MASALAH PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA, DALAM PERSPEKTIF UU KEUANGAN NEGARA DAN UU TINDAK PIDANA KORUPSI.
MASALAH PENGEMBALIAN KERUGIAN
NEGARA, DALAM PERSPEKTIF UU KEUANGAN NEGARA DAN UU TINDAK PIDANA KORUPSI.
Salah satu faktor yang menjadi pintu
masuk penegak Hukum untuk mengusut tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian
Negara. Karena
tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang sebagai delik formil, dimana
unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, maka unsur kerugian Negara harus
telah dibuktikan ada, dalam arti telah dihitung jumlahnya sesuai kesimpulan
oleh ahli dalam keuangan negara, atau ahli dalam analisis hubungan perbuatan
seseorang dengan kerugian, seperti BPKP, atau BPK. ini untuk menciptakan kepastian hukum.
Lalu
bagaimana jika berdasarkan hasil perhitungan kerugian Negara, seorang tersangka
atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi baik sebelum
atau sesudah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan? Apakah kasusnya masih terus
dilakukan proses hukum sampai putusan pengadilan atau justru dihentikan ?
Merujuk
kepada pasal 4 UU No 31 tahun
1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi,
penegak hukum umumnya akan berpendapat,
dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana
terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jadi walaupun tersangka telah
mengembalikan kerugian Negara atau uang
pengganti sebelum atau sesudah dilakukan penyidikan (tentunya setelah lewat 60
hari menurut UU Perbendaharaan dan UU BPK terkait tuntutan perbendaharaan ganti
rugi) maka penegak hukum tetap memproses
kasusnya dengan merujuk pada pasal 4 UU No 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun
2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi.
Memang
menurut pasal 4 UU Tipikor, pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Meskipun
pelaku tindak pidana korupsi itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah
ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap
berjalan karena tindak pidananya telah terjadi (voltoid), namun demikian
pengembalian keuangan negara yang dikorupsi dapat menjadi salah satu faktor yang meringankan
hukuman bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan. pengembalian tersebut, berarti ada iktikad baik untuk memperbaiki
kesalahan.
Dalam praktek, pengembalian hasil tindak pidana korupsi sering dikaitkan
dengan waktunya. pengembalian kerugian negara sebelum penyidikan bisa menghapus
tindak pidana. Salah satu unsur korupsi, adalah unsur kerugian negara. Bila
sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus
sebelum ada penyidikan. Jika penyidikan telah dimulai, pengembalian uang itu hanya
mengurangi sanksi pidana saja. Alasannya, pengembalian kerugian negara dianggap
sebagai timbal balik karena telah meringankan tugas negara. Tidak mempersulit
dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara. Pengembalian yang juga
dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa.
Namun pada
prinsipnya dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum.
Misalnya seseorang mencuri, lalu
mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu, itu tetap tindak
pidana.
UU
dan pelaksananya seharusnya bisa menciptakan kepastian hukum. UU yang terlalu membuka
ruang multi tafsir dalam pasal-pasalnya membuat penegak hukum sulit memiliki
persepsi yang sama terkait penerapan undang-undang in konkreto, apalagi kalau
cara mereka membaca dan menafsirkan disesuaikan dengan posisinya seperti
Penasehat Hukum yang harus membela tersangka, Jaksa mencari kesalahan, Hakim
dalam menilai perbuatan dan Akademisi dari sudut ilmu pengetahuan hukum.
Nah terkait hal tersebut diatas, saya melihat ada beberapa hal yang perlu
didiskusikan mengenai pengembalian kerugian Negara terkait penerapan pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
penerapan Undang-Undang No. 17
tahun 2003 tentang keuangan Negara, dan UU
No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dihubungkan dengan asas Lex posterior derogate lege priori dalam ilmu
perundang-undangan yang artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang
lama.
Sebelum memulai ada
baiknya kita mengetahui definisi kerugian negara yang terdapat
dalam beberapa undang-undang tersebut diatas, antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 15 tahun 20016
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.”
2. Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendahraan) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.”
3. Penjelasan pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara”
adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi
yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”
Jadi apabila ada pegawai negeri/pejabat negara atau
pengelola keuangan yang melakukan tindakan berupa perbuatan melawan hukum baik
sengaja atau karena kelalaiannya yang mengakibatkan kerugian Negara, maka yang
bersangkutan harus bertanggung jawab untuk mengembalikan kekayaan negara yang
hilang atau berkurang tersebut.
Bahwa pengembalian atau
penggantian kerugian negara/daerah itu dilakukan melalui proses penyelesaian
ganti kerugian negara/daerah yaitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu :
1. Pasal 35 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara
“setiap pejabat
negara atau pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan
kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara
diwajibkan mengganti kerugian dimaksud”.
2. Pasal 59 UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara
(1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya yang
dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti
kerugian tersebut.
(3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui
bahwa dalam kementerian negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian
akibat perbuatan dari pihak manapun.
3. Penjelasan umum angka 6 “penyelesaian kerugian negara” UU No. 1
tahun 2004 tentang perbendaharaan negara telah diamanatkan penyelesaian
kerugian negara/daerah dengan cara mengembalikan/mengganti kerugian negara/daerah.
“untuk
menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam UU Perbendaharaan Negara ini
diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah. oleh karena itu,
dalam UU Perbendaharaan negara ini ditegaskan bahwa setiap kerugian
negara/daerah yang disebabkan tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang
harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut
negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi. Sehubungan
dengan itu, setiap pimpinan Kementerian negara/lembaga/kepala SKPD wajib segera
melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi
kerugian.
4. Penjelasan pasal 59 ayat (1) UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara ditegaskan perlunya pengembalian/penggantian kerugian
negara/daerah melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara/daerah.
“penyelesaian kerugian negara perlu segera
dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara
pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Bahwa pengembalian/penggantian kerugian
negara/daerah melalui penyelesaian ganti kerugian negara/daerah tersebut dilaksanakan
oleh suatu lembaga yaitu :
1. Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah (TPKN/D) dan Majelis
Tuntutan Perbendaharaan untuk memproses ganti kerugian negara terhadap
bendahara.
(pasal 62 ayat (1) UU
No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara Jo. Pasal 41 peraturan BPK Nomor
3 tahun 2007 tentang tata cara penyelesaian ganti kerugian negara terhadap
bendahara)
2. Majelis pertimbangan tuntutan ganti rugi (MP-TGR) untuk memproses
ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara
(pasal 63 ayat (1) UU
No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara).
Persoalannya adalah bagaimana dengan pengembalian ganti kerugian Negara/daerah
setelah mengetahui atau sudah dilakukan
penyelidikan/penyidikan/penuntutan/pemeriksaan di sidang Pengadilan.
Pihak yang mengembalikan kerugian
negara tentu berharap bahwa unsur tindak pidana korupsi berupa kerugian negara
tidak terpenuhi lagi. Namun ketentuan tersebut diperhadapkan dengan ketentuan
pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yaitu “pengembalian kerugian keuangan Negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.
Penjelasan pasal 4 UU No. 31 tahun
1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 ditegaskan “Dalam hal pelaku tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi
unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana
tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara hanya merupakan
salah satu faktor yang meringankan”.
Ketentuan ini telah diperkuat dengan
yurisprudensi MA RI Nomor : 1401K/pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, dengan
pertimbangan hukum “bahwa meskipun kerugian negara/daerah tingkat II Sikka
sudah dikembalikan oleh terdakwa, tetapi sifat melawan hukum dari perbuatan
hukum terdakwa tetap ada dan tidak hapus dan tidak dapat dianggap sebagai
alasan pembenar atau pemaaf atas kesalahan terdakwa serta terdakwa tetap dapat
dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bahwa terhadap ketentuan pasal 4
beserta penjelasannya UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tersebut
maka kita diperhadapkan DENGAN ketentuan
3 (tiga) paket UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya sebagaimana
disebutkan diatas yaitu pasal 35 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, dan ketentuan pasal 59 serta penjelasan umum angka 6 UU No. 1 tahun
2004 tentang perbendaharaan Negara serta UU No. 15 tahun 2004 tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, Peraturan
pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, peraturan BPK
Nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara penyelesaian ganti kerugian negara
terhadap bendahara, dan peraturan daerah atau peraturan Kepala Daerah tentang
tata cara tuntutan ganti kerugian daerah terhadap Pegawai Negeri bukan bendahara
Yaitu ketentuan mana yang harus dipakai dan
didahulukan dalam hal memproses suatu kasus tindak pidana korupsi yang sudah
diproses pengembalian kerugian keuangan negara atau sudah dikembalikannya
kerugian negara.
Bahwa putusan MA RI Nomor : 1401K/pid/1992
tanggal 29 Juni 1994, berlaku jauh sebelum terbitnya 3 (tiga) UU Keuangan
Negara beserta peraturan pelaksanaannya yaitu :
1. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara
4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan
keuangan daerah
5. Peraturan BPK Nomor 3 tahun 2007 tentang tata cara penyelesaian
ganti kerugian negara terhadap bendahara, dan peraturan daerah atau peraturan
kepala daerah tentang tata cara tuntutan ganti rugi kerugian daerah terhadap
pegawai negeri bukan bendahara.
Bahwa esensi putusan MA RI Nomor :
1401K/pid/1992 tanggal 29 Juni 1994, bahwa pengembalian kerugian negara oleh
terdakwa saat itu tidak melalui proses penyelesaian ganti kerugian
negara/daerah sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara beserta peraturan
pelaksanaannya sebagaimana tersebut diatas yaitu melalui proses penyelesaian
ganti kerugian negara/daerah melalui tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi (TP-TGR).
Bahwa pasal 2, pasal 3 dan pasal 4
beserta penjelasannya UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, dibentuk
jauh sebelum UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa pengembalian kerugian keuangan
negara melalui proses penyelesaian ganti kerugian negara sejak berlakunya 3
(tiga) paket UU Keuangan Negara beserta peraturan pelaksanaannya seharusnya
menjadi pertimbangan utama untuk memproses tindak lanjut suatu kasus.
Bahwa berdasarkan ilmu
perundang-undangan dikenal asas Lex posterior derogate lege priori artinya
hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama maksudnya ialah UU yang baru
mengabaikan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Jadi apabila
suatu materi yang telah diatur dalam suatu Undang-undang, kemudian materi itu
diatur kembali dalam Undang-undang yang baru maka sejak saat mulai berlakunya
Undang-undang baru itu maka ketentuan dahulu yang mengatur materi yang sama
tidak berlaku lagi.
Berkenan dengan asas tersebut, maka 3 (tiga) paket Undang-undang
keuangan beserta peraturan pelaksanaannya yang dibentuk setelah pasal 4 UU No.
31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 itulah yang seharusnya dipakai dan
didahulukan daripada pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001.
Wah kalau begini caranya, logika anda pasti
akan memprotes “ Dia mengembalikan curiannya kan karena ketahuan, coba kalau
tidak ketahuan?
Betul
saya tidak menyalahkan kalau anda memprotes, apalagi anda seorang penyidik
tulen, saya memahami jalan pikiran anda logis. Tapi disini saya sedang
berbicara dalam sebuah system yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan
baik, dalam arti semua lembaga dalam
pemerintahan telah berjalan sesuai dengan fungsinya. Jadi kalau APIP berjalan
dengan baik dalam melakukan pengawasan, BPK sungguh-sungguh mengungkap
penyimpangan ketika melakukan pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan
Negara/daerah, maka fungsi penegakan hukum
sebagai Ultimum Remedium dapat dijalankan.
Jadi sebagai kesimpulan yang dapat
diberikan adalah apabila ada pegawai
negeri/pejabat negara atau pengelola keuangan yang melakukan tindakan berupa
perbuatan melawan hukum baik sengaja atau karena kelalaiannya yang
mengakibatkan kerugian Negara, maka yang bersangkutan harus bertanggung jawab
untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang tersebut. Pengembalian kerugian negara itu dilaksanakan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Tatkala
dalam pengembalian kerugian negara melalui prosedur di luar pengadilan tersebut
ternyata gagal, maka negara harus menuntut pengembalian kerugian negara melalui
proses hukum yaitu melalui instrument hukum perdata dan instrumen hukum pidana,
yang keduanya mengandung prosedur yang berbeda.
Caranya
perlu ada MOU antara Pemerintah Daerah dengan Kejaksaan yaitu apabila lembaga yang ditugaskan untuk Penyelesaian Kerugian
Negara/Daerah ternyata tidak bisa memaksa pihak terkait untuk mengembalikan kerugian Negara, maka
Pemerintah Daerah meminta bantuan kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) Kejaksaan
untuk dilakukan penagihan atau gugatan perdata, kalau hal ini juga mentok maka
solusi terakhir adalah diserahkan ke penyidik untuk dilakukan penindakan dengan
Instrumen hukum pidana sebagai upaya terakhir (Ultimum remedium),jadi tujuannya
adalah agar sebesar-besarnya dapat
mengembalikan asset untuk dapat digunakan dalam pembangunan ekonomi bukan sebanyak-banyaknya orang dimasukkan
dalam penjara.
Wallahu ’alam bissawwab.
Oleh
: Muhammad Ahsan Thamrin
Ass.wr.wb.yth .pa.muhammad Ahsan..sy mau bertanya.seandainya pengembalian kerugian negara bukan dari bendahara yg melakukan perbuatan melawan hukum.tetapi pihak lain apakah pengembalian itu diakui.oleh auditor yg lagi melakukan audi pkkn..mohon.penjelasan pa tks
BalasHapus