POLITISI DAN NEGARAWAN.
Oleh Muhammad Ahsan Thamrin
Praktisi Hukum
“Kebaikan seorang
pemimpin adalah memiliki sifat arif dan bijaksana. Tidak ada yang paling
dibenci Alloh selain pemimpin yang mengabaikan rakyatnya serta bodoh (umar Bin
Khattab)”.
Baru-baru ini di Running text sebuah televisi, Prof. Dr.
Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa di negara ini jumlah politisi sangat
banyak tapi sangat minim negarawan. Penyataan tersebut beliau lontarkan atas
keprihatinannya dengan sikap kebanyakan anggota DPR dan Pemerintah yang lebih
mengutamakan kepentingan kelompok, partai atau golongan daripada kepentingan
rakyat.
Politisi adalah orang yang terpanggil untuk berpolitik.
Menjadi politisi seharusnya didasari oleh keterpanggilan untuk memperbaiki
negara dan bangsa kearah yang lebih baik. Namun alih-alih demikian, sekarang
ini menjadi politisi dipandang tak lebih daripada pekerja di bidang politik
belaka. Bahkan ada politisi yang berujar, kalau mau kaya jadilah politisi. Maka
tak heran banyak politisi yang terjun ke Politik semata-mata dengan berbagai
kepentingan tertentu. Dan partai Politik yang cenderung pragmatis sering
menjadi tempat kaum oportunis seperti ini.
Ditengah situasi politik yang hanya memunculkan pemimpin
instan yang ujug-ujug muncul karena kekuatan uang dan popularitas, dibesarkan
oleh media tapi tanpa kemampuan leadership yang memadai. Kita butuh pemimpin
politik sejati yang berkualitas negarawan. Sikap negarawan ini menuntut para
politisi untuk memahami yang disebut dengan skala prioritas yaitu meminimalkan
kepentingan pribadi dan kelompok, serta memaksimalkan kepentingan bangsa dan
negara.
Bangsa ini sudah pernah banyak melahirkan negarawan seperti
Soekarno, Jenderal Sudirman, KH. Hasyim Asy’ari, Muhammad Hatta, Syahrir, H.
Agus Salim, M. Natsir, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan banyak lagi yang lain,
namun sayang zaman semakin pelit melahirkan pemimpin negarawan seperti mereka.
Sekarang banyak politisi yang menyusup ke tubuh partai hanya untuk mencari keteduhan ekonomi. Mereka
memuja kemapanan dan kemakmuran sehingga membuat jiwa mereka tumpul dan tidak
sensitif terhadap kehancuran hidup bangsa.
Kita telah menjalani 16 tahun era reformasi dengan ciri
demokratisasi dan liberalisme politik dan ekonomi , kita melaksanakan lima
ratus pilkada setiap lima tahun yang kemudian kita ganti dengan pilkada
serentak, namun manajemen pengelolaan
Negara kita lemah dan tidak efektif, ini ditandai dengan seringnya penggantian
kabinet, konflik horizontal dimana-mana.
Sandang pangan, pendidikan dan kesehatan makin tak terjangkau, dan jumlah
rakyat miskin semakin bertambah. Aset-aset strategis bangsa beralih ke asing,
kekayaan alam yang seharusnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kita
serahkan ke asing. Hutang juga semakin bertambah. Apa sebabnya? Karena mekanisme rekrutmen pimpinan nasional
dan daerah tidak melahirkan negarawan. Kita banyak dipimpin oleh Politisi yang
kurang berpihak kepada rakyat, menjual dan menggadaikan kekayaan alam sendiri
serta lebih banyak tunduk pada kepentingan asing. Nabi Muhammad SAW mengingatkan
“salah dalam memilih pemimpin maka
tunggulah kehancurannya”.
Disinilah dituntut peran dan tanggung jawab Partai
politik yaitu tidak serta merta
mengambil calon hanya karena faktor elektabilitas atau faktor finansial, tetapi
parpol wajib mempromosikan kader yang memiliki akuntabilitas dan kapasitas.
sebaiknya perlu dipikirkan agar parpol dibiayai oleh Negara. Karena parpol
inilah yang mencetak pemimpin-pemimpin bangsa.
Kita membutuhkan pemimpin besar dengan jiwa besar yang
berdiri diatas semua golongan, bukan pemimpin yang menggunakan kekuasaannya
untuk kelompoknya saja seperti melindungi pengikutnya yang koruptor. Kita
merindukan Pemimpin yang kuat dan berkarakter, punya keberanian mengambil
tindakan, punya inisiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan.
Orang-orang baik seperti Yusuf Kalla, Dahlan Iskan, Ridwan Kamil, Bu Risma dan
lain-lainnya harus terus di dorong untuk tampil ke depan berperan lebih besar
untuk bangsa ini.
Demokrasi dan
Liberalisme politik.
Kita memiliki semua persyaratan untuk menjadi bangsa yang
besar. Namun tertatih-tatih menggapainya karena kebodohan kita menelan yang
namanya demokrasi tanpa tahu batasan-batasannya. ibarat obat kita tidak tahu
dosisnya. Amerika serikat saja yang kita sebut kiblatnya demokrasi dunia, hanya
memiliki 2 partai politik, ini yang menyebabkan Amerika serikat tidak terlalu
banyak menghabiskan energinya dengan konflik dan persoalan kepemimpinan. Di
Indonesia kita malah menerapkan liberalisme politik yang ditandai dengan banyaknya
partai Politik yang memperebutkan kekuasaan. Antropolog Amerika, Clifford
Geertz pernah memperingatkan agar Indonesia yang sangat beragam suku dan
budayanya serta sangat religious, hendaknya tidak memilih menjalankan demokrasi
liberal, karena itu akan menghancurkan Negara. Kita lihat banyaknya partai
politik dengan dengan ideologi berbeda telah menimbulkan konflik-konflik di
daerah, antar sesama kader partai karena perebutan jabatan saling menyerang
hingga merusak asset partai sendiri, setiap pilkada selalu berujung sengketa di
Mahkamah Konstitusi, ditambah lagi dengan banyaknya kader partai ditangkap KPK
karena korupsi untuk pendanaan partai.
Oleh karena itu, untuk tidak kehilangan kesempatan menjadi
bangsa yang besar saatnya rakyat diajarkan cerdas untuk peka memilih pemimpin.
Demokrasi bukanlah ukuran kualitas melainkan kuantitas. Prinsip one man one
vote menyebabkan suara seorang guru besar ilmu politik misalnya, disamakan
dengan suara seorang buta huruf. Jadi Kalau ada 1 juta orang memilih pemimpin
dan 600 ribu orang itu berpikiran salah dalam memilih pemimpin A, maka jadilah
A seorang pemimpin. Itulah demokrasi.
Kesalahan dalam memilih pemimpin adalah kehilangan kesempatan untuk
hidup lebih baik.
Komentar
Posting Komentar