Langsung ke konten utama

STATUS UANG NEGARA PADA BUMN



STATUS UANG NEGARA PADA BUMN
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulsel

Polemik mengenai status uang negara yang ditempatkan pada BUMN/BUMD atau yayasan yang menerima fasilitas dari Negara, apakah termasuk keuangan Negara atau bukan, bermula pada saat Mantan Kepala BPK Hadi Purnomo menjawab pertanyaan anggota Panitia Khusus DPR tentang hak angket Bank Century soal dana 6,7 trilyun. Hadi Purnomo menjawab itu uang negara. Dasarnya adalah pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, laporan keuangan LPS diaudit BPK, artinya dana LPS adalah uang negara. BPK memeriksa keuangan negara, apalagi modal awal LPS senilai 4 triltun dari APBN.
Namun pendapat Purnomo Hadi itu ditolak oleh Kementerian Keuangan kalau dana penyertaan modal itu dinilai sebagai uang negara. Di depan pansus Century, Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa dana LPS adalah kekayaan negara yang dipisahkan sehingga dana itu bukan uang negara.

Polemik masalah uang negara atau bukan dalam kasus Bank Century menjadi sangat penting apalagi bila dikaitkan dengan  status hukum uang Negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh Pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN/BUMD  yang berbadan hukum persero, apakah masih termasuk keuangan Negara atau bukan. Apabila dalam dana bail out Bank Century diputuskan bukan uang negara maka kasus-kasus yang menimpa pejabat BUMN/BUMD  yang didakwa dan dituntut melakukan tindak pidana korupsi juga harus dibebaskan karena tidak ada unsur merugikan uang negara.

Pakar Hukum banyak yang berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, menyatakan, uang di badan hukum (LPS, BUMN, BUMD, Yayasan) adalah milik badan hukum itu, bukan lagi uang negara meski berasal dari APBN, karena sudah dipisahkan.
Namun mantan hakim Konstitusi, HAS Natabaya melihat dana LPS adalah kekayaan negara, karena itu, BPK berhak memeriksa laporan keuangan LPS.

Tulisan ini mencoba merangkum berbagai pandangan terkait dengan isu hukum tentang bagaimana status hukum uang Negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh Pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN/BUMD  yang berbadan hukum persero, apakah masih termasuk keuangan Negara atau bukan?
Jawaban atas permasalahan terbagi dalam 3 (tiga) pandangan yaitu pertama pihak yang berpendapat bahwa itu adalah uang negara yang dipisahkan sehingga bukan lagi keuangan negara, kedua pihak yang berpendapat bahwa itu adalah keuangan negara dan ketiga bagaimana penerapannya oleh Penegak hukum dalam konteks tindak pidana korupsi.

PERTAMA, Pendapat yang mengatakan uang BUMN/BUMD bukan lagi Keuangan Negara, argumentasinya adalah :
-     Pasal 4 ayat 1 UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN yang mengatakan bahwa keuangan BUMN (persero) bukan lagi merupakan keuangan Negara. Ketentuan tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya fatwa mahkamah Agung No. WKMA/yud/20/VIII/2006 yang pada intinya mengacu pada penjelasan pasal 4 ayat 1 UU No. 19/2003 yang mengatakan “bahwa keuangan BUMN (persero) bukan lagi merupakan keuangan Negara, sehingga pengelolaan dan pertanggungjawabannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN. Demikian pula piutang BUMN bukan merupakan piutang Negara sehingga penyelesaiannya tidak dapat dilakukan melalui mekanisme UU No. 49/prp/1969 tentang panitia urusan piutang Negara (PUPN),.
Ini merupakan bukti yuridis bahwa pengertian kekayaan Negara yang dipisahkan tidak lagi berstatus keuangan Negara, akan tetapi berstatus hukum keuangan badan hukum lain yang bersatus hukum BUMN (persero), sehingga pengelolaan dan pertanggungjawabannya dilakukan seperti halnya perusahaan swasta biasa. Hal serupa berlaku pula bagi kekayaan daerah yang dipisahkan pada BUMN/BUMD atau persero.

-     Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan “bahwa perusahan persero, yang selanjutnya disebut persero” adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara RI. yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya pasal 11 menyebutkan terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi PT sebagaimana diatur dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu badan hukum yang berbentuk PT. memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan direksi (sebagai pengurus), komisaris (sebagai pengawas), dan pemegang saham (sebagai pemilik).
Berdasarkan hal tersebut kekayaan BUMN persero maupun kekayaan BUMN perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan Negara.

KEDUA, Pendapat yang mengatakan uang BUMN/BUMD adalah Keuangan Negara. argumentasinya adalah :
Dari segi hukum status yuridis kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN masih termasuk keuangan Negara. UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara khususnya pasal 2 huruf g dan i yang mengatakan “ bahwa kekayaan negara/daerah yang sudah dipisahkan masih tetap dianggap sebagai  keuangan Negara atau keuangan daerah.
Pasal 2 huruf  g dan I UU No. 17 tahun 2003 mengatakan “keuangan yang dimaksud meliputi:
a.      Hak Negara untuk memungut pajak …dsb.
b.      Kewajiban Negara ….dsb..
c.       ….., d…..e…..f…dsb..
g.   Kekayaan  negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah.
i.  Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Bahwa UU No. 17 tahun 2003 ingin menegaskan bahwa uang Negara yang dipisahkan pada BUMN secara yuridis normatif termasuk dalam keuangan Negara.
Pasal 1 butir 10 UU No. 19/2003 tentang BUMN mendefinisikan kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya.
Sumber kekayaan Negara yang berasal dari APBN menunjukkan bahwa uang Negara tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai uang Negara yang bersumber dari APBN. BUMN hanya sebatas mengelolanya tetapi sifat kekayaan Negara yang bersumber dari APBN kiranya tidak menghilangkan karakteristiknya sebagai uang Negara, meskipun dikelola oleh BUMN sebagai persero.
Karena sifatnya keuangan Negara, maka BUMN termasuk objek yang menjadi pemeriksaan BPK selaku satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan Negara dan lembaga yang independen.
Pasal 3 ayat (1) UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara menegaskan “bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara. Hal ini artinya uang Negara yang dipisahkan dan dikelola oleh BUMN termasuk dalam lingkup kewenangan pemeriksaan BPK dan merupakan bagian keuangan Negara.

Pasal 10 ayat (1) UU No. 15/2006 tentang BPK juga menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum  baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara. Jadi posisi BUMN dalam perspektif hukum positif adalah melakukan pengelolaan keuangan Negara. Artinya pengelolaan keuangan Negara oleh BUMN tidak menghilangkan sifat dari kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai uang Negara, tidak berubah sifatnya menjadi uang privat.

Bahwa dalam konteks yang lebih luas, kekayaan BUMN adalah termasuk keuangan Negara dengan pertimbangan :
-      Tujuan Negara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia (Alinea ke IV UUD 1945)
-    Sebagai implementasi perwujudan tujuan Negara tersebut antara lain dimuat dalam UU tentang keuangan Negara pada klausul menimbang angka 1 dan penjelasan alinea pertama UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yaitu “ penyelenggaraan pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan Negara”.
-      Sedangkan tekhnis pengelolaan keuangan Negara diatur yaitu : pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, taat asas, dan bertanggung jawab sesuai peraturan perundangan (penjelasan umum UU No. 17/2003).
-     Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga harus diperiksa oleh lembaga yang bebas dan mandiri yaitu BPK (pasal 23E UUD 1945 dan klausul menimbang huruf a dan b, penjelasan alinea kedua UU No. 15/2004 tentang BPK).
-     Terminologi keuangan Negara berkaitan dengan kekayaan dipisahkan secara lex spesialis dengan adanya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yang merupakan penjabaran dari pasal 23C Amandemen ke 3 UUD 1945 yang menyatakan : hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan Undang-undang”. Maka UU no. 17 tahun 2003 lebih kuat dari UU lainnya berkaitan pengaturan tentang keuangan Negara.
-       Pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 menyatakan : keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1g meliputi “kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah. Terminology keuangan Negara dalam penjelasan ke 3 UU No. 31 tahun 1999 adalah “keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hokum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

-       Bahwa dari uraian datas, maka keuangan Negara yang dipisahkan pada BUMN merupakan mutlak keuangan Negara (yang menimbulkan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (karena fungsi BUMN adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat - lihat  pertimbangan huruf b UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN - dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh Negara (melalui BUMN). Tujuan tersebut tidak mungkin dilakukan melalui keuangan milik swasta
-          Bahwa pasal 1 UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN yaitu :
a. BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh  Negara melalui penyertaan secara langsung  yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan b. perusahaan perseroan yang selanjutnya disebut persero adalah BUMN yang berbentuk PT yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan c. kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya.
Berdasarkan uraian diatas maka uang BUMN adalah uang negara, dasar filosofinya adalah :
1.   Uang negara yang diinvestasikan pada BUMN tujuannya adalah menambah penghasilan negara yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2.     Uang negara yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN adalah bersumber dari uang rakyat di APBN. Hal ini berimplikasi harus tunduk pada mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang negara lainnya.
3.    BUMN tidak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum privat untuk menghindari akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang dipisahkan.

KETIGA, Dalam konteks Tindak Pidana Korupsi, Penegak Hukum dalam praktek peradilan menganggap bahwa uang BUMN/BUMD adalah Keuangan Negara. 
Jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi, penjelasan UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengartikan keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, dan berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hUkum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. 

Jadi makna keuangan negara juga termasuk hak dan kewajiban yang berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, Yayasan, Badan Hukum atau perusahaan bilamana menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. 
Bahwa dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Pejabat-pejabat BUMN terungkap fakta, dimana BUMN sering dijadikan arena transaksi dan negosiasi kepentingan politik antara penguasa dan pengusaha yang membahayakan keselamatan Negara. BUMN sering dijadikan sapi perah politik menyebabkan kerugian Negara dalam jumlah fantastik, kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK di PT. PLN (persero), dan PT. Pertamina serta BUMN yang lain memperlihatkan hal tersebut.


Penutup
Penempatan uang Negara di BUMN sering menghadapi dilema. Disatu sisi badan hukum korporasi harus diberi ruang untuk melakukan inovasi namun disisi lain terdapat ancaman jerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena sebagian kekayaan yang dikelolanya bersumber dari uang Negara ketika korporasi menghadapi resiko  bisnis. Setiap bisnis ada resiko. Tidak mungkin bisnis BUMN bebas dari resiko. Oleh karena itu ada pandangan yang menyatakan bahwa adalah tidak adil menjadikan seorang Direksi BUMN menjadi tersangka hanya karena satu transaksi dalam PT. BUMN (persero) telah merugikan negara, sementara secara keseluruhan BUMN diuntungkan.  Hal ini pernah ditanyakan oleh salah satu Direksi Bank BUMN (Persero) dalam suatu kesempatan mengisi materi tentang perkreditan Perbankan dan tindak pidana Korupsi. Pertanyaan tersebut diajukan dalam kaitan dengan Pasal 56 UU No. 1 tahun 1995 tentang PT. menyatakan “ bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, direksi menyusun laporan tahun untuk diajukan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan. Menurut Direksi Bank BUMN ini, kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan.
Bahwa kita perlu melihat perbedaan dalam pengelolaan BUMN dengan pengelolaan APBN/APBD.
-       BUMN orientasinya adalah Bisnis untuk memperoleh keuntungan sedangkan pengelolaan APBN adalah untuk pembangunan.
-     Bahwa secara tekhnis operasional, jika strategi bisnis, perjanjian bisnis murni kemudian terjadi force majeure, atau transaksi bisnis yang menghasilkan pendapatan diluar target yang direncanakan disebabkan kondisi eksternal yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). Hal ini bukan merupakan kerugian keuangan Negara dalam konteks tindak pidana korupsi, dugaan perbuatan merugikan keuangan Negara dapat terjadi jika pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan termasuk dana-dana publik yang dikelola pada BUMN terlihat dilakukan secara professional, tetapi transaksi bisnis dilakukan “secara sengaja melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan mengurangi hak pendapatan Negara (BUMN) atau menimbulkan kewajiban membayar oleh BUMN melalui pemberian fasilitas kredit atau pekerjaan yang di mark up atau usaha curang yang seharusnya tidak terjadi. Maka hal ini sudah masuk klasifikasi “perbuatan pidana merugikan keuangan Negara”.
Jadi harus dipisahkan antara wilayah bisnis murni dan perbuatan pidana dalam bisnis BUMN. Memang untuk memisahkan hal ini secara jernih dibutuhkan profesionalisme dan kompetensi keahlian antara “ pengetahuan perbuatan merugikan keuangan Negara dan pengetahuan bisnis BUMN”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran