Langsung ke konten utama

RESTORATIF JUSTICE SEBAGAI PENYELESAIAN PERKARA PIDANA SECARA DAMAI

 


 


Bahwa sebelum Belanda menjajah Indonesia, hukum yang berkembang dan berlaku di sebagian besar wilayah Indonesia adalah hukum adat. Namun setelah Belanda masuk dan menjajah Indonesia secara perlahan hukum adat mulai terpinggirkan. Walaupun Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yaitu membiarkan hukum adat itu tetap berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum eropa berlaku bagi golongan eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Namun dalam perkembangannya kemudian, hukum adat di Indonesia cenderung ditinggalkan dan yang dominan berlaku adalah hukum kolonial belanda.

 

Bahwa hukum pidana (KUHP) yang kita pakai sekarang salah satunya adalah warisan kolonial Belanda, sehingga secara tidak langsung  pengaruh paham individualistis dan liberal yang lebih dominan mewarnai pandangan masyarakat Indonesia dalam penyelesaian perkara daripada paham komunalisme atau kolektivisme yang merupakan budaya bangsa Indonesia. pengaruh paham individualistis dan liberal sangat mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia bahwa pengadilan adalah satu-satunya proses yang harus ditempuh jika ingin memperoleh kepastian dan keadilan.

 

Padahal penyelesaian konflik melalui pengadilan telah menimbulkan ekses negatif yang hanya bermuara pada menang dan kalah. Akhirnya karena pihak-pihak yang berperkara selalu hendak memperoleh kemenangan (winning) dan tidak mau menerima kekalahan secara jujur maka segala cara ditempuh. Inilah yang kemudian membuat pengadilan sarat dengan suap dan korupsi dan tentunya ini sangat merugikan para pencari keadilan.

 

MUSYAWARAH ADALAH PENYELESAIAN KONFLIK SECARA DAMAI.

Bahwa dulu dalam penyelesaian konflik kultur budaya masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman agama, etnis dan budaya adalah lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Bahwa penyelesaian konflik dengan cara damai melalui musyawarah ini justru lebih efektif karena mencegah adanya konflik berkepanjangan antara para pihak yang bersengketa atau antara pelaku dan korban tindak pidana.

 

Bahwa kalau dalam musyawarah itu misalnya antara korban dan pelaku sudah berdamai, maka perkara dinyatakan selesai. Namun selama ini meskipun korban dan pelaku sudah berdamai tapi  Perkara tetap diteruskan ke pengadilan karena Undang-undang tidak mengatur bahwa perdamaian menghentikan perkara. Praktik semacam inilah yang patut dipertanyakan dalam konteks tujuan hukum. Sebab, jika tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban, maka perdamaian antara korban dan pelaku adalah sebuah jalan keluar. Keadilan seperti inilah yang seharusnya dikatakan adil karena yang menentukan adil atau tidaknya adalah korban. Apabila korban sudah memaafkan dan meminta penyidik/penuntut umum menghentikan penyidikan/penuntutan maka seharusnya perkara selesai.

 

Perdamaian adalah hukum yang bercirikan Indonesia. Namun ahli hukum lebih senang berkiblat ke barat dan mengambil hukum dan pemikiran dari barat yang dianggap lebih modern. Pemikir hukum Indonesia yang peduli dengan hukum asli Indonesia sangat sedikit karena mereka lebih senang menengok ke barat karena pendidikannya memang berkiblat ke barat. Bahkan saat ini banyak undang-undang yang kita buat adalah hasil ratifikasi kesepakatan internasional yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. hal ini diserta pula dengan derasnya aliran dana dari lembaga Internasional untuk membuat perundang-undangan yang berjiwa liberalisme ke dalam sistem hukum Indonesia.

 

KONSEP RESTORATIF JUSTICE SEBAGAI UPAYA KEMBALI KEPADA HUKUM ASLI INDONESIA.

Bahwa salah satu penyelesaian perkara pidana yang sesuai dengan corak budaya bangsa Indonesia adalah restorative Justice. konsep restoratif Justice atau penyelesaian secara musyawarah  ini sebenarnya merupakan kultur asli masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan setiap permasalahan dengan cara-cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Dengan demikian diharapkan antara pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait dapat bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan hubungan baik dalam masyarakat.

Dalam perkara perdata, keadilan restoratif dikenal dengan istilah mediasi.

 

Munculnya restorative Justice ini awalnya tidak lepas dari kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik padahal sebenarnya sejak awal pelaku dan korban ingin berdamai namun terhambat oleh peraturan yang berlaku misalnya dalam kasus penipuan dan penggelapan yang dkategorikan sebagai delik biasa, bukan delik aduan. disini para pihak tidak dimungkinkan untuk menyelesaikan kasusnya walaupun sudah ada perdamaian, sehingga para pihak akhirnya menjadi frustasi.

 

Pada awalnya keadilan restoratif walaupun sudah banyak diperkenalkan di kalangan akademi dan praktisi hukum namun dalam prakteknya masih jarang sekali digunakan oleh penegak hukum. Hal ini karena landasan yuridisnya belum ada yang mengatur sehingga banyak penegak hukum yang belum berani menerapkan restoratif justice dan tetap melanjutkan perkara karena takut disalahkan oleh pimpinannya. Namun saat kasus seperti pencurian 2 buah kakao, pencurian sandal jepit dan kasus-kasus sejenis bermunculan dan menjadi viral di media-media, dan mendapat stigma negatif dimasyarakat karena penegak hukum dianggap tidak menggunakan hati nuraninya dan hukum di kesankan hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas akhirnya Instansi penegak hukum apakah itu Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan kemudian membuat regulasi terkait keadilan restoratif ini.

 

Namun walaupun restoratif justice telah diterapkan dalam praktek penegakan hukum pidana namun sampai saat ini penerapan keadilan restoratif justice di kalangan penegak hukum hanya terbatas pada perkara-perkara ringan. Restorative justice sendiri selama ini baru dapat diterapkan apabila tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkannya tidak lebih dari Rp2.500.000,-, dan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Jadi masih sangat terbatas.

 

Bahwa dalam restorative justice, penegak hukum dituntut agar berperan aktif untuk mampu memfasilitasi penyelesaian konflik akibat tindak pidana yang dapat memuaskan para pihak yang berselisih. Metode yang dipakai adalah musyawarah yaitu membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai "stakeholders" yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions).

 

 

RESTORATIF JUSTICE MENJAWAB PERMASALAHAN TERKAIT MENUMPUKNYA PERKARA DI PENGADILAN DAN OVER CAPACITY PENGHUNI PENJARA

Bahwa penerapan restoratif justice sebenarnya sekaligus menjawab permasalahan terkait penumpukan banyaknya perkara dipengadilan dan over capacity penghuni penjara. Bahwa selama ini Karena mindset penegak hukum kita belum lepas dari pikiran bahwa penjara bisa memberikan EFEK JERA ditambah Undang Undang yang dibuat semuanya memberikan sanksi pidana penjara maka Semua kasus yang paling kecil pun dipidana penjara akibatnya Penjara semakin penuh.

 

Saat ini orang yang dipenjara dua sampai tiga kali lipat dari kapasitas penjara yang dimiliki oleh Negara. Anggaran penjara terus meningkat tajam untuk memberi makan tahanan dan narapidana. Biaya sosial pun tak kalah tinggi, makin banyak masalah sosial yang ditimbulkan oleh anak-anak yang ayahanya dipenjara. Belum lagi stigma "orang jahat" yang akan ditanggung narapidana dan keluarga pasca keluar penjara.

 

Bahwa untuk mengatasi permasalahan mengenai menumpuknya perkara di pengadilan dan mengatasi over capacity penghuni penjara maka penulis mengusulkan ke depan restorative justice bisa diperluas tidak hanya menyangkut kejahatan kecil saja tapi juga tindak pidana secara umum seperti penggelapan, penipuan, kecelakaan lalu lintas bahkan pembunuhan yang tentunya dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan dan tujuan pemidanaan itu sendiri seperti misalnya :

1. Tetap menghukum pelaku namun hukumannya hanya percobaan karena tingkat kejahatannya tidak terlalu serius atau masuk kategori sedang misal pasal 359, 372, 378

Bahwa restoratif justice bisa diwujudkan dalam bentuk hukuman bersyarat yaitu kepada pelaku diberikan hukuman percobaan selama sudah ada perdamaian dan pelaku bersedia atau  mau mengembalikan kerugian yang diderita oleh korban. Hal ini tampak dalam Putusan MA RI Nomor : 2238 k/Pid/2009 tanggal 20 Januari 2011 yang amarnya berbunyi :

-  Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

-  Menetapkan, bahwa hukuman tidak usah dijalani, kecuali apabila terpidana dalam tenggang waktu 5 (lima) bulan sejak putusan diberitahukan kepada terdakwa, tidak membayar lunas uang yang digelapkan sebesar Rp. 25.856.000.- kepada saksi korban Arifin Terah.

 

2. Tetap menghukum terdakwa dengan pidana penjara karena tingkat kejahatannya cukup serius atau berat misalnya pasal 363, 372, 378, 351, bahkan 338 namun hukuman yang diberikan ringan atau tidak terlalu berat dengan pertimbangan misalnya  :

-       Bahwa antara Terdakwa dengan keluarga korban sudah berdamai       sebagaimana adanya pernyataan damai

-       Bahwa keluarga korban  telah ikhlas menerima kematian korban .

-   Bahwa keluarga korban mohon agar Terdakwa tidak dihukum       sebagaimana dalam surat permohonan .

-       Bahwa antara Terdakwa dengan keluarga korban sudah saling memaafkan sebagaimana termuat dalam pernyatan damai;

-    Bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya, telah memberikan bantuan/santunan kepada keluarga korban atau telah mengganti kerugian yang diderita oleh pihak korban.

 

RESTORATIF JUSTICE DILINGKUNGAN KEJAKSAAN

Dalam penerapan Restoratif justice, Jaksa Agung telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung (Perja)  No. 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Di dalam perja No. 15 tahun 2020 yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Penyelesaian perkara diluar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif dilakukan dengan cara menghentikan penuntutannya. Penghentian penuntutan ini adalah merupakan bagian dari kewenangan kejaksaan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum.

 

Adapun perkara pidana yang dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah harus memenuhi syarat yaitu :

-       tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana,

-      tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun

-  tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).

-     telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka;

-       masyarakat merespon positif.

-  Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara: mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban; mengganti kerugian Korban; mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana

 

Adapun mekanisme yang dilakukan penuntut Umum untuk melakukan keadilan restoratif adalah  setelah penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua). Maka Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap Korban dengan menyebutkan alasan pemanggilan. Penuntut Umum kemudian menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka . Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan proses perdamaian.

 

 

RESTORATIF JUSTICE DI LINGKUNGAN PERADILAN

Penerapan restorative justice di lingkungan peradilan diatur dalam surat keputusan badan Peradilan Umum Nomor : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang pedoman penerapan Restoratif Justice di Lingkungan peradilan umum.

 

Yang dimaksud keadilan restorative (restorative justice) merupakan alternative penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfocus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

 

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan restorative adalah :

1. perkara tindak pidana ringan dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407,dan pasal 482 KUHP dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp. 2.500.000.-

2. perkara anak, yaitu dalam hal diversi tidak berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, maka Hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan keadilan restorative sebagaiaman diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 pasal 71 sampai dengan pasal 82

3. Pada perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun korban.

4. Pada perkara Narkotika, keadilan restorative hanya dapat diterapkan pada pecandu, penyalahguna dan orang yang baru pertama kali memakai narkoba dengan memerintahkan untuk dilakukan rehabilitasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kew...

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejay...

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dala...