APAKAH COVID 19 SEBUAH
PENDEMI ATAU BUKAN
Baru-baru ini masyarakat Indonesia dibuat
heboh dengan pernyataan kontroversial seorang dokter yang bernama dr.Louis Owein
yang menyatakan bahwa pendemi covid sebenarnya tidak ada. Pernyataan tersebut
disampaikan disebuah stasiun TV dalam acara Hotman Paris Show tanggal 8 Juli
2021 lalu.
Menurut dr. Louis penyebab banyaknya orang yang meninggal karena covid adalah di rumah sakit karena disamping pasien covid menderita penyakit bawaan (komorbid) juga karena efek interaksi obat lantaran pihak rumah sakit kerap memberikan 6 atau lebih resep obat ke pasien covid sehingga memantik keracunan obat.
Pernyataan dr Louis mengenai penyebab banyaknya pasien covid meninggal di rumah sakit adalah karena interaksi obat yang mengakibatkan keracunan obat adalah masalah yang sangat serius. Kalo ini benar berarti terjadi malpraktek dan implikasinya berat baik dari sisi hukum maupun kesehatan karena ini menyangkut nyawa manusia. Oleh karena itu Kementerian kesehatan dan Ikatan dokter Indonesia (IDI) seharusnya segera menanggapi pernyataan yang disampaikan dr. Louis tersebut supaya tidak menjadi bola liar sehingga masyarakat bertanya-tanya ada apa ini sebenarnya.
Namun alih-alih adanya respon ilmiah dari pernyataan dr. Louis tersebut, media sosial kita justru dibanjiri dengan pernyataan serangan dari berbagai pihak terhadap pribadi dr. Louis yang disebutkan tidak punya keanggotaan IDI, mengidap sakit jiwa, halusinasi dan sebagainya.
Perbedaan pendapat terkait apakah virus covid ini adalah sebuah pendemi atau bukan adalah hal yang wajar di dalam Negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Yang penting adalah setiap perbedaan pendapat itu seyogyanya didasari oleh data dan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Pikiran-pikiran kritis sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Ketika tidak ada lagi pikiran-pikiran kritis karena mengikuti saja opini yang disampaikan oleh media-media mainstream maka rakyat hanya akan seperti domba yang nurut dibawa kemana aja.
Penulis percaya virus ada di sekitar kita dan
bisa menginfeksi setiap saat kepada orang yang imunitas tubuhnya melemah.
Corona virus seperti flu, influenza dan sebagainya sudah ada sejak ribuan tahun
yang lalu.
Apakah covid 19 sebuah pendemi atau bukan sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi karena organisasi kesehatan dunia (WHO) secara resmi sudah menyatakan wabah covid 19 sebagai pendemi global pada tanggal 11 maret 2020. (https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/12/083129823/who-resmi-sebut-virus-corona-covid-19-sebagai-pandemi-global)
Tulisan ini mencoba mengambil pandangan dari beberapa ahli virus, dokter dan analis ahli geopolitik di media sosial yang pandangannya berbeda dengan yang kita percayai selama ini terkait covid.
Tulisan ini saya mulai
dengan pertanyaan
Bagaimana membuat semua orang takut ? jawabannya adalah propaganda. Caranya ? pakai media mainstream.
Nah sekarang, apakah virus corona atau covid
19 ini mematikan ? Anda jangan jawab dulu.
Kita mulai dari definisi utama apa itu virus
corona ?
Menurut WHO, virus corona adalah virus yang
menyebabkan infeksi pernafasan pada manusia atau hewan. Wujudnya bisa
macam-macam mulai dari flu biasa hingga MERS, SARS dan COVID 19.
(http://www.emro.who.int/health-topics/corona-virus/questions-and-answers.html)
Lantas apa gejalanya kalo seseorang terkena si Kopit?
Bisa demam, batuk kering dan
kelelahan. Biasanya gejalanya sangat ringan, sehingga 80% orang yang terkena
bisa sembuh dari penyakit tersebut tanpa harus dirawat di RS. Hanya 1 dari 5 orang yang
terjangkit si Kopit menjadi sakit parah dan mengalami kesulitan untuk bernafas.
(https://www.who.int/indonesia/news/detail/08-03-2020-knowing-the-risk-for-covid-19)
itu definisi yang mengeluarkan WHO.
Definisi tersebut matching dengan definisi
yang dikeluarkan Dr. Wolfgang Wodarg selaku pakar epidemiologist, bahwa si
Kopit mirip dengan SARS 1, dengan gejala mirip influenza musiman plus
pneumonia. (https://www.wodarg.com/2020/03/02/to-stop-the-corona-panic-isolate-alarmists/)
Definisi lainnya yang senada adalah yang dikeluarkan oleh Anthony Fauci (Kepala NIAID), H. Clifford Lane dan Robert Redfield (Kepala CDC), bahwa si Kopit lebih mirip dengan influenza musiman yang parah dengan tingkat kematian sekitar 0,1%. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMe2002387)
Bahkan CDC memastikan bahwa si Kopit mirip dengan influenza,
hanya penyebabnya yang beda. Kalo si Kopit disebabkan virus Corona, sementara influenza
disebabkan oleh virus influenza. (https://www.cdc.gov/flu/symptoms/flu-vs-covid19.htm)
Wajar disebut mirip, karena memang sulit membedakan antara keduanya.
Tapi apa yang kemudian dikatakan oleh media mainstream terkait
covid 19 ini?
Ketika virus covid 19 pertama kali diberitakan muncul di Wuhan Cina dengan penampakan manusia-manusia yang mati bergelimpangan di jalan-jalan, semua media mainstream sontak beramai-ramai memberitakan virus covid ini. Dalam waktu cepat virus covid ini menyebar ke seluruh Negara di dunia.
Diberitakan bahwa virus ini sangat berbahaya dan mematikan dan untuk menghindari terinveksi dari virus maka seluruh pemerintahan dunia kemudian mengikuti arahan WHO untuk menerapkan protokol kesehatan mulai dari social distancing (jaga jarak), memakai masker, menghindari kerumunan, rajin cuci tangan dan sebagainya..
Bahwa untuk memutus mata rantai penyebaran
covid 19 maka WHO juga menyerukan untuk melakukan lockdown (tidak keluar rumah).
Ada 193 negara di dunia yang kemudian
menerapkan lockdown. Apa akibatnya ? kehancuran ekonomi semua Negara. Ekonomi
jatuh karena produksi tidak jalan, pabrik-pabrik banyak yang tutup dan
mengurangi produksinya sehingga akibatnya PHK terjadi di mana-mana yang membuat
pengangguran terus bertambah. Tingkat pengangguran
yang semakin tinggi memicu kejahatan terus meningkat dan akibat PHK tingkat
perceraian juga semakin banyak karena masalah ekonomi yang memicu stress.
Banyak Negara di dunia termasuk Indonesia kemudian terpaksa harus berutang kepada IMF dan bank dunia untuk mengatasi krisis ekonomi.
Media-media mainstream setiap hari dari awal munculnya covid sampai hari ini terus memberitakan covid 19 mulai dari berita kematian, terus bertambahnya jumlah penderita positif covid, adanya mutasi baru dari virus covid, dan seterusnya yang membuat orang semakin paranoid, takut dan cemas.
Ketakutan bisa membuat orang tidak bisa menggunakan akal sehatnya lagi. Ada yang rela mandi kotoran sapi karena percaya kotoran sapi dapat melindungi diri dari covid. Ketakutanlah yang membuat orang akhirnya melakukan apapun yang diperintahkan.
Lalu berapa sebenarnya yang mati karena covid
ini ?
Berdasarkan data di hampir seluruh Negara di dunia, tingkat
kematian karena covid hanya 2% dari yang terinveksi. Dan orang yang meninggal
tersebut memiliki penyakit penyerta/kormobid seperti jantung, diabetes, kanker,
gagal ginjal hingga paru-paru
(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.06.11.20128926v1)
Tapi karena SOP rumah sakit menyatakan kalau
hasil tes sebelumnya menyatakan dia positif covid maka kematiannya harus
disebutkan karena covid. Ini sama saja dengan misalnya, orang mati karena kanker, dan
setelah di test Kopit orang tersebut dinyatakan positif. Maka orang tersebut
akan otomatis dinyatakan mati akibat si Kopit.
Padahal, definisi penyebab kematian kematian
yang dirilis WHO sudah sangat jelas, “Penyebab kematian adalah penyakit atau
cedera yang memulai rangkaian peristiwa yang mengarah langsung pada kematian
seseorang.”
Inilah yang membuat jumlah kematian karena
covid terus bertambah. Sementara kematian karena jantung, TBC, kanker, diabetes
tidak pernah terdengar lagi.
Dan
bahkan dibanyak negara, pihak berwenang telah memanipulasi (menggelembungkan)
angka kematian akibat si Kopit. Coba anda
lihat disini
(https://www.bitchute.com/video/9GWhQ4v9H53E/), disini (https://www.youtube.com/watch?v=g5f_6ltv7oI) dan juga disini (https://www.youtube.com/watch?v=3Fic2dlKlhw)
Di dunia ini banyak penyebab angka kematian
yang tinggi, bisa karena kekurangan air bersih, kelaparan, kekurangan gizi,
diare, jantung, TBC, kanker yang tingkatnya kematinya mencapai jutaan pertahun.
Lalu bagaimana dengan covid ini ? sampai 2 tahun covid melanda dunia, tingkat kematiannya masih dibawah dengan penyakit-penyakit yang disebutkan diatas.
Jadi covid sebenarnya tidak mematikan karena
faktanya jauh lebih banyak yang sembuh
setelah terinveksi covid daripada yang mati. Dan 2-3% yang mati karena covid
adalah karena membawa penyakit penyerta (komorbid).
Jadi kalau covid tidak mematikan mengapa penangannya serba ekstra ordinary (luar biasa) yang menghabiskan hampir seluruh anggaran Negara dan mengapa media-media TV kita menghabiskan hampir 2/3 dari seluruh siarannya hanya untuk terus menerus memberitakan si covid ini.
Kalau ingin menenangkan rakyat seharusnya
pemberitaannya berfocus pada tingkat kesembuhan yang jauh lebih tinggi yang
mencapai 98% daripada tingkat kematian yang hanya 2% dan itupun umumnya karena
membawa komorbit/penyakit penyerta. Tapi kenapa narasi media terus menyebarkan
wabah ketakutan sehingga rakyat kehilangan kemampuan berpikir karena arus
propaganda ketakutan yang terus disebarkan
Kalau ini wabah penyakit (pendemi) maka tentunya orang-orang yang tinggal di rumah dan atau di jalan-jalan akan mati bergelimpangan tapi faktanya orang-orang yang tinggal di rumah baik-baik saja.
COVID DAN ALAT
PENDETEKSI COVID
Yang
menyatakan orang terkena atau positif covid adalah alat apakah itu antigen,swab
dan PCR. Padahal untuk menyatakan
seorang terinveksi virus atau sakit
lainnya tentunya harus melalui diagnosa akurat yaitu kombinasi dengan observasi
klinis, riwayat pasien dan informasi epidemiologis.” (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Jadi kalau seseorang setelah dites dengan alat apakah itu antigen,swab atau PCR dan dinyatakan positif maka dinyatakan sakit covid dan harus isolasi di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah sampai kemudian setelah dites lagi dan dinyatakan negatif maka baru bisa dikatakan sembuh.
Apakah alat tes pendeteksi covid ini bisa dipercaya ?
otoritas kesehatan di
Guangdong China melaporkan, “Orang-orang
yang telah sepenuhnya pulih dari C19 dan diuji negatif, setelah beberapa hari
diuji, hasilnya positif kembali.” Jadi mirip roller-coaster
hasilnya. (https://www.zmescience.com/science/a-startling-number-of-coronavirus-patients-get-reinfected)
Di
Singapura, juga nggak kalah anehnya. Test dilakukan hampir setiap harinya pada 18
pasien, dan mayoritas beralih dari positif menjadi negatif dan menjadi positif
lagi. Hasil yang berubah-ubah kek bunglon tersebut bisa terjadi
5 kali pada satu pasien. (https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762688)
Saking
kesalnya, Sin Hang Lee dari Milford
Molecular Diagnostics Laboratory akhirnya mengirimkan
surat ke tim tanggap darurat C19 milik WHO dan juga kepada Dr. Anthony Fauci
(22/3), yang isinya: “Kit
uji RT-qPCR yang digunakan untuk mendeteksi C19 dalam specimen manusia,
menghasilkan banyak positif palsu dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi
beberapa kasus positif nyata.” (https://childrenshealthdefense.org/wp-content/uploads/04-30-20-Letter-to-WHO-and-Dr.-Fauci.pdf)
Bahkan Wang Chen selaku
presiden Akademi Ilmu Kedokteran Tiongkok, mengakui bahwa test PCR memiliki tingkat
akurasi yang hanya 30-50% saja. Jadi nggak ada standar emasnya.
(https://www.scmp.com/tech/science-esearch/article/3049858/race-diagnose-treat-coronavirus-patients-constrained-shortage).
Jadi kalau alat pendeteksi covidnya (dibuat) high sensitive maka tentunya semakin banyak yang di swab atau PCR maka jumlah penderita positif covid akan terus bertambah. Apa yang anda rasakan ketika badan anda sehat namun saat dites swab anda dinyatakan positif? karena apa yang anda pikirkan itu yang terjadi maka Pikiran sakit justru membuat anda menjadi sakit. Itu kata psikolog.
Namun demikian tes swab atau PCR terus dilakukan. Dan semakin banyak yang diswab semakin banyak yang positif. Dan bertambahnya jumlah pasien yang positif covid ini akan terus diberitakan oleh media-media mainstream setiap harinya.
BAGAIMANA DENGAN OTG
ATAU ORANG TANPA GEJALA ATAU ORANG SEHAT TAPI SAAT DITES COVID HASILNYA POSITIF.
Penelitian yang dilakukan di China tentang infektivitas pembawa
virus SARS-CoV-2 tanpa gejala (asimptomatik) yang diterbitkan pada Mei 2020
silam, memaparkan
455 subyek yang diduga OTG alias asimptomatik C19 (karena memiliki gejala si
Kopit), nyatanya begitu dicek lab, tak satupun dari 455 orang tersebut yang
terinfeksi si Kopit. Kalo nggak terinfeksi, lantas
bagaimana bisa menularkan pada orang lain? (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7219423/)
Bahkan pejabat WHO Dr. Maria Kerkhove sempat menyatakan, “Dari data yang kami
miliki, tampaknya masih sangat jarang bahwa orang tanpa gejala benar-benar
menularkan infeksi virus ke individu sekunder. Itu sangat jarang.”
(https://www.cnbc.com/2020/06/08/asymptomatic-coronavirus-patients-arent-spreading-new-infections-who-says.html)
VIRUS COVID DAN SOCIAL
DISTANCING
Social distancing atau menjaga jarak
dimaksudkan untuk menghindari penularan virus covid. Bagaimana penularan covid
yang sebenarnya dan mengapa kita harus
berjarak. Lalu berapa jarak yang aman itu? Apakah 1 meter, 1,5 meter atau 2
meter, tidak ada pembahasan ilmiah
terkait hal ini.
Masalah menjaga jarak ini perlu dibahas khusus
karena dampaknya yang luar biasa karena menyasar tempat-tempat ibadah. Umat
Islam yang diharuskan shalat dengan
rapat tapi karena mengikuti protocol kesehatan ini terpaksa shalat dengan cara berjarak. Aturan ini
adalah melanggar ritual ibadah yang dalam istilah fiqh disebut “bidah”
Sebuah
penelitian yang dirilis oleh The
Lancet menyatakan, “Nggak
ada bukti ilmiah yang mendukung penetapan jarak sosial yang dapat menghalangi
laju infeksi virus.” (https://www.telegraph.co.uk/news/2020/06/15/no-scientific-evidence-support-disastrous-two-metre-rule/)
Bahkan
penasihat pemerintah Inggris yang bernama Robert Dingwall mengamini hal
tersebut, “Aturan jarak 2 meter itu, datangnya dari mana? Tidak ada dasar
ilmiah untuk penetapan jarak 2 meter, karena tidak ada literatur ilmiah yang
mendukungnya.” (https://metro.co.uk/2020/04/25/two-metre-social-distancing-rule-conjured-nowhere-professor-claims-12609448/)
Lalu
bagaimana sebenarnya penularan virus antar manusia.
Menurut Ahli virus dr. Indro Cahyono, virus menular kepada manusia lewat sentuhan dengan material-material yang sudah terjangkit virus, atau kontak langsung melalui cairan (droplek) dari orang yang terinveksi virus. Jadi pada saat anda bersin dan cairan dari hidung atau mulut anda kemudian mengenai orang lain dan masuk kedalam tubuhnya maka anda bisa menularkan virus. Itulah makanya bagi yang sakit dianjurkan memakai masker agar ketika bersin tidak menyebarkan droplek ke orang lain. Jadi tidak ada hubungan antara menjaga jarak dengan penularan virus.
Kalau menjaga jarak tidak ada pengaruhnya secara signifikan dengan penularan infeksi covid lalu mengapa tata cara ibadah harus dirubah. Anda punya hati untuk memahami ini. Ketika mata sudah tidak melihat, telinga tidak mendengar dan hati tidak memahami lagi kebenaran, maka sama saja dengan …….. bahkan lebih sesat lagi (QS Al A’raf ayat 179)
VIRUS dan BISNIS
VAKSIN
Kita tidak bisa menutup mata bahwa dunia
kesehatan tidak lepas dari bisnis. pendemi covid ini juga adalah bisnis
besar-besaran. Bisnis obat, vitamin dan bisnis vaksin.
Siapa yang memproduksi obat di seluruh dunia, siapa yang membuat dan memproduksi vaksin. Mereka semua adalah globalis dunia yang berdiri di belakang Negara-negara maju. Globalis dunia tidak punya nasionalisme, tidak punya batas-batas Negara. Bisnis dan investasi mereka ada di seluruh dunia. Agama mereka adalah uang dan penguasaan ekonomi untuk mengendalikan dunia. Kaki mereka ada dimana-mana dan mencengkram hampir semua pemerintahan dunia. Mereka punya kaki tangan di setiap Negara yang menjalankan agenda mereka. Kepentingan mereka semata-mata adalah bisnis yang saling menguntungkan.
Ketika ada virus disitu ada vaksin. Vaksin adalah bisnis yang sangat besar keuntungannya. Agar rakyat semua mau di vaksin maka narasi ketakutan harus semakin massif diciptakan supaya orang mau divaksinasi dengan sukarela.
MANUSIA PADA DASARNYA TIDAK MEMERLUKAN VAKSIN
KARENA VAKSIN BISA BERBAHAYA ?
Menurut ilmu imunologi manusia sebenarnya sudah memiliki antibody didalam tubuh untuk melawan virus yang mana ketika virus menginveksi tubuh maka antibody akan bekerja untuk menetralisir virus tersebut. Jadi manusia yang terinveksi virus akan sembuh dengan sendirinya.
“Kita sama sekali nggak
butuh vaksin untuk menghentikan pandemi, karena vaksin yang belum teruji jika
dipakai pada manusia justru akan berakibat fatal,” begitu
kurleb ungkap Dr. Mike Yeadon, selaku mantan wakil presiden Pfizer dan
Kepala Ilmuwan untuj Penyakit Alergi dan Pernafasan. (https://www.lifesitenews.com/news/former-pfizer-vp-no-need-for-vaccines-the-pandemic-is-effectively-over)
Jadi kalau vaksin bisa berbahaya mengapa semua rakyat dipaksa harus vaksinasi. Bukankah anti body tubuh sudah cukup untuk melawan virus ?
BAGAIMANA AWALNYA
NARASI VIRUS COVID INI DIBANGUN
Narasi yang berkembang oleh media-media mainstream terkait virus COVID ini pada awalnya diberitakan bahwa virus ini adalah virus yang lepas dari laboratorium yang bocor namun kemudian berubah lagi bahwa virus ini adalah virus alami yang tiba-tiba muncul di muka bumi ini ?
Apakah ini virus alami atau senjata biologi
yang sengaja dimodifikasi dari laboratorium yang kemudian bocor atau sengaja
disebarkan ? Gampang jawabnya,
kalau covid senjata biologi tentunya yang
terinveksi tidak lama akan mati karena senjata biologi dibuat tentunya untuk
mematikan, tapi faktanya jauh lebih banyak yang sembuh dengan sendirinya.
Jadi narasi bahwa covid adalah senjata biologi adalah tidak benar.
Kemudian dikatakan bahwa virus ini adalah corona virus jenis baru yang mematikan Namun faktanya ternyata virus covid tidak mematikan. Dia hampir sama dengan virus flu atau influenza yang tingkat kematiannya sangat kecil.
Lalu mengapa virus covid 19 yang tidak
mematikan ini membawa dampak yang luar biasa di seluruh dunia sehingga
mengakibatkan kehancuran Negara di segala bidang kehidupan terutama ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat ?
Jawabannya adalah Karena adanya kebijakan WHO
yang menyatakan bahwa wabah covid 19 sebagai pendemi global pada tanggal 11
maret 2020. Kebijakan WHO yang sama
pernah ditentang dan berhasil digagalkan oleh mantan Kesehatan Siti Fadilah
Supari pada saat WHO ingin menjadikan virus flu burung, flu babi dan SARS
sebagai pendemi global.
Pada saat WHO yang ingin menjadikan virus flu
burung dan flu babi sebagai pandemic global dengan menggunakan kriteria
epidemiologi bahwa sudah terjadi penyebaran dari manusia ke manusia (human to human transmission), oleh Siti fadilah ditentang dan
kemudian membuat resolusi dan protes ke PBB yang didukung oleh 128 negara.
Siti fadilah berhasil mematahkan
argumentasi WHO secara ilmu pengetahuan (scientific) dengan pendekatan virologi yang hasilnya pernyataan pandemic dicabut
WHO pada 2006. (https://health.grid.id/read/352110350/2-pandemi-flu-sukses-disingkirkan-indonesia-bagaimana-dengan-covid-19-siti-fadilah-supari-menangis-di-balik-jeruji-besi).
Siti Fadilah paham bahwa yang membiayai WHO adalah globalis yang berada dibelakang Negara-negara adidaya dan WHO banyak terhubung dengan perusahaan farmasi besar dunia dan bisnis vaksin.
APAKAH ADA NEGARA DI
DUNIA INI YANG TIDAK TERIMBAS DENGAN COVID INI?
Ada yaitu Negara-negara yang tidak mengikuti
apa maunya (permainan) WHO.
Mereka
lebih pilih akal sehat daripada mengikuti arahan WHO. Swedia dan Belarus adalah
contohnya.
(https://newseu.cgtn.com/news/2020-05-10/Belarus-defies-lockdown-thousands-parade-to-mark-end-of-World-War-II-Qmqd0bkH9m/index.html)
Mereka
pakai cara mereka sendiri guna menolak lockdown.
Dan hasilnya cukup sukses, meskipun media mainstream dan para antek
elite global mati-matian mengejeknya. Setidaknya ekonomi mereka tetap utuh. (https://www.wsj.com/articles/sweden-has-avoided-a-coronavirus-lockdown-its-economy-is-hurting-anyway-11588870062)
Kemudian
Korea utara. Di korea utara, karena medianya tidak terlalu memberitakan covid
seperti Negara tetangganya maka angka covid di sana sangat rendah bahkan
laporan terakhir yang dirilis WHO, bahwa tidak ditemukan satu kasus pun covid
di Korut (https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/whe/coronavirus19/sear-weekly-reports/searo-weekly-situation-report-17-2021-.pdf?sfvrsn=bb212906_5)
Memangnya
Korut nggak pernah melakukan test Kopit? Nggak juga. Mereka terakhir melakukan
test massal pada minggu terakhir di bulan April 2021, yang menyasar 751 orang.
Hasilnya?
Sebanyak 139 orang dinyatakan punya gejala mirip Kopit. Namun setelah ditelusuri, nyatanya mereka hanya menderita penyakit flu biasa, dan itu nggak membahayakan.
Negara-negara tersebut diatas berani berbeda dengan WHO dalam penanganan covid karena mereka mandiri. Tapi Negara-negara yang tidak mau tunduk patuh pada arahan WHO maka siap-siaplah untuk mendapat bencana. Apa itu ? ekonominya akan dihancurkan. Hanya dengan permainan dollar maka mata uang Negara tersebut akan jatuh dan utang mereka akan berkali-kali lipat. Krisis moneter 1998 telah mengajarkan hal ini.
UNTUNG MASIH ADA YANG
BERANI BERSUARA JADI MARI DENGARKAN SUARA MEREKA.
Berbicara untuk menyampaikan kebenaran memang
sulit apalagi kalau yang disampaikan itu melawan arus opini yang disebarkan
media mainstream. Orang umumnya cari aman karena takut dianggap berbeda dan di
bully.
Untungnya ada sebagian ahli virus dan dokter
yang berani bersuara baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Namun anehnya dokter-dokter dan ahli virus yang berbagi pandangan dan pendapat mereka tentang pendemi covid melalui media-media sosial seperti FB, You tube, IG, twitter tiba-tiba saja akun mereka semuanya dihapus oleh pemilik media. Ada apa ini sebenarnya? Mengapa pandangan mereka yang berbeda terkait pendemi covid ini harus dihilangkan dari media? Mengapa kebenaran harus dimonopoli? Apakah ada kebohongan yang memang harus ditutupi.
Apakah orang nggak punya hak untuk mengemukakan pendapat? Bukankah demokrasi mengajarkan untuk menghargai perbedaan pendapat. Tapi mengapa orang-orang yang berbeda pendapat dengan arus media mainstream dicap dengan labeling konspirasi.
Dokter-dokter dan ahli virus yang berbeda
pandangan terkait covid ini adalah bukan ahli kesehatan kaleng-kaleng tapi
tokoh-tokoh kesehatan yang diakui kepakarannya yang tentunya apa yang mereka
sampaikan ada argumentasi ilmiahnya.
Tapi oleh media-media mainstream menyebut
mereka-mereka yang berbeda pandangan terkait covid ini sebagai pembawa “teori
konspirasi”.
Peter Koenig
selaku analis geopolitik kawakan pernah
menyatakan bahwa julukan
teori konspirasi adalah taktik yang digunakan elite global dalam membungkam
orang/sekelompok orang yang berencana mengungkapkan skenario yang tengah dimainkan
oleh mereka (https://www.21cir.com/2020/08/conspiracy-theory-what-is-it/)
Jadi sekarang
anda jangan buru-buru mencap orang yang berbicara berbeda dengan arus
mainstream sebagai pembawa teori konspirasi ya. Tapi lihatlah apa yang
disampaikannya.
PENANGANAN COVID
SEHARUSNYA DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN
Penanganan covid seharusnya dengan pendekatan
ilmu pengetahuan. Solusi seharusnya dicari bukan menambah kebingungan dalam
menghadapi virus. Pemerintah seharusnya membentuk Tim yang beranggotan dokter, ahli
virus dan epidemologis yang berintegritas untuk meneliti virus ini dan kemudian
menjelaskannya kepada publik.
Dijelaskan bagaimana karakteristik virus ini, bagaimana penularannya, cara menghindari penularannya, sehingga rakyat memperoleh edukasi yang benar, rakyat menjadi cerdas sehingga dapat bertindak dengan benar dalam menghadapi virus. Jangan sampai informasi yang sampai kepada rakyat lebih didominasi oleh pemberitaan media-media yang hanya menyebarkan terror ketakutan kepada rakyat akan virus ini.
Saat mantan Menteri kesehatan dokter terawan mengatakan bahwa virus covid ini tidak mematikan dan akan sembuh dengan sendirinya, dan yang memakai masker hanya bagi yang sakit, tiba-tiba beliau tidak pernah muncul atau dimunculkan lagi oleh media. Penanganan virus covid yang seharusnya ditangani kementerian Kesehatan kemudian diambil alih oleh Satgas Covid 19 yang dipimpin oleh Jenderal TNI.
Padahal kalau kita mau lebih jeli melihat perkataan dr Terawan tentunya beliau tidak asal bicara. Dr terawan adalah dokter yang diakui keahliannya dan sosok militer yang tentunya tahu pasti ada apa sebenarnya terjadi dengan munculnya covid dan skenario yang hendak dijalankan oleh (globalis) ini.
Saat ini pendemi covid sudah berlangsung
hampir 2 (dua) tahun dan rakyat sudah seperti tahanan yang tidak bebas
melakukan apa-apa. Mereka ingin bebas.
Lockdown yang berkepanjangan tentu akan membuat ekonomi semakin hancur. Orang semakin berjarak dengan sesamanya, kita kehilangan kemanusiaan kita., pengangguran terus bertambah. Banyak rakyat yang semakin sulit makan karena tidak punya uang lagi. Anak-anak tidak lagi sekolah tapi hanya belajar dari rumah (home learning) dengan menggunakan internet. Apa yang didapat anak-anak dari sekolah di rumah sedangkan dunia anak adalah dunia interaksi dan bermain. Mereka adalah asset masa depan bangsa. Tempat-tempat ibadah semakin sepi karena manusia takut (ditakuti) dengan covid.
Disaat seperti ini Pemerintah seharusnya
mencari solusi terbaik dalam penanganan covid. Banyak orang pintar dan jenius
di negeri ini tapi mereka tidak dilirik dan didengar suara dan pendapatnya. Pemerintah
seharusnya menugaskan pakar yang berintegritas dan menguasai substansi ilmiah
dan substansi kesehatan sekaligus dalam kebijakan penanggulangan virus.
Kebijakan yang salah tanpa pendekatan ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan menambah masalah baru dan penderitaan rakyat yang semakin berkepanjangan. Kami sebagai rakyat hanya bisa tunduk dengan apapun aturan yang diterapkan pemerintah.
(Tulisan ini disusun dari omongan
dan tulisan terkait covid 19 dari ahli virus, dokter dan analis ahli geopolitik
yang diambil dari media sosial (you tube, FB dan internet)
Komentar
Posting Komentar