TES PCR, VAKSIN NUSANTARA DAN PENANGANAN COVID DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN.
Sudah hampir
2 (dua) tahun kita hidup bersama dengan Coronavirus Disease 2019 (covid 19). Banyak hak yang sudah kita korbankan dalam hidup kita
mulai dari kematian, kehancuran ekonomi, spiritualitas, sosial dan budaya. Virus covid yang awalnya berasal dari Wuhan
Cina ini dengan sangat cepat menyebar ke seluruh Negara di dunia sehingga
kemudian WHO pada tanggal 11 maret 2020 menyatakan bahwa wabah covid 19 sebagai pendemi global.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya WHO
juga pernah ingin menjadikan virus flu burung, flu babi dan SARS sebagai
pendemi global dengan menggunakan kriteria epidemiologi bahwa sudah terjadi
penyebaran dari manusia ke manusia (human to
human transmission), namun ditentang dan berhasil digagalkan oleh
mantan Kesehatan Siti Fadilah Supari. Siti fadilah yang
didukung oleh 128 negara di PBB berhasil mematahkan argumentasi WHO
secara ilmu pengetahuan (scientific) dengan pendekatan virologi yang hasilnya pernyataan pandemic
dicabut WHO pada 2006. (https://health.grid.id/read/352110350/2-pandemi-flu-sukses-disingkirkan-indonesia-bagaimana-dengan-covid-19-siti-fadilah-supari-menangis-di-balik-jeruji-besi).
Namun saat ini tidak ada lagi orang yang seperti Siti Fadilah atau mungkin karena WHO tidak ingin kegagalannya terkait virus burung dan flu babi terulang kembali.
Covid 19 adalah salah satu jenis dari
corona virus. Menurut WHO, virus corona adalah virus yang menyebabkan infeksi
pernafasan pada manusia atau hewan. Wujudnya bisa macam-macam mulai dari flu
biasa hingga MERS, SARS dan COVID 19.
(http://www.emro.who.int/health-topics/corona-virus/questions-and-answers.html)
covid mirip dengan influenza, hanya
penyebabnya yang beda. Kalo covid disebabkan virus Corona, sementara
influenza disebabkan oleh virus influenza. (https://www.cdc.gov/flu/symptoms/flu-vs-covid19.htm)
Bahwa covid juga mirip dengan SARS 1, dengan gejala mirip influenza musiman plus pneumonia. (https://www.wodarg.com/2020/03/02/to-stop-the-corona-panic-isolate-alarmists/).
Lantas apa gejalanya kalo seseorang
terkena covid?
Bisa demam,
batuk kering dan kelelahan. Biasanya gejalanya sangat ringan, sehingga 80%
orang yang terkena bisa sembuh dari penyakit tersebut tanpa harus dirawat di
RS. Hanya
1 dari 5 orang yang terjangkit si Kopit menjadi sakit parah dan mengalami
kesulitan untuk bernafas. (https://www.who.int/indonesia/news/detail/08-03-2020-knowing-the-risk-for-covid-19).
Jadi covid 19 pada dasarnya virus
corona baru yang gejalanya mirip dengan
virus influenza.
kalau covid 19 mirip dengan virus influenza plus pneumonia atau penyakit gangguan pernafasan lain yang gejalanya bisa demam, batuk kering dan kelelahan lalu apa dasar menentukan seseorang terjangkit virus covid 19?
Selama ini untuk menentukan diagnosis Covid-19 yaitu
dengan menggunakan alat yang disebut Rapid Test, Swab, dan PCR. Rapid
Test, Swab, dan PCR digunakan untuk mengetahui adanya Covid-19 dalam
tubuh seseorang melalui pemeriksaan (sampel) virus yang diambil dari hidung
atau mulut seseorang.
Dibanding rapid test, pemeriksaan RT-PCR dianggap lebih akurat namun hasilnya memakan waktu lebih lama. Kalau rapid test hasil yang didapat adalah reaktif atau non reaktif sementara swab-PCR hasil yang didapat adalah positif dan negatif (https://primayahospital.com/covid-19/apa-itu-rapid-test/)
Jadi kalau berdasarkan hasil rapid test seseorang dinyatakan reaktif atau berdasarkan hasil swab-PCR seseorang dinyatakan positif maka orang tersebut dinyatakan covid dan sesuai protokol kesehatan orang tersebut harus di Isolasi di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah. Inilah yang dilakukan sampai saat ini dan dijadikan dasar statistik jumlah penderita covid.
APAKAH ALAT BERUPA RAPID TEST, SWAB, DAN PCR INI AKURAT ?
Bagaimana dengan orang yang sebenarnya
hanya flu, influenza , pneumonia, selesma dan atau penyakit lain yang gejalanya
mirip dengan covid namun karena setelah diperiksa dengan Rapid Test, Swab, dan PCR hasilnya positif?
Apakah benar seseorang yang dinyatakan positif covid berdasarkan alat
pendeteksi tesebut benar terinveksi covid atau tidak ? Apakah alat tes covid ini valid atau hasilnya bisa berubah-ubah.
Otoritas
kesehatan di Guangdong China melaporkan, “Orang-orang yang telah sepenuhnya
pulih dari C19 dan diuji negatif, setelah beberapa hari diuji, hasilnya positif
kembali.” Jadi mirip roller-coaster hasilnya. (https://www.zmescience.com/science/a-startling-number-of-coronavirus-patients-get-reinfected)
Di
Singapura, juga nggak kalah anehnya. Test dilakukan hampir setiap
harinya pada 18 pasien, dan mayoritas beralih dari positif menjadi negatif dan
menjadi positif lagi. Hasil yang berubah-ubah kek bunglon
tersebut bisa terjadi 5 kali pada satu pasien. (https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762688)
Saking
kesalnya, Sin Hang Lee dari Milford Molecular Diagnostics Laboratory akhirnya
mengirimkan surat ke tim tanggap darurat C19 milik WHO dan juga kepada Dr.
Anthony Fauci (22/3), yang isinya: “Kit uji RT-qPCR yang digunakan untuk mendeteksi C19 dalam specimen
manusia, menghasilkan banyak positif palsu dan tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi beberapa kasus positif nyata.” (https://childrenshealthdefense.org/wp-content/uploads/04-30-20-Letter-to-WHO-and-Dr.-Fauci.pdf)
Bahkan Wang Chen selaku presiden Akademi Ilmu Kedokteran Tiongkok, mengakui bahwa test PCR memiliki tingkat akurasi yang hanya 30-50% saja. Jadi nggak ada standar emasnya. (https://www.scmp.com/tech/science-esearch/article/3049858/race-diagnose-treat-coronavirus-patients-constrained-shortage).
Seorang Ahli imunologi kondang asal Swiss, Prof. Beda Stadler menyatakan, “Jika kita menggunakan test Corona PCR, yang terdeteksi itu bukan virus, melainkan sebagian kecil genom virus yang sudah hancur. Hasil akan terus positif, selama fragmen virus masih ada, meskipun virus-nya sudah tidak lagi ada. Ini dimungkinkan karena alat PCR terus menggandakan fragmen virus tersebut.” (https://www.weltwoche.ch/ausgaben/2020-24/inland/warum-alle-falsch-lagen-die-weltwoche-ausgabe-24-2020.html)
Dr. Pascal Sacre juga menyatakan hal yang kurleb sama. “Test PCR hanya mendeteksi partikel virus, urutan genetik, tapi bukan virus secara keseluruhan,” ungkapnya. (https://www.globalresearch.ca/covid-19-closer-to-the-truth-tests-and-immunity/5720160)
Hasil RT PCR
positif nggak identik dengan seseorang berpenyakit Kopit. Bahkan spesialis PCR
mengatakan bahwa hasil test harus disandingkan deengan catatan klinis pasien
yang diuji untuk menentukan kehandalannya. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)
Jadi Kalau alat tes covid tidak bisa
dijadikan pegangan, cacat ilmiah dan tidak akurat, lalu kenapa tes PCR
dijadikan rujukan oleh WHO ?
Hal ini
menimbulkan pertanyaan kalau ternyata hasil positif tes PCR tidak bisa
memastikan bahwa benar seseorang terinfeksi covid maka apakah yang sebenarnya
terjadi, apakah ini pandemik covid atau hanya pandemik yang dipicu oleh tes
PCR.
Karena kalau alatnya (misalnya dibuat) high sensitive maka tentunya semakin
banyak yang diperiksa maka semakin banyak yang positif dan ini akan terus
menerus menjadi statistik bahwa covid terus merajalela.
Bahwa standar kedokteran selama ini
yang kita ketahui adalah untuk memastikan
bahwa seseorang menderita penyakit adalah harus melalui diagnosa akurat yaitu kombinasi dengan observasi klinis, riwayat pasien dan informasi
epidemiologis.” (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Inti kedokteran adalah diagnosa.
Diagnosa sangat penting karena menyangkut obat yang akan diberikan. Salah obat
pasien bisa keracunan obat. Jadi pernyataan dr Louis bahwa banyaknya pasien
covid yang meninggal di rumah sakit boleh jadi karena interaksi obat yang
mengakibatkan keracunan obat bisa jadi menemukan pembenarannya.
LALU TEST
YANG BAIK ITU YANG SEPERTI APA?
Yang
bisa menyajikan sensitivitas, spesifisitas dan standar emas.
Inilah alat test yang paling akurat.
Dalam
suatu wawancara dengan TV ABC, spesialis penyakit menular asal Australia – Dr.
Sanjaya Senanayake – mengatakan, “Jika kita mengambil sampel bakteri dalam
darah, kita punya tes kultur darah sebagai standar emasnya. Dan kita bisa
membandingkan hasilnya dengan menggunakan test kultur darah manapun. Tetapi untuk
C19, kita tidak memiliki standar emas untuk test-nya.” (https://off-guardian.org/2020/06/27/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless/)
Dr.
Senanayake nggak sendirian.
Jessica
C. Watson dari Universitas Bristol juga mengamini hal tersebut. Dalam
makalahnya yang berjudul “Interpreting a COVID-19 Test Result” yang
diterbitkan oleh The British Medical Journal menyatakan: kurangnya
standar emas yang jelas untuk menguji C19. (https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1808/rapid-responses)
Bahkan badan kesehatan sekelas CDC dan FDA yang kesohor di Amrik sana juga menyatakan, “Deteksi viral load (mungkin) tidak mengindikasikan keberadaan virus penyebab penyakit seperi C19. Tes ini (PCR) tidak dapat mengesampingkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri/virus lain.” Dengan kata lain, alat test-nya nggak akurat. (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Lalu bagaimana
dengan pendapat dokter-dokter Indonesia, atau IDI mengenai alat tes covid ini?
Saat saya mencoba browsing di internet mengenai tanggapan dokter-dokter Indonesia mengenai penggunaan alat rapid tes, Swab dan PCR untuk mendeteksi covid ini, Saya tidak atau belum menemukan adanya pendapat seperti yang disampaikan oleh pakar dan lembaga dari luar negeri yang mengkritisi penggunaan alat tes covid tersebut .
Memang harus kita akui bahwa budaya
meneliti dikalangan dokter-dokter Indonesia masih sangat minim, boleh jadi
karena anggaran penelitian yang sangat rendah yang membuat mereka malas
meneliti atau tidak punya cukup dana untuk melakukan penelitian sehingga produk
jurnal-jurnal ilmiah kedokteran yang dbuat oleh peneliti Indonesia masih sangat
sedikit.
Atau boleh jadi rendahnya penghargaan
terhadap penelitian di Indonesia yang membuat dokter-dokter kita malas untuk
meneliti.
Dr Terawan bisa jadi contohnya. Saat
menemukan vaksin nusantara untuk digunakan sebagai vaksin covid 19 malah cenderung
ditentang oleh Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5533441/kelebihan-vaksin-nusantara-vs-kekurangan-hingga-bpom-tak-mau-kasih-restu)
Padahal vaksin nusantara ini sudah
diakui oleh banyak peneliti luar negeri bahwa covid 19 (kemungkinan) akan
berhenti dengan dendritic
cell vaccine immunotherapy atau Vaksin Nusantara ini. (https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210527180617-37-248843/klaim-terawan-seluruh-dunia-membicarakan-vaksin-nusantara)
Lalu mengapa vaksin nusantara tidak
kita pakai untuk rakyat Indonesia padahal Vaksin nusantara diklaim lebih aman karena juga aman dipakai
untuk orang yang menderita komorbid. Mengapa kita justru lebih memilih memakai
vaksin luar negeri seperti vaksin sinovac, Vaksin PT Bio Farma, Vaksin Novavax,
Vaksin Oxford-AstraZeneca, Vaksin Pfizer-BioNTech, Vaksin Moderna dan Vaksin
Sinopharm. (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5541029/ada-7-jenis-vaksin-covid-yang-digunakan-di-indonesia-sudah-tersertifikasi-who)
Mengapa kita tidak bisa meniru Negara-negara lain yang membuat vaksin sendiri untuk rakyatnya seperti Cina dengan sinovac, Rusia dengan sputnik, Iran dengan coviran barekat, kuba dengan Soberana 2 dan Adbala.
MENANGANI COVID
DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN
Bahwa Penanganan covid seharusnya dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan menanamkan optimisme kepada rakyat bahwa covid bisa diatasi kalau kita cerdas menghadapinya. Solusi seharusnya dicari bukan menambah kebingungan dalam menghadapi virus dengan narasi ketakutan dari media penyebar teror.
Fokus pendekatan dalam penanganan covid sudah saatnya kita rubah misalnya karena yang berisiko besar kematian karena covid adalah yang membawa komorbid (penyakit bawaan) maka seharusnya prioritas yang di rawat dan isolasi di rumah sakit adalah pasien covid yang membawa komorbid ini sementara yang lain cukup isolasi mandiri di rumah sehingga rumah sakit tidak terlalu terbebani dan tenaga kesehatan kita lebih maksimal dalam melayani pasien.
Jangan lagi kita melakukan kebodohan dimana yang sehat diburu-buru untuk diswab, wajib swab diadakan dimana-mana di kantor, pasar, Mal, dan komplek perumahan yang hanya akan menambah jumlah statistik positif covid sementara orang yang sakit dan butuh penanganan segera di rumah sakit dipaksa untuk menunggu hanya karena prosedur tes covid terlebih dahulu. Jangan sampai kejadian di Mataram NTB terulang kembali dimana seorang Ibu melahirkan dan bayinya meninggal hanya karena tidak ditangani segera di rumah sakit karena harus melakukan prosedur rapid tes terlebih dahulu, padahal saat itu ibu ini ketubannya sudah pecah. (https://www.tribunnews.com/regional/2020/08/21/ibu-melahirkan-di-ntb-tak-segera-ditangani-karena-alasan-rapid-test-sang-bayi-akhirnya-meninggal)
Pemerintah seharusnya membentuk Tim
yang beranggotan dokter, ahli virus dan epidemologis YANG BERINTEGRITAS untuk meneliti virus ini dan kemudian
menjelaskannya kepada publik.
Dijelaskan bagaimana karakteristik
virus ini, bagaimana penularannya, cara menghindari penularannya, sehingga
rakyat memperoleh edukasi yang benar, rakyat menjadi cerdas sehingga dapat bertindak
dengan benar dalam menghadapi virus. Jangan sampai informasi yang sampai kepada
rakyat lebih didominasi oleh pemberitaan media-media yang hanya menyebarkan narasi
ketakutan kepada rakyat akan virus ini Sehingga rakyat tidak mengerti seperti
apa virus covid ini sebenarnya. Karena ketakutan dan ketidaktahuan akhirnya mereka mencoba berbagai
macam-macam obat, ramuan, jamu, dari informasi media sosial yang belum tentu
jelas kebenarannya.
Saat ini pendemi covid sudah berlangsung hampir 2 (dua) tahun dan rakyat sudah seperti tahanan yang tidak bebas melakukan apa-apa. Mereka ingin bebas. Lockdown (PPKM) yang berkepanjangan tentu akan membuat ekonomi semakin hancur. Banyak rakyat yang semakin sulit makan karena tidak punya uang lagi.
Disaat seperti ini Pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dalam penanganan covid. Banyak orang pintar dan jenius di negeri ini tapi mereka tidak dilirik dan didengar suara dan pendapatnya sebagai bahan pengambilan kebijakan. Pemerintah seharusnya menugaskan pakar yang menguasai substansi ilmiah dan substansi kesehatan sekaligus dalam kebijakan penanggulangan virus. Kita bisa memanggil lagi Prof. Dr. Siti Fadilah Supari yang telah berpengalaman dalam mengatasi masalah pandemi virus dan atau Prof Nidom yang ahli virus itu untuk dimintai pendapatnya dalam mengatasi covid ini.
Kebijakan yang salah tanpa pendekatan ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan menambah masalah baru dan penderitaan rakyat yang semakin berkepanjangan karena sebagai rakyat hanya bisa tunduk dengan apapun aturan yang diterapkan pemerintah.
Kebijakan yang salah tanpa pendekatan
ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan membuat Pemulihan
ekonomi semakin lama, pengangguran terus bertambah, rakyat semakin susah dan
kelaparan bisa terjadi dimana-mana. Umat beragama juga sudah rindu beribadah
dengan normal, Mereka ingin naik Haji dan Umroh, Mereka tidak ingin lagi ada
kejadian dimana untuk menemui dan bersilaturahmi dengan keluarganya harus
dilarang. Anak-anak sudah rindu sekolah dan bermain. Lalu apakah kita peduli
dengan mereka ?
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar