Baghdad pada tanggal 18 dzulqaidah 309 Hijriah (921 M), Khalifah Bani Abbasiyah. Al Muqtadir Billah memerintahkan algojo untuk melakukan eksekusi hukuman mati kepada Al Hallaj, seorang sufi besar yang pernah dimiliki dunia Islam. Al Hallaj dihukum pancung setelah selama 8 tahun dipenjara karena dituduh kafir atas ucapan kesufiannya yang mengatakan “ana al Haq” (aku adalah kebenaran) atau secara tidak langsung dia mengatakan aku adalah Allah.
Sedangkan Syekh siti jenar dalam sejarah diceritakan, ketika seorang utusan Walisongo datang ingin bertemu dengan Syekh siti jenar, dijawab,” di sini hanya ada Allah, tak ada syekh siti jenar. Ketika utusan itu pulang dan datang lagi meminta bertemu dengan Allah dijawab,”di sini hanya ada Syekh siti Jenar, tidak ada Allah. Utusan itu pulang dan datang lagi ingin bertemu Allah dan Syekh siti Jenar barulah diperkenankan untuk bertemu. Syekh siti Jenar ingin menegaskan keberadaan dirinya dalam posisi wahdatul wujud atau Manunggaling Kawula Gusti (kesatuan eksistensi Tuhan dengan Hamba). Sikap dan pandangan Syekh Siti Jenar inilah yang harus dibayar mahal karena pada akhirnya mengantarkannya di hukum mati. Dia dihukum mati agar ajaran yang disampaikannya tidak menyebar dan meracuni pikiran masyarakat.
Benarkah Al Hallaj dan Syekh Siti Jenar sesat dan kafir ?
Bagi mereka yang memahami tasawuf dan dunia sufi maka mereka akan berprasangka baik dengan mengatakan bahwa Al Hallaj dan Syekh Siti Jenar adalah hamba-hamba Allah yang shaleh, manusia mulia pilihan Allah yang telah mencapai maqam ma’rifat dengan Allah.
Mereka yang menganggapnya kafir adalah karena tidak memahami dunia tasawuf dan pengalaman batin para sufi. Para sufi itu adalah sama dengan muslim lainnya dalam melaksanakan ajaran agama seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun karena kuatnya kesungguhan (mujahadah) mereka dalam pendekatan diri kepada Allah maka kemudian mereka mendapatkan karunia berupa pengalaman batin spiritual yang tinggi. bahasa pun kadang tak mampu untuk menampung kedalaman pengalaman spiritual mereka sehingga lahirlah ungkapan-ungkapan mereka yang sering disalahpahami oleh masyarakat awan. Jadi kalau kita mau memahami ungkapan-ungkapan para sufi maka tentu kita harus memasuki dunia mereka terlebih dulu. Rasakan seperti apa pengalaman spiritual yang mereka tempuh
Bahwa ketika Al Hallaj mengatakan Ana al Haq (akulah yang maha benar), janganlah kita memahami itu sebagai ungkapan yang mengaku diri sebagai Tuhan. Bukankah selama ini kita memahami bahwa Nabi Muhammad saw ketika mengutarakan hadis qudsi tidak mengaku sebagai Tuhan padahal dalam hadis qudsi Nabi saw bersabda dengan lisan Tuhannya,”wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman untuk diri-Ku, dan aku telah menjadikannya diantara kalian sebagai sesuatu yang terlarang, maka janganlah kalian saling berbuat zalim (HR. Muslim) .
Ketika menyampaikan hadis qudsi tersebut, Nabi saw mengatakan,”wahai hamba-hamba-Ku. Apakah dengan begitu kita berkesimpulan bahwa Nabi mengaku sebagai Tuhan atau Nabi dikatakan menyatu dengan Tuhan ?
Tentu saja tidak kan.
Begitu pula dengan Al Hallaj atau Syekh Siti Jenar. Ketika Al Hallaj mengatakan “Ana Al Haq” atau Syekh Siti Jenar dengan ungkapan manunggaling kawulo Gusti maka itu janganlah dipahami bahwa mereka mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan ( ittihad) atau mengaku bahwa Tuhan telah bertempat di dalam diri mereka (hulul). Tidak , Mereka sama sekali tidak bermaksud mengatakan itu. Tidak ada kaum sufi yang menyakini bahwa Tuhan bisa bertempat dan menyatu dengan manusia.
Ungkapan mereka itu jangan pula disamakan dengan ucapan firaun ketika mengatakan ana robbukum al-‘Ala (akulah tuhan kalian yang maha tinggi itu). Ungkapan al hallaj dan Syekh siti Jenar adalah ungkapan orang beriman yang telah mencapai maqam spiritual yang tinggi dan kedekatan dengan Tuhan sedangkan firaun mengatakan perkataan itu dari orang yang tidak melihat adanya Tuhan kecuali dirinya sendiri.
Ungkapan Al Hallaj maupun Syekh siti jenar itu lahir dari kondisi kejiwaan (hal) yang mereka alami disaat mereka tidak lagi merasakan keberadaan dirinya, dan yang mereka saksikan hanyalah manifestasi Tuhannya. Ketika Al Hallaj mengatakan “Aku adalah yang Haq”. Anda jangan bayangkan adanya dua aku di sana yaitu akunya Al Hallaj dan akunya Allah. Aku yang ada hanya satu yaitu al Haq itu sendiri.
Jadi ungkapan “Aku adalah yang Haq” itu lahir dari rasa kedekatan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Saking dalamnya keintiman itu sampai seorang hamba tidak lagi merasakan keberadaan dirinya. Dia merasa dirinya sudah lenyap dan dengan begitu yang dia lihat hanyalah Allah. Orang yang mengalami kefanaan dirinya tidak lagi menyadari ke-aku-an dirinya. Yang mereka lihat hanyalah Allah. Ke aku an Al Hallaj sendiri sudah tidak ada yang ada hanyalah Aku-nya Allah yang terucapkan melalui lisannya Al Hallaj.
Inilah ungkapan kerinduan yang terkenal dari Majnun kepada Laila,”setiap aku melihat rumah laila yang aku lihat hanyalah laila. Tidak ada yang lain. Itu adalah ungkapan bahasa simbol sufi yang mencintai Tuhannya sehingga tidak lagi melihat keberadaan dirinya kecuali wajah Tuhan-Nya.
Wallahu’alam bisshowab
Komentar
Posting Komentar