Langsung ke konten utama

PERKREDITAN PERBANKAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI



PERKREDITAN PERBANKAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulsel

Dewasa ini berkembang pemikiran yang berbeda dalam memandang posisi kredit macet, terutama dikaitkan dengan kredit macet yang terjadi pada bank-bank umum yang saham-sahamnya dimiliki oleh pemerintah (bank BUMN). Disatu sisi ada yang berpendapat bahwa persoalan kredit macet adalah kasus perdata murni dan tidak memenuhi unsur korupsi tetapi kalau terjadi penyalahgunaan kredit, pelanggaran terhadap peraturan baik UU Perbankan ataupun Peraturan BI, maka bisa dikatakan pidana. Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pemberian kredit perbankan tidak bisa dibawa ke ranah pidana karena ini merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara debitur dan kreditur. Oleh karenanya, jika transaksi perdata seperti ini tercampur ke wilayah pidana, para bankir akan dibayang-bayangi oleh ketakutan dalam memutuskan pemberian kredit yang implikasinya mempengaruhi produktifitas perekonomian Negara.

Perdata atau Pidana
Pemberian atau penyaluran kredit merupakan salah satu bisnis utama (core business) bank, Disatu sisi, pejabat bank didorong untuk meningkatkan pemberian kredit demi memberikan konstribusi tinggi pada pendapatan bank, namun di sisi lainnya setiap pemberian kredit selalu mendatangkan resiko yaitu kredit macet. Sebagian besar pelaku ekonomi menganggap kredit merupakan produk perbankan sehingga dalam pemahaman demikian, kredit macet dipandang sebagai suatu business risk, yang penyelesaiannya masuk dalam ranah hukum keperdataan. Tapi bagi kalangan aparat hukum dengan kriteria tertentu kredit macet menjadi persoalan hukum pidana dan dapat dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bilamana kredit macet itu menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang menganggap kredit macet merupakah perbuatan pidana adalah :
Putusan MA. No. 1144 k/pid/2006 tanggal 13 september 2007 yang menyatakan ”bahwa memang benar perbuatan yang dilakukan para terdakwa bertitik berat pada perjanjian kredit yang berada dalam ranah hukum perdata, akan tetapi ”perjanjian kredit” bukanlah satu-satunya objek pembahasan, tetapi hanyalah merupakan bahagian dari sebuah objek pembahasan.
Bahwa bank sebagai badan hukum keperdataan, yang memiliki kekayaan terpisah, dimana tindakan terdakwa sebagai direksi memang dipertanggungjawabkan kepada (dalam) RUPS. Dengan demikian setiap pemegang saham yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban direksi melalui RUPS. Apakah demikian seluruh pertanggungjawaban direksi semata-mata bersifat keperdataan ? sama sekali tidak. Apabila terbukti, direksi yang merugikan badan hukum karena penyalahgunaan wewenang, dan melakukan tindakan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana.

Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana pemberian kredit dalam aspek perdata kemudian menjadi tindak pidana korupsi, dan kapan kerugian negara terjadi ?

Bagaimana pemberian kredit dalam aspek perdata kemudian menjadi tindak pidana korupsi.
Kita mulai dari Proses pemberian kredit
1.     Pemberian kredit diawali dengan pemeriksaan penelitian atas permohonan atau aplikasi kredit dari nasabah debitur dimana permohonan kredit harus memuat keterangan tentang profil perusahaan beserta pengurusnya, tujuan dan manfaat kredit, besarnya kredit dan jangka waktu pelunasan kredit, cara pengembalian kredit dan agunan atau jaminan kredit.
2.   Sebagai bahan pendukung, nasabah debitur harus melampirkan dokumen pendukung yang disyaratkan yaitu melampirkan akte pendirian perusahaan, identitas KTP dari para pengurus, tanda daftar perusahaan, NPWP, neraca dan laporan rugi laba tiga tahun terakhir serta foto copy sertifikat yang dijadikan jaminan.
3.    Selanjutnya bank akan melakukan penelitian secara mendalam dan mendetail atas berkas aplikasi kredit yang diajukan. Jika hasil penelitian ternyata berkas aplikasi kredit belum lengkap maka bank akan mengembalikan berkas perkara kepada nasabah debitur untuk dilengkapi. Sebaliknya jika berkas sudah lengkap maka proses berikutnya masuk pada penilaian kelayakan kredit.
4.   Pada penilaian kelayakan kredit (studi kelayakan) yang dinilai adalah beberapa aspek terkait dengan pengelolaan kredit yang hendak dikucurkan, yaitu :
a.         Aspek hukum
      Yaitu penilaian atas keaslian dan keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan oleh nasabah debitur.
b.         Aspek pasar dan pemasaran
    Yaitu apakah prospek usaha yang dijalankan oleh pemohon kredit berpotensi menguntungkan saat ini dan waktu yang akan datang.
c.         Aspek keuangan
       Yaitu kelayakan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi dari pemohon kredit.
d.        Aspek tekhnis operasional
        Yaitu prospek lokasi tempat usaha, kondisi gedung dan prasarana yang layak
e.        Aspek manajemen 
      Yaitu melalui pengalaman dari perusahaan pemohon kredit dalam mengelola kegiatan usahanya termasuk sumber daya manusia yang mendukung
f.         Aspek sosial ekonomi
      Yaitu menilai dampak kegiatan usaha yang dijalankan secara ekonomis dan social bagi masyarakat.
Apabila penilaian kelayakan kredit sudah dilakukan dan hasilnya positif, maka berkas aplikasi kredit disampaikan kepada pejabat yang berwenang untuk memberikan keputusan persetujuan. Jika sudah disetujui oleh pejabat yang berwenang maka tahap berikutnya adalah penandatanganan akad kredit baik secara langsung maupun melalui notaris termasuk pengikatan jaminan/agunan, dan tahap terakhir adalah pencairan kredit melalui rekening pemohon kredit.

Bagaimana kalau kredit yang diberikan oleh Bank ternyata kemudian macet ?
Kredit macet bukan tindak pidana ?
Apabila penyebab timbulnya kredit macet bukanlah sesuatu yang direncanakan oleh pengurus/pejabat bank dengan maksud memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, maka pengurus/pejabat bank tidak dapat dipidana. Transaksi kredit adalah transaksi yang mengandung resiko sehingga hasilnya dapat untung tetapi juga bisa rugi misalnya adanya kebijakan pemerintah yang membuat usaha debitur menjadi rugi, pengaruh resesi ekonomi dunia ataupun fluktuasi nilai tukar uang sehingga pembayaran kredit menjadi macet.
Bagaimana kriteria kredit macet menjadi Pidana ?
untuk menggolongkan kredit macet apakah termasuk perbuatan pidana bukan dilihat dari isi perjanjian kredit, tetapi harus dilihat :
Pertama bagaimana terjadinya pemberian kredit
misal :
1.      Melanggar batas maksimun pemberian kredit (BMPK),
2.      Aturan-aturan syarat kelayakan kredit dilanggar (tidak sesuai SOP perbankan),
3.      Nilai aset yang dijadikan agunan fiktif dan digelembungkan nilainya,
4.      Debitur mengajukan data-data yang tidak benar untuk memperoleh kredit bank dengan aset/agunan yang cukup, yang ternyata aset/agunan tidak cukup untuk membayar kredit.
Kedua dari penggunaan kredit, yaitu Debitur menggunakan kredit yang diterima tidak sesuai dengan peruntukannya.

Mengenai kapan kerugian Negara terjadi ?
Ahli perbankan berpendapat bahwa dalam praktek perbankan, suatu kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo dan fasilitas kredit yang sudah jatuh tempo tersebut tidak bisa dilunasi seluruhnya. Kerugian Negara haruslah bersifat nyata artinya riil tidak hanya dikira-kira tetapi dapat dibuktikan.
Menurut BPKP : kerugian negara sudah terjadi sejak kredit tidak memenuhi standar operational procedure (SOP), apabila kemudian terjadi pembayaran hal itu adalah tindak lanjut dari pembayaran atas kerugian negara. 

Pemahaman dan tolak ukur bagi penyidik untuk mengetahui apakah proses pemberian kredit yang kemudian macet telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian :
1.  Penyidik akan menilai apakah kredit macet tersebut sebagai suatu business risk atau memenuhi tindak pidana khususnya korupsi.
2.   Dalam pemberian kredit, jaminan mutlak diperlukan untuk menghindari resiko mengingat secara represif kreditur dapat menyita dan melelang jaminan tersebut guna menutupi kewajiban kreditur yang kreditnya macet.
     Atas dasar tersebut penyidik akan menilai apakah kredit disertai agunan/jaminan yang berkualitas untuk mencegah terjadinya kerugian bagi bank.
3. Penyidik untuk mencari apakah ada unsur kesengajaan dari pejabat bank dari kemungkinan terjadinya kredit macet biasanya melihat adanya persyaratan yang krusial yang diabaikan dalam persetujuan dan pengucuran kredit. Intinya penyidik akan melihat dari proses pengajuan, pemberian dan penggunaan kredit tersebut.
4.  Penyidik akan menyatakan suatu kredit macet telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi apabila keputusan kredit oleh pejabat bank sejak awal bertentangan dengan ketentuan perkreditan atau standar operational procedure (SOP), serta bertentangan dengan peraturan BI dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang menimbulkan adanya kerugian keuangan atau perekonomian Negara dan tujuan dari fasilitas kredit yang diberikan itu tidak tercapai apalagi ditambah dengan ada kick back berupa manfaat (materi) bagi pejabat bank terkait.
    Saat ini tindakan koruptif dalam dunia perbankan tidak selalu harus dalam bentuk pemberian uang, tapi juga bisa manfaat non materil seperti misalnya kelanggengan jabatan.

PENUTUP
Penyidik harus hati-hati dan cermat memeriksa sebuah perkara. Selain mencari bukti penyidik juga harus menemukan motif atau itikad dari calon tersangka. Bahwa pasal 2 dan 3 UUPTPK adalah delik dengan kualifikasi  “sengaja” tidak dapat dilakukan dengan culpa atau kelalaian dengan rumus “kurang hati-hati”.Untuk membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain harus dibuktikan adanya konflik kepentingan atau kongkalikong antara direksi dengan pihak lain. Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh yang menunjukkan ada masalah atau tidak.
Bagian inti delik “memperkaya” awalan “mem” berarti perbuatan itu perbuatan sengaja bukan karena kelalaian atau kebodohan.
Setiap perjanjian bisnis selalu ada resiko untung atau rugi. Tugas manajemen adalah meminimalkan resiko. Apakah ada upaya-upaya untuk meminimalkan resiko itu ? disinilah dituntut kejelian penyidik dalam menggali fakta-fakta yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kew...

KAPAN KEBIJAKAN DAPAT DIPIDANA

KAPAN KEBIJAKAN DAPAT DIPIDANA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulsel Pemerintah Jokowi-JK untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen sesuai dengan janjinya, berencana   membelanjakan 5000 triliun lebih selama lima tahun untuk infrastruktur. Dengan proyek-proyek infrastruktur, biaya logistik nasional dapat lebih rendah, lapangan kerja yang tersedia dapat mengurangi pengangguran, volume BBM bisa ditekan. Proyek infrastruktur ini tersebar di berbagai Kementerian dan di Pemerintah Daerah. masalah utama yang dihadapi ada dua yaitu pembebasan tanah dan masalah hukum. Pembebasan tanah akan diupayakan dengan mengundang partisipasi masyarakat. Namun masalah hukum, khususnya kekhawatiran Pimpinan Proyek (Pimpro) untuk mengambil keputusan, akan membuat seluruh proyek itu akan berjalan lambat. Keterlambatan proyek akan membuat konsekuensi besar ke eskalasi biaya, kualitas pekerjaan dan pelayanan publik. Presiden Jokowi dan JK i...

Tindak lanjut temuan kerugian negara dalam LHP BPK, antara administrasi atau pidana

Tindak lanjut temuan kerugian negara dalam LHP BPK, antara administrasi atau pidana Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara (pasal 23E ayat (1) UUD 1945). BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah pusat, pemerintah Daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK). Pelaksanaan pemeriksaan BPK, dilakukan berdasarkan Undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (pasal 6 ayat (2) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK). Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan ,pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuang...