KETIKA PENGUSAHA MENJADI PENGUASA
Dulu pada zaman Orde baru (1966-1998) yang menjadi penguasa di pemerintahan hanyalah para birokrat. Dari Presiden, Menteri, Gubernur, dan Walikota Bupati adalah dari pegawai Negeri. Saat itu masih ada pemisahan yang jelas antara penguasa dengan pengusaha. Para pengusaha untuk melancarkan bisnisnya mereka mendekati penguasa (pemerintah), tentunya semua dengan timbal balik. Pejabatnya dapat iming-imingi komisi proyek, atau penguasa itu didukung sama pengusaha supaya bisa naik lagi jadi pejabat di periode selanjutnya.
Namun pasca reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan menguatnya peran partai Politik yang tumbuh semakin banyak, banyak pengusaha yang kemudian berbondong bondong terjun dalam dunia politik. Tidak sedikit yang kemudian mengendalikan pemerintahan karena berada di pucuk pimpinan partai politik. Partai Golkar dipimpin oleh pengusaha besar mulai dari Jusuf Kalla kemudian digantikan oleh konglomerat Aburizal Bakri lalu pengusaha Agung Laksono dan sekarang Airlangga Hartarto. Ada lagi pengusaha Surya Paloh yang mendirikan dan menjadi ketua Umum Partai Nasdem. Begitu pula dengan pengusaha Hari Tanosoedibyo yang mendirikan dan menjadi ketua umum Partai Perindo dan sebagainya. Bila kita melihat anggota DPR/DPRD dan tubuh kabinet di pemerintahan sekarang ini maka kita akan melihat wajah-wajah pengusaha yang menduduki posisi penting termasuk di berbagai Lembaga dan BUMN.
Banyaknya pengusaha yang terjun ke dunia politik ini tidak lepas dari ongkos politik yang sangat tinggi, maka jangan heran kalau hanya pengusaha yang bisa menjadi penguasa atau seseorang hanya bisa menjadi penguasa kalau mendapat sokongan dana dari pengusaha. misalnya Untuk menjadi calon bupati/Walikota rata-rata dana yang dibutuhkan adalah Rp 30 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih paling hanya 15 juta perbulan. Begitu juga biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar, Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya minimal 5 triliun atau bahkan tidak terhingga atau unlimited.
Mahalnya biaya politik itu tidak terlepas dari dana yang digunakan untuk mendapatkan rekomendasi partai (perahu politik), biaya menggerakkan mesin partai, mendanai tim pemenangan, biaya kampanye online dan offline, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di TPS.
Dengan politik yang berbiayai mahal itu maka lupakan yang namanya idealisme partai. Yang dicari oleh partai politik kemudian adalah orang yang bisa membiayai mesin partai apakah itu pengusaha, artis atau pelawak yang penting punya duit. Jadi bagaimana mengharapkan partai politik untuk memperjuangkan dan mewujudkan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, keamanan, kedamaian dan persatuan, kalau ideologi pengusaha yang diusung partai politik adalah ideologi uang dan kekuasaan semata?
Apakah ada yang salah dengan pengusaha terjun ke Politik dan kemudian menjadi penguasa ?
Tidak ada yang salah karena semua tergantung kepada manusianya. Namun karena kecenderungan manusia adalah rakus dan tamak maka terjunnya pengusaha ke dalam politik praktis sangatlah berbahaya karena mereka tidak bisa lagi membedakan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
masuknya pengusaha di dalam partai politik dengan kemampuan modalnya yang besar, hampir bisa dipastikan ia akan menggegam kekuasaan yang luar biasa. para pengusaha yang telah berkuasa ini akan melupakan janji-janji yang telah mereka obral pada rakyat menjelang pemilihan umum. Mereka tidak lagi berfikir tentang rakyat, tetapi berpikir bagaimana kekuasaan, kursi jabatan, proyek, dan fasilitas negara diperoleh.
untuk apa mereka mencalonkan diri jadi Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati kalo gajinya saja tidak bisa menutupi modal politiknya. Tentu mereka sudah bikin kalkulasi untung rugi. Namanya pengusaha !
Mereka sebenarnya mengincar APBN/APBD yang nilainya mencapai ribuan triliun, lalu dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat luar biasa mulai dari tambang, kehutanan dan perkebunan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Itulah yang mereka incar. Mereka tentunya akan membuat regulasi yang bisa melancarkan bisnisnya, tak peduli regulasi yang diterbitkkan itu bakal menyengsarakan rakyat atau merusak lingkungan, yang penting pengusaha bisa cuan banyak.
Memang tidak semua pengusaha yang berpolitik berdampak negatif. Namun pengalaman empirik di negara berkembang bahkan negara maju menunjukkan, kemungkinan tabiat koruptif dari dwifungsi itu justru semakin membesar. Karena umumnya, motivasi utama para pengusaha atau 'taipan' berpolitik adalah guna mempertahankan kepentingan bisnisnya.
Apa yang terjadi Ketika tidak ada lagi pemisahan antara penguasa dan pengusaha ?
Ketika elit politik dan pebisnis/pengusaha menyatu maka inilah yang kemudian melahirkan oligarki. Oligarki akan selalu melanggengkan dan memperbesar kekuasaan maka yang akan menjadi korban adalah mayarakat. Oligarki sangat ditentukan oleh power (kekuasaan), kekayaan dan status. Dampak dari adanya oligarki adalah hukum yang tunduk pada penguasa dan timbulnya figur yang lebih dominan dalam menentukan jalannya pemerintahan. Disinilah hukum kemudian dapat digunakan untuk kepentingan dan kekuatan politik yang berkuasa. Ketika Hukum sudah ditunggangi oleh oligarki maka penegakan hukum hanya ribut dipermukaan. Kita hanya disibukkan dengan penanganan korupsi kecil-kecilan sementara korupsi besar-besaran tidak pernah disentuh dan dibicarakan. Kalaupun ada satu dua korupsi besar yang ditangani maka tentunya itu adalah korupsi yang dilakukan oleh lawan politik penguasa yang berkuasa.
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar