PEMBAHASAN RANCANGAN KUHAP DAN KEWENANGAN PENYIDIKAN KORUPSI OLEH KEJAKSAAN
Akhir-akhir ini santer terdengar adanya upaya penghapusan kewenangan penyidikan korupsi yang dimiliki oleh kejaksaan dalam pembahasan rancangan KUHAP yang saat ini dilakukan oleh DPR. Dalam Draf RKUHAP khususnya Pasal 6 ayat (1), kewenangan penyidikan kejaksaan dibatasi hanya pada penyidikan pelanggaran HAM Berat, sementara penyidikan dalam perkara lain terutama dalam perkara tindak pidana korupsi dihilangkan. Institusi penegak hukum yang dianggap paling berhasil dalam membongkar kasus-kasus besar korupsi dan paling dipercaya oleh masyarakat ini justru oleh DPR hendak dilucuti kewenangannya dalam menyidik korupsi.
Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun belakangan ini telah banyak mengungkap kasus-kasus besar korupsi diantaranya korupsi di PT Timah yang merugikan keuangan negara hingga sebesar Rp 300 Triliun, kasus korupsi BLBI yang merugikan keuangan negara hingga Rp 138 Triliun, kasus korupsi Duta Palma yang merugikan keuangan negara Rp.78 Triliun, kasus korupsi PT TPPI yang merugikan keuangan negara Rp 37 Triliun, kasus korupsi PT Asabri yang merugikan keuangan negara hingga 22 Trilun dan saat ini Kejaksaan sedang menyidik kasus korupsi di Pertamina yang merugikan keuangan negara hingga Rp 968,5 Triliun. Langkah kejaksaan mengusut Kasus korupsi di pertamina ini sangat diacungi jempol karena disinyalir melibatkan mafia minyak yang selama puluhan tahun tidak pernah tersentuh oleh hukum. Dan boleh jadi inilah pangkal masalahnya.
Publik menaruh curiga proses pembahasan RUU KUHAP yang dilakukan secara tertutup dan tanpa melibatkan publik ini adalah upaya serangan balik mafia minyak untuk menghilangkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Bahwa kalau sinyalemen ini benar maka sepertinya Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan untuk memastikan bahwa revisi KUHAP tidak akan menghilangkan kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik korupsi, karena kalau hal ini terjadi maka sama saja dengan melemahkan upaya presiden Prabowo dalam melakukan pemberantasan korupsi di Pemerintahan.
Selama ini kewenangan Jaksa selaku penyidik tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 39 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 22 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 50 UU No.30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan kewenangan tersebut telah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XXI/2023 yang menolak seluruh permohonan yang menguji konstitusionalitas kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan perkara korupsi. Dengan demikian kalau kewenangan penyidikan Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi hendak dihilangkan di dalam KUHAP justru akan menimbulkan disharmonisasi hukum.
Persoalan kewenangan Kejaksaan menyidik tindak pidana korupsi dalam pembahasan RKUHAP oleh DPR memantik polemik banyak pihak mulai dari akademisi, LSM, dan praktisi hukum. pihak yang tidak menginginkan Kejaksaan menjadi penyidik tindak pidana korupsi karena menilai kewenangan penyidikan korupsi oleh kejaksaan akan menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena selain bisa melakukan penyidikan maka jaksa juga sekaligus melakukan penuntutan. Nah Kewenangan jaksa sebagai penyidik korupsi ini dianggap telah menghilangkan checks and balances dalam proses penyidikan sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.
Sementara mereka yang mendukung Kejaksaan tetap sebagai penyidik korupsi karena menilai kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan sama sekali tidak bertentangan dengan praktik-praktik umum di dunia internasional. Sebagai perbandingan, kewenangan Kejaksaan atau jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi juga dilakukan di Amerika Serikat, dimana kejaksaan berwenang melakukan penyidikan maupun penuntutan. Bahkan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Begitu pula di Jepang, Jerman, dan negara-negara lain. Bahkan menurut KUHAP Romania dan RRC, penyidikan delik korupsi khusus menjadi wewenang jaksa.
Saya sendiri berpendapat bahwa kedepan sebaiknya kita meniru KUHAP Romania dan RRC dimana penyidikan delik korupsi di Indonesia khusus menjadi wewenang jaksa apalagi Kejaksaan di Indonesia sejak lama telah memiliki spesialisasi dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Lalu bagaimana dengan kepolisian ?
Kepolisian sudah begitu banyak kewenangannya dalam melakukan penyidikan mulai dari tindak pidana terorisme, Narkoba, Perdagangan orang, pencucian uang, tindak pidana perikanan, kehutanan, pertambangan dan tindak pidana lainnya. Perlunya pembagian kewenangan penyidikan khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi ini sangat penting untuk efisiensi dan efektifitas. Kejaksaan hanya fokus pada penyidikan korupsi sementara kepolisian disamping sebagai penyidik semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang juga memiliki tugas lainnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sudah saatnya kita mengevaluasi bahwa Kewenangan penyidikan dalam perkara korupsi di Indonesia yang ditangani oleh tiga Lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tidak efektif. Pemberantasan korupsi dengan pola penindakan yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian memang telah banyak memenjarakan koruptor namun ternyata tidak membuat korupsi berkurang bahkan yang terjadi Pemberantasan korupsi secara massif melalui penindakan dan terus menerus diliput oleh media ini justru telah menimbulkan dampak pembusukan Lembaga dimana Masyarakat kehilangan kepercayaan dengan lembaga negara yang ada karena semuanya sudah korupsi. Ini bisa berbahaya Karena menyangkut krisis kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah.
Kita bisa belajar dari Singapura. di Singapura kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi hanya dilakukan oleh satu lembaga yakni Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Hasilnya tetap efektif, Singapura menjadi salah satu negara yang bersih dari korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi di singapura bukan karena banyaknya penindakan tapi adalah aspek pencegahan melalui perbaikan dalam sistem tata Kelola di pemerintahan terutama dengan menaikkan gaji seluruh pegawai negerinya.
Bahwa salah satu keluhan Masyarakat selama ini adalah adanya duplikasi penanganan perkara oleh Penegak hukum dimana tak jarang mereka sering dipanggil oleh penyidik Polisi dalam perkara korupsi padahal perkara tersebut sudah pernah ditangani penyidik kejaksaan atau sebaliknya penyidik Kejaksaan memeriksa kembali perkara yang pernah ditangani penyidik Polisi. Mereka hanya sekedar mengulang pemeriksaan, dan apa yang terjadi kemudian karena tidak ada Novum/bukti baru maka perkara tersebut dihentikan kembali. lalu siapa yang menjadi korban?
Yang menjadi korban adalah saksi-saksi yang mana mereka pasrah saja terus menerus dipanggil penegak hukum. Apakah penyidik tidak menyadari bagaimana hari-hari mereka diliputi rasa takut, khawatir, sulit makan karena mereka tidak berhenti diperiksa bahkan dipanggil berkali-kali. Memang untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari kemungkinan duplikasi penanganan perkara oleh Penegak hukum ini, maka pada tahun 2012 telah pernah dibuat Kesepakatan bersama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang Optimalisasi Pemberantasan tindak pidana korupsi. di dalam salah satu kesepakatan bersama tersebut dicantumkan bahwa apabila kepolisian telah terlebih dahulu menangani suatu perkara Korupsi maka kejaksaan tidak boleh lagi menanganinya dan begitu pula sebaliknya. Namun ternyata di beberapa tempat, Kesepakatan bersama ini sudah banyak dilupakan oleh Penyidik sehingga ada perkara yang sudah dihentikan kejaksaan ditangani lagi oleh kepolisian, dan sebaliknya. ini tidak dapat dibenarkan.
Menurut pasal 5 dan 6 UU No 7 tahun 2006 yang merupakan hasil ratifikasi dari united nation convention agains corruption (UNCAC) proses penanganan kasus korupsi harus efektif dan efisien. Jika suatu penegak hukum memeriksa suatu perkara dan menyimpulkan tidak ada pidana maka lembaga lain tidak boleh lagi memeriksa perkara tersebut. Ini untuk kepastian hukum dan tidak mencederai hak asasi manusia terutama hak bebas dari rasa takut dan ketentraman.
Bahwa tampaknya antara kepolisian dan Kejaksaan masing-masing berusaha mempertahankan kewenangannya dalam melakukan penyidikan korupsi. Maka yang kita saksikan akhir-akhir ini marak di media sosial dan panggung seminar adalah perang opini yang melibatkan akademisi dalam memberikan dukungan kepada masing-masing institusi penegak hukum tersebut. Mereka lupa bahwa salah satu yang menjadi masalah dalam pemberantasan korupsi adalah integritas penegak hukum itu sendiri. Bahwa Ketika masing-masing institusi penegak hukum ini saling ngotot agar diberi kewenangan penuh penyidikan tindak pidana korupsi sementara integritas mereka masih bermasalah maka menimbulkan pertanyaan, apakah sebenarnya yang mereka perebutkan itu ?
wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar