REVISI UU KPK, MENGUATKAN ATAU MELEMAHKAN ?
Oleh Muhammad Ahsan Thamrin
Praktisi Hukum.
Akhir-akhir ini wacana revisi UU KPK
semakin kuat. Mayoritas fraksi yang ada di DPR sudah menyetujui untuk melakukan
revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Niat DPR untuk melakukan revisi UU KPK
dicurigai terutama oleh aktivis anti korupsi sebagai upaya untuk
memperlemah KPK. Namun pandangan tersebut dibantah oleh DPR bahwa upaya revisi
UU KPK justru adalah upaya untuk memperkuat KPK ke depan.
Ada empat poin sorotan dalam revisi
tersebut, antara lain; pembentukan Dewan Pengawas KPK, kewenangan KPK dalam
mengeluarkan SP3, kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan umum; dan pengaturan
penyadapan yang dilakukan KPK.
Pimpinan KPK yang didukung terutama
oleh LSM anti korupsi mencurigai bahwa mekanisme
penyadapan yang diharuskan melapor kepada Dewan Pengawas akan membuat mandul
KPK dalam menangkap koruptor. mayoritas perkara korupsi yang melibatkan pejabat
penting yang ditangani KPK adalah operasi tangkap tangan hasil penyadapan, sementara itu terkait
dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengeluarkan SP3, akan membuka
ruang terjadinya transaksi oleh koruptor untuk mendapatkan SP3.
Kita sebenarnya tidak perlu apriori
terlebih dahulu sebelum melihat apa yang melatari munculnya pemikiran untuk
melakukan revisi terhadap Undang-undang KPK yaitu :
Pertama , perlunya harmonisasi
peraturan perundang-undangan, yaitu terkait dengan adanya pemberian wewenang kepada
KPK untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan
(SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi adalah sudah sesuai dengan KUHAP.
Adanya ketentuan KPK tidak boleh mengeluarkan SP3 justru bertentangan dengan
hukum. Bagaimana ketika seseorang sudah ditetapkan tersangka (TSK), lalu sakit
atau meninggal dunia, maka tentunya perkaranya harus dihentikan dan
mekanismenya adalah SP3, tidak mungkin dia dicap terus sebagai tersangka.
Kemudian bagaimana nasib sejumlah orang yang menyandang status tersangka selama
bertahun-tahun namun tak jelas status hukumnya, karena alat buktinya belum
cukup untuk disidangkan.
Kedua, perlu ada Kontrol terhadap KPK,
karena ada adagium bahwa kekuasaan yang tidak terkontrol cenderung menyimpang. orang-orang
yang didalam KPK bukanlah malaikat, mereka juga manusia biasa yang punya
peluang untuk menyimpang, penyidik dan penuntut umumnya juga dari Polisi dan
Jaksa. Jadi perlu dikontrol. Tanpa pengawasan yang efektif, KPK sangat rawan
terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power). misalnya dengan tidak mengungkap kasus tertentu, tidak menetapkan
seseorang menjadi tersangka padahal ada alasan kuat untuk itu, atau mendistorsi
proses penyidikan, penuntutan dan peradilan kasus korupsi tertentu.
Karena itulah, Dewan Pengawas perlu
dibentuk dan dirancang untuk mencegah dan mengatasi segala bentuk penyimpangan
itu. Hanya saja untuk menjaga independensi KPK, Dewan Pengawas tidak diberi
berwenang untuk mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang sedang
dilakukan oleh KPK.
Saya
tidak sependapat apabila fungsi penyadapan KPK di hapus, karena bagaimanapun
juga banyak kasus-kasus besar yang hanya bisa terungkap melalui penyadapan,
namun saya juga tidak sependapat dengan anggapan yang menilai jika aturan penyadapan
KPK diatur dengan terlebih dahulu harus ada ijin, maka fungsi KPK akan habis. Pemikiran
ini cenderung hanya melihat KPK dalam fungsi penindakan saja. Padahal Kita
harus melihat kebelakang apa yang menjadi latar belakang lahirnya KPK.
Pendirian
KPK tidak lain karena institusi penegak hukum yang lain, Kepolisian dan
Kejaksaan tidak mendapatkan kepercayaan dan legitimasi yang kuat dalam
menangani kasus korupsi karena dihadapkan pada problem internal yaitu
mewujudkan kelembagaan yang bersih. Sebagai jalan keluar dibentuklah KPK yang
independen dan memiliki mandat yang sangat besar. Prof. Dr. Romli Atmasasmita
pernah mengatakan, tidak ada satupun penegak hukum di dunia, yang memiliki
kewenangan sebesar KPK, yaitu penyelidik, penyidik maupun penuntut umum
sekaligus.
Di
negara-negara lain seperti Hongkong, Ausralia, singapura, Malaysia, Filphina
dan Thailand kewenangan KPKnya hanyalah melakukan penyidikan, sedangkan
wewenang Penuntutan tetap berada pada Kejaksaan, sedangkan kewenangan
penyadapan di negara tersebut harus seizin Pengadilan Negeri.
KPK
didesain untuk melakukan pemberantasan korupsi yang sudah dianggap sebagai
extra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa karena sifatnya sudah sistemik.
Pendekatan sistemik ini sulit dilakukan
oleh institusi penegak hukum konvensional seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
Pendekatan sistemik inilah yang lebih efektif dalam pemberantasan korupsi.
Pendekatan sistemik lebih mengutamakan fungsi pencegahan dan edukasi, daripada
penindakan dalam pemberantasan korupsi.
Kejaksaan dan Kepolisian sulit untuk
melakukan fungsi pencegahan, hal ini disebabkan karena sumber daya, energi dan
prioritas kedua institusi ini terpecah dan terbagi-bagi tidak hanya mengatasi
korupsi, namun juga memberantas kejahatan serius lainnya seperti terorisme,
narkotika dan kejahatan konvensional lainnya. Untuk itu dibutuhkan lembaga yang
memiliki sumber daya, strategi, dan keahlian institusi yang khusus focus pada
satu jenis kejahatan yaitu korupsi.
Dalam
konteks inilah fungsi KPK yang lain yaitu mencegah terjadinya korupsi haruslah
diprioritaskan, karena apa ? karena korupsi di Indonesia adalah persoalan
sistemik yang berakar sebagai warisan dari perjalanan bangsa ini selama ratusan
tahun selama jaman kerajaan, kolonialisme dan otoritarianisme.
Di
Hongkong, untuk memerangi korupsi yang sudah sistematis dibentuk komisi
independen melawan korupsi yaitu ICAC – independent commission against
corruption.
Langkah penting dalam memerangi korupsi
sistematis adalah menangkap dan membawa koruptor kakap ke Pengadilan. ini untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat
kepada Pemerintah bahwa tidak ada orang yang kebal hukum. Icac memiliki kekuasaan yang besar yaitu
wewenang menyelidiki, namun focus penekanan tetap pada pencegahan dan partisipasi
warga. Departemen pencegahan korupsi bertugas meneliti praktek dan prosedur
dalam instansi pemerintah menyangkut pelayanan masyarakat. Melakukan
pemeriksaan yang teliti dan analisis system, metode, pendekatan dengan tujuan
untuk menghilangkan sistem yang membuka ruang untuk korupsi. Jika ada instansi
yang tidak bersedia bekerja sama dengan icac atau setelah dilakukan analisis
atas fungsi-fungsi masing-masing bidang pemerintahan, namun perubahan yang
disarankan tidak dilaksanakan maka ada ancaman sanksi berupa teguran yang keras
(dari Gubernur), disiarkan dalam media massa, dan ditindak tegas.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari
pencegahan yang dilakukan oleh KPK Hongkong adalah mencegah korupsi dilakukan
dengan memperbaiki administrasi pemerintahan dengan menutup ruang sekecil
mungkin terjadinya penyimpangan itu, karena sistem yang longgar membuka
kesempatan adanya penyimpangan dan dimana ada kesempatan biasanya niat muncul.
Sebenarnya KPK Indonesia bisa meniru cara ini dengan melakukan kajian mendalam
terhadap institusi pemerintah yang rawan terjadinya penyimpangan. Hasil kajian
ini kemudian dipublikasikan dan harus dilaksanakan, kalau tidak maka ada
ancaman sanksi, misalnya dari Presiden. Jadi harus ada dukungan yang kuat dari
Pemerintah.
KPK diakui telah menjadi ikon
pemberantasan korupsi di mata masyarakat melebihi POLRI dan Kejaksaan. Terlebih
lagi dikalangan LSM anti korupsi, sehingga setiap ada upaya untuk menyentuh
KPK apakah itu melalui revisi UU ataupun
kritik selalu dianggap corruptors fight back atau pelemahan KPK, sehingga
terkesan KPK tidak boleh dipersalahkan atau dikritik, bahkan ada kesan orang
yang menyetujui revisi atau mengkritik KPK ditempatkan sebagai tokoh antagonis,
mereka dihujat oleh LSM, dan ditulis
negatif di Koran sebagai tidak mendukung pemberantasan korupsi (KPK), tapi saya
memilih berprasangka baik bahwa orang yang pro revisi UU KPK atau mengkritik
KPK boleh jadi juga mencintai negara ini.
Komentar
Posting Komentar