Setiap tanggal 9 Desember kita merayakan hari anti korupsi. Pada momen tersebut pejabat Pemerintah, para politisi, pemimpin ormas, pemimpin agama, aktivis dan tokoh-tokoh masyarakat sama-sama berteriak untuk melawan korupsi. Hampir semua Instansi pemerintah memasang spanduk mendukung pemberantasan korupsi. Namun demikian korupsi tidak pernah berhenti dilakukan. Mulai dari Menteri dan anggota DPR, Gubernur dan DPRD TK I, Bupati dan DPRD TK. II, Kepala Dinas, Camat, Lurah/Kepala Desa, Tokoh Agama, PNS, swasta, Politisi, semuanya sudah ada yang masuk penjara karena korupsi. korupsi di Indonesia adalah masalah yang tidak pernah selesai sampai saat ini.
Bahwa sejak era
reformasi ini banyak cara atau strategi yang sudah dilakukan oleh Pemerintah
dalam pemberantasan korupsi diantaranya :
Pertama,
Mengganti UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
menjadi UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001.
Dalam UU 31 tahun 1999 korupsi digolongkan kedalam ekstra ordinary crime,
kejahatan yang luar biasa yang penangannya menjadi skala prioritas pemerintah.
Di dalam UU 31 tahun 1999 banyak hal yang diatur misalnya Memberikan peran
aktif kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam pemberantasan korupsi yang
ditandai dengan berdirinya banyak LSM anti korupsi seperti ICW dll.. Di dalam
UU 31 tahun 1999 juga mencantumkan pidana mati untuk korupsi yang dilakukan
dalam keadaan tertentu seperti terjadinya bencana alam, krisis moneter dan atau
pengulangan tindak pidana.
Kedua,
membentuk pengawas independen pada lembaga penegak hukum seperti komisi
kejaksaan, komisi kepolisian, komisi yudisial.
Ketiga,
Membuat regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi seperti Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN), dan Instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi dll.
Keempat,
Mendirikan Komis pemberantasan korupsi (KPK) dengan kewenangan yang luar biasa.
Namun demikian
walaupun Sudah banyak langkah
dan strategi serta peraturan yang dibuat oleh Pemerintah untuk memberantas
korupsi namun semuanya itu belum berhasil. Lalu bagaimana sebenarnya cara yang
efektif dalam menghentikan praktek korupsi ini. Orang berdebat mana yang lebih
penting menyeret para koruptor dan memenjarakan mereka atau melakukan
pencegahan korupsi ?
Bahwa Pemberantasan korupsi hanya bisa berhasil dilakukan kalau aspek
pencegahan dan penindakan berjalan seiring dan saling melengkapi. Bahkan yang
paling penting justru adalah pada aspek pencegahan daripada penindakannya
karena mencegah peluangnya lebih besar untuk menutupi kemungkinan kebocoran anggaran
dan menjaga agar uang Negara tidak di salahgunakan.
Kekeliruan dan kelemahan Pemerintah dalam pemberantasan korupsi selama
ini adalah karena lebih mengutamakan pemberantasan korupsi diserahkan kepada
penegak hukum khususnya kepada KPK sehingga aspek penindakanlah yang
diutamakan. Padahal korupsi lebih utama adalah dicegah. Mencegah tentu lebih
baik daripada mengobati. Dan mencegah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah
sendiri bukan ditangan penegak hukum.
Ujung tombak dalam pemberantasan korupsi adalah di tangan pemerintah,
pusat maupun daerah. Setiap Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota yang
menjabat atau terpilih seharusnya merekalah garda terdepan dalam pemberantasan
korupsi, Kenapa ? Karena mereka yang memegang mandat pengelolaan keuangan
Negara dalam bentuk APBN dan APBD.
Lalu untuk membantu pemerintah mengawasi pengelolaan keuangan negara
sudah ada dua lembaga pengawas dan pemeriksa (audit) yang dibentuk secara
nasional yaitu BPK dan BPKP, belum lagi lembaga pengawas dan pemeriksa internal
seperti inspektorat jenderal di masing-masing kementerian dan lembaga (K/L)
serta Inspektorat daerah di masing-masing SKPD Provinsi serta kabupaten/kota.
Kalau semua berjalan dengan sistem yang baik maka tentunya korupsi dan
berbagai bentuk penyimpangan lainnya akan dapat dicegah sehingga anggaran
Negara dapat digunakan secara optimal untuk pembangunan nasional dan Daerah. Jangan
lagi seperti sekarang ini dimana Penegak hukum banyak menangani kasus korupsi
pada proyek-proyek pemerintahan dan sementara pejabat pemerintah takut
diperiksa oleh penegak hukum sehingga kemudian barulah keluar berbagai
kebijakan pencegahan korupsi seperti:
Pertama, mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2016 tentang percepatan proyek
strategis nasional (daerah). Inpres ini pada pokoknya menekankan agar Kejaksaan
dan Kepolisian lebih mengedepankan aspek pencegahan daripada penindakan dalam
pemberantasan korupsi. Proyek-proyek yang dianggap strategis yang ada di
Kementerian, BUMN dan BUMD dilakukan pengawalan dan pengamanan oleh penegak
hukum khususnya Kejaksaan dan kepolisian.
Apabila ada laporan masyarakat atau temuan adanya penyimpangan dalam
pelaksanaan proyek maka penegak hukum terlebih dahulu mengambil penyelesaian
secara administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang
administrasi pemerintahan sebelum menggunakan instrumen hukum pidana (korupsi).
Kedua, mengadakan penandatanganan kerja sama atau Memorandum of
Understanding (MoU) antara Mendagri, Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 700/8929/SJ,
Nomor KRP-694/A/JA/11/2017 dan Nomor B.108/XI/2017 tanggal 30 Nopember 2017
tentang koordinasi APIP dan APH terkait penanganan laporan atau pengaduan masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Perjanjian
kerjasama tersebut pada pokoknya mengatur bahwa setiap laporan dari masyarakat
tidak langsung ditindaklanjuti oleh Aparat penegak hukum (APH). Laporan itu
akan lebih dulu diperiksa oleh APIP. Tujuannya, untuk memastikan apakah laporan
tersebut benar-benar berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi, atau hanya
sebatas perkara kesalahan administrasi semata. Jika temuan itu adalah adminsitrasi maka diserahkan
kepada APIP sedangkan jika ada indikasi
pidana diserahkan kepada APH untuk ditindaklanjuti.
Apa yang
dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan dua kebijakan yang diambil diatas
adalah merupakan tindak lanjut dari
Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2015 . Pemerintah memandang aspek penindakan yang selama ini
dilakukan penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan KPK dengan memenjarakan
banyak koruptor ternyata tidak membuat korupsi berkurang dan membawa efek jera
justru malah kontraproduktif dengan pembangunan karena banyak pengambil
kebjakan takut mengeksekusi anggaran.
Kenapa Korupsi tidak berkurang dan sulit diberantas ?
Sekali lagi karena pemerintah sendiri dan seluruh jajarannya dari
pemerintah pusat sampai Daerah tidak sungguh-sungguh melakukan pencegahan
terjadinya korupsi. Korupsi seharusnya dipetakan secara seksama dan dicari akar
permasalahannya dan kemudian dirumuskan konsepsi pencegahaannya. Dan Ini hanya
bisa dilakukan kalau pemerintah serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan
pemerintah yang bersih dan akuntabel. Siapa lagi yang diharapkan dapat mencegah
dan memberantas korupsi di Pemerintahan kalau bukan peran pemerintahan itu
sendiri. Kita tidak bisa mengandalkan peran penegak hukum semata yang memiliki
keterbatasan SDM dan sarana pendukungnya untuk mengakses semua penyimpangan
yang terjadi dalam pengelolaan keuangan Negara/daerah.
Penyebab utama kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah
karena penegak hukum terlalu eksesif dalam melakukan fungsi penindakan sementara
pelaksanaan fungsi pencegahan korupsi
masih sangat lemah dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan banyak pejabat Daerah
sendiri yang justru melakukan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh Kepala
daerah misalnya bukannya semakin berkurang tetapi justru bertambah akibat biaya
politik yang tinggi. Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum,
86 % diantaranya kasus korupsi, satu bukti tidak adanya efek jera fungsi
penindakan dan lemahnya fungsi pencegahan.
Sementara total kerugian Negara terkait kasus korupsi sepanjang tahun
2020 adalah sebesar Rp.56,7 Triliun. Kejaksaan
Agung jauh lebih besar menangani kerugian keuangan negara dibandingkan KPK.
Kejaksaan Agung menangani kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 56,7
triliun. Sedangkan KPK menangani kasus dengan kerugian hanya Rp 114,8 miliar. Dari
total kerugian negara yang mencapai Rp 56,7 triliun, uang pengganti yang masuk
ke kas negara hanya Rp 8,9 triliun. Jadi praktis hanya sekitar 12% atau 13%
uang korupsi yang kembali ke negara melalui vonis pidana tambahan yang diatur
dalam pasal 18 UU pemberantasan tindak pidana korupsi,
Negara Indonesia tidak akan pernah lepas dari
korupsi selama peluang terjadinya korupsi tidak pernah ditutup. Pemberantasan
korupsi hanya berhasil apabila aspek pencegahan dapat berjalan dengan baik dan
itu sangat ditentukan oleh political will (kemauan politik) pemerintah sendiri
dan seluruh jajarannya.
Ke depan ketika sistem
pencegahan sudah berjalan dengan baik maka penegak hukum seharusnya tidak perlu
lagi sibuk mematai-matai proyek-proyek pemerintah. Penegak hukum seharusnya
cukup menerima laporan adanya korupsi itu dari BPK, BPKP dan Inspektorat karena mereka yang melakukan
pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah. Semua temuan menyangkut kerugian
Negara apakah itu besar atau kecil seharusnya semua diserahkan kepada penegak
hukum untuk ditindaklanjuti demi penyelamatan dan pengembalian kerugian Negara.
Tentu tidak semua ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan tetapi hanya
terkait dengan kasus-kasus tertentu yang memang layak untuk ditindaklanjuti
dengan penindakan.
MENYELAMATKAN KEKAYAAN ALAM KITA
Kita sering mengatakan korupsi adalah penyebab
utama yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini. Bahwa Korupsi adalah penyebab
utama kemiskinan karena anggaran yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat
menjadi raib karena korupsi. Menurut penulis bukan hanya korupsi namun juga karena
kegagalan pemerintah dalam mengelola Negara sehingga gagal memberikan
kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia yang merupakan salah satu tujuan
Negara dalam konstitusi. Kita memang maju dalam pembangunan secara fisik namun
itu lebih banyak dibiayai dari hutang luar negeri yang saat ini sudah mencapai
6000 Triliun.
Kekayaan alam bangsa Indonesia yang sangat besar
justru tidak bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Padahal Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan
salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju. Namun faktanya,
Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Pejabat
pemerintah justru melepaskan asset-aset kekayaan alam kita yang besar itu kepada
korporasi asing dan segelintir korporasi lokal. Pertambangan, kehutanan,
kelautan dan perkebunan yang merupakan kekayaan alam yang terbesar tidak
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Padahal Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan agar
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negara
kita garis pantainya termasuk terpanjang di dunia tapi kita masih mengimpor
garam, tanah kita subur dan luas tapi kita masih mengimpor bahan pangan apakah
itu beras, kedelai, tepung dan sebagainya. Kekayaan alam kita sangat besar.
kita punya tambang apakah itu emas, perak, timah, nikel, dan minyak bumi, namun
mirisnya semua kekayaan itu justru lebih banyak dieksploitasi oleh perusahaan
asing dan tidak bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia sendiri.
Bahwa
Kalau Pemerintah memang sungguh-sungguh untuk memakmurkan rakyatnya maka
tentunya pemerintah tidak perlu lagi mengimpor garam kalau petaninya dapat
membuat garam sendiri, pemerintah juga tidak perlu mengimpor beras, kedelai,
tepung kalau petaninya dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Kalau peternak
kita dapat memenuhi kebutuhan daging sendiri maka tentunya pemerintah tidak perlu mengimpor
daging lagi. Kalau rakyat kita mampu mengesplorasi dan mengeksploitasi tambang
kita sendiri mengapa kita perlu mengundang investor untuk mengelola tambang
kita. Pemimpin yang mencintai bangsanya tentu menginginkan rakyatnya mandiri
tanpa bergantung dari luar negeri. Pemimpin yang mencintai negaranya tentu
tidak akan menggadaikan kekayaan alam bangsanya untuk dikelola kepada pihak
asing. Pendiri Singapura Lee Kuan Yew, dalam bukunya yang berjudul One Man’s
View of The World sempat mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai
sumber alam yang melimpah. Tanpa kedaulatan, keberlanjutan, dan
kesejahteraan, sumber daya alam yang berlimpah tidak akan memberikan dampak
signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia sendiri.
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar