatu jabatan sedangkan dia belum layak dengan jabatan itu. Kelayakan
ini harus diuji yaitu apakah pangkatnya belum memenuhi syarat atau ada
persyaratan yang belum dipenuhi untuk menduduki jabatan tersebut. Bisa juga
terjadi seseorang dipaksakan untuk memenangkan tender sedangkan menurut
ketentuan dia bukanlah pemenangnya.
Dalam
pandangan agama Islam sendiri, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang
berkompeten atau dalam istilah yang populer suatu jabatan itu harus diserahkan
kepada ahlinya. Bahkan dengan penambahan dia tidak hanya ahli (memiliki
kemampuan) tetapi juga pertimbangan moralitas.
Jadi
jika yang diserahi jabatan itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi
jabatan bukanlah menjadi persoalan selama dia ahli dalam tugas itu. Jadi dalam
pandangan Islam, Nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah
menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan
kekeluargaan atau punya kapasitas, atau ada orang yang lebih berhak untuk
jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya.
UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Kolusi
dan Nepotisme untuk mencegah terjadinya korupsi
UU
Nomor 28 tahun 1999 tentang Kolusi dan Nepotisme adalah amanat dari dari TAP MPR No. XI/MPR/1998 tanggal 13
Nopember 1998 tentang penyelengaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. UU Kolusi dan Nepotisme lahir atas tuntutan
reformasi yang menyoroti praktek KKN Presiden Soeharto yang memberikan
fasilitas khusus dalam bisnis kepada anak-anak dan kroninya.
Namun
sejak diundangkannya sampai sekarang sangat langka penegak hukum menggunakan
ketentuan UU Kolusi dan Nepotisme ini untuk diterapkan kepada penyelenggara
negara. Penegak hukum lebih sering menerapkan UU Tipikor.
Hal
ini boleh jadi karena bagian inti deliknya “menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara itu
sulit dibuktikan atau mereka beranggapan bahwa perbuatan kolusi dan nepotisme
bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari
tindak pidana korupsi. Padahal delik Korupsi dan delik kolusi dan Nepotisme
nyatanya adalah berdiri sendiri. Kolusi dan nepotisme dilarang dalam pasal 5
angka 4 dan ada sanksi pidananya yang diatur dalam pasal 21 dan 22 UU No. 28
tahun 1999.
Bahwa
kalau kita melihat latar belakang lahirnya UU Kolusi dan Nepotisme adalah untuk
menghentikan praktek KKN agar tidak terulang kembali sebagaimana yang pernah
terjadi pada masa rezim Soeharto maka seharusnya pemerintah dalam hal ini penegak
hukum lebih menyoroti bisnis-bisnis milik keluarga dari penyelengara Negara
yang boleh jadi ada kaitannya dengan fasilitas yang diberikan oleh
penyelenggara Negara itu. Apakah bisnisnya diperoleh dengan cara benar dan
memiliki kemampuan untuk mengelola unit bisnis itu atau hanya sekedar namanya
masuk sebagai pemilik saham dari suatu perusahaan yang mendapat fasilitas dari
ijin-ijin yang diberikan oleh penyelenggara Negara. Itu kalau Pemerintah
sungguh-sungguh memiliki politik penegakan hukum untuk memberantas Kolusi dan
Nepotisme.
Tidak
sulit untuk mencari praktek kolusi dan nepotisme di depan mata kita saat ini. seperti
banyak orang orang yang tidak jelas keahliannya masuk menjadi
pejabat BUMN tanpa melalui seleksi. Hal ini tidak terlepas dari balas jasa
kepada parpol, tim sukses, atau kelompok pendukung dalam pilpres. Kolusi dan
Nepotisme tidak pernah dipermasalahkan dan baru menjadi masalah hukum ketika
ada unsur penyuapan atau gratifikasi di dalamnya dan itupun akhirnya diproses
dengan ketentuan UU Korupsi.
korupsi
memang sering diawali dengan adanya kolusi ataupun nepotisme sehingga mencegah
terjadinya kolusi dan nepotisme adalah sama dengan mencegah terjadinya korupsi.
Namun permasalahannya adalah praktek kolusi dan nepotisme sudah lama
berlangsung di Negara ini dan hanya dianggap sebagai masalah etika bukan
pelanggaran hukum. Itulah yang membuat
UU Kolusi dan Nepotisme ini menjadi tidak bergigi.
Komentar
Posting Komentar