PENANGANAN COVID 19
SEHARUSNYA DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN
Bahwa pada
awalnya semua pemerintah di dunia termasuk Indonesia tidak mempercayai bahwa
virus covid yang tiba-tiba muncul di wuhan dengan penampakan orang-orang yang
mati bergelimpangan di jalan-jalan kelak akan menjadi pendemi.
Namun karena mulai banyaknya laporan dari otoritas kesehatan masing-masing negara yang diberitakan terus menerus oleh media-media mainstream nasional dan Internasional bahwa covid 19 telah masuk ke seluruh Negara di dunia dimana telah ditemukan adanya orang yang sakit karena mengalami gejala yang mirip dengan covid, maka kemudian WHO pada tanggal 11 maret 2020 menyatakan bahwa wabah covid 19 ini sebagai pendemi global. (https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/11/104000165/hari-ini-dalam-sejarah--who-tetapkan-covid-19-sebagai-pandemi-global?)
Padahal Kebijakan WHO yang sama terkait pandemi ini pernah ditentang dan berhasil digagalkan oleh mantan Kesehatan Siti Fadilah Supari pada saat WHO ingin menjadikan virus flu burung, flu babi dan SARS sebagai pendemi global.
Apa implikasi dari Covid menjadi
pandemik global ? semua Negara di dunia harus mengikuti protokol kesehatan
dalam penanganan covid dari WHO.
Apa diantara protokol kesehatan itu ? mulai dari social distancing atau menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, rajin cuci tangan, lockdown, dan melakukan tes covid kepada orang-orang dengan menggunakan alat berupa rapid tes antigen, Swab dan PCR .
Semua langkah protokol kesehatan yang
diberikan oleh WHO sudah dilaksanakan oleh hampir seluruh Negara di dunia lalu mengapa
langkah-langkah yang disarankan oleh WHO tersebut sampai hari ini belum dapat
mencegah dan menghentikan penyebaran virus corona ini.
Hal ini menjadi tanda tanya yaitu pertama apakah tindakan seperti lockdown, aturan wajib pakai masker,
penerapan social distancing, dan juga karantina, sebenarnya untuk
melindungi penduduk dunia dari Corona atau justru tindakan tersebut sengaja
dibuat agar orang panik sehingga mereka menjadi percaya tanpa bertanya-tanya?
Atau ini hanya akal-akalan industri farmasi dunia dalam menjual produk mereka
(dari mulai test PCR, antigen, antibody, obat-obatan, vitamin hingga kemudian puncaknya adalah vaksin)
kepada warga dunia?
Lalu apakah virus ini
sebenarnya baru akan berakhir (diakhiri) setelah seluruh penduduk dunia telah
divaksinasi.
Kedua, apakah yang sebenarnya terjadi, apakah ini pandemik covid atau hanya pandemik yang dipicu oleh tes PCR.
Bahwa Perlu diingat pada saat WHO
ingin menjadikan virus flu burung dan flu babi sebagai pandemik global dengan
menggunakan kriteria epidemiologi bahwa sudah terjadi penyebaran dari manusia
ke manusia (human to human transmission), oleh
Siti fadilah ditentang dan kemudian membuat resolusi dan protes ke PBB
yang didukung oleh 128 negara. Siti fadilah
berhasil mematahkan argumentasi WHO secara ilmu pengetahuan (scientific)
dengan pendekatan virologi yang hasilnya pernyataan pandemic dicabut WHO pada
2006. (https://health.grid.id/read/352110350/2-pandemi-flu-sukses-disingkirkan-indonesia-bagaimana-dengan-covid-19-siti-fadilah-supari-menangis-di-balik-jeruji-besi).
Namun saat ini tidak ada lagi orang yang seperti Siti Fadilah atau mungkin karena WHO tidak ingin kegagalannya terkait virus burung dan flu babi terulang kembali.
Siti Fadilah selalu mengatakan dimana ada virus disitu ada bisnis vaksin. Siti Fadilah paham bahwa yang membiayai WHO adalah globalis yang berada dibelakang Negara-negara adidaya dan WHO banyak terhubung dengan perusahaan farmasi besar dunia yang tentunya dimiliki oleh globalis ini.
APAKAH ADA NEGARA YANG SUDAH BERHASIL
MENGATASI COVID 19
Bahwa
setelah hampir 2 (dua) tahun dunia dinyatakan Pandemi global. Ada beberapa
Negara yang berhasil mengatasi Covid ini yaitu diantaranya Cina, Belarusia,
Swedia dan Korea Utara.
Pertanyaannya,
Mengapa Cina hari ini berhasil mengendalikan virus
covid 19 sampai ke titik terendah padahal awal muasal covid adalah berasal dari
Wuhan Cina dan sekarang sudah membuka diri dimana sebagian besar rakyatnya
sudah melepas masker mereka ? Dan mengapa sebagian Negara-negara di dunia ini
seperti Belarusia, swedia dan korea utara tidak terlalu terimbas ekonominya dengan
masalah covid 19 ini ?
Pertama, Negara-negara tersebut dapat lepas dari covid
karena media-media di Negara tersebut dalam pemberitaannya terkait covid hanya secara
proporsional dan tidak terus menerus memberitakan covid secara tendesius
seperti jumlah orang meninggal setiap
hari, jumlah penderita yang terus bertambah dan narasi ketakutan lainnya tapi
lebih menanamkan optimisme sehingga rakyatnya lebih tenang dan cerdas dalam
menyikapi wabah covid.
Kedua, mereka paham
bahwa bahwa tingkat kematian karena covid
yang cukup rendah yaitu 0,02-0,4%
(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.05.13.20101253v3). Sehingga
mereka tidak panik dan memperlakukan covid sebagai penyakit biasa yang
penangananya seperti penyakit yang lain.
Bahwa covid sebenarnya tidak mematikan
karena faktanya jauh lebih banyak yang sembuh setelah terinveksi covid daripada
yang mati. Lalu berapa sebenarnya yang mati karena covid ini?
Berdasarkan
data di hampir seluruh Negara di dunia, tingkat kematian karena covid hanya 2%
dari yang terinveksi. Dan orang yang meninggal tersebut memiliki penyakit
penyerta/kormobid seperti jantung, diabetes, kanker, gagal ginjal hingga
paru-paru
(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.06.11.20128926v1).
Di dunia ini banyak penyebab angka
kematian yang tinggi, bisa karena kekurangan air bersih, kelaparan, kekurangan
gizi, diare, jantung, TBC, kanker yang tingkatnya kematianya mencapai jutaan
pertahun dan lebih tinggi dari Covid.
Kedua, karena
mereka lebih fokus untuk mempelajari virusnya dan tidak menjadikan alat tes
covid semata sebagai penentu bahwa seseorang adalah terinveksi virus covid.
Hasilnya
?
Angka
covid di sana sangat rendah bahkan laporan terakhir yang dirilis WHO, bahwa
tidak ditemukan satu kasus pun covid di Korut (https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/whe/coronavirus19/sear-weekly-reports/searo-weekly-situation-report-17-2021-.pdf?sfvrsn=bb212906_5)
Memangnya
Korut nggak pernah melakukan test Kopit? Nggak juga. Mereka
terakhir melakukan test massal pada minggu terakhir di bulan April 2021, yang
menyasar 751 orang.
Hasilnya?
Sebanyak 139 orang dinyatakan punya gejala mirip Kopit. Namun
setelah ditelusuri, nyatanya mereka hanya menderita penyakit flu biasa, dan itu
nggak membahayakan.
Jadi hal ini menimbulkan tanda tanya bahwa apakah hasil positif pada tes PCR berarti orang tersebut positif terinfeksi covid 19 atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan infeksi Covid ?
Mereka tidak terburu-buru menyatakan
orang terinveksi covid adalah hanya berdasarkan alat pendeteksi covid seperti
rapid tes antigen, swab dan RT-PCR.
Bagaimana dengan orang yang sebenarnya
hanya flu, influenza , pneumonia, selesma dan atau penyakit lain yang gejalanya
mirip dengan covid namun karena setelah diperiksa hasilnya positif? Apakah
benar seseorang yang dinyatakan positif covid berdasarkan alat pendeteksi
tesebut benar terinveksi covid atau tidak ? Apakah
alat tes covid ini valid atau hasilnya
bisa berubah-ubah.
Otoritas
kesehatan di Guangdong China melaporkan, “Orang-orang yang telah sepenuhnya
pulih dari C19 dan diuji negatif, setelah beberapa hari diuji, hasilnya positif
kembali.” Jadi mirip roller-coaster hasilnya. (https://www.zmescience.com/science/a-startling-number-of-coronavirus-patients-get-reinfected)
Di
Singapura, juga nggak kalah anehnya. Test dilakukan hampir setiap
harinya pada 18 pasien, dan mayoritas beralih dari positif menjadi negatif dan
menjadi positif lagi. Hasil yang berubah-ubah kek bunglon
tersebut bisa terjadi 5 kali pada satu pasien. (https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762688)
Saking
kesalnya, Sin Hang Lee dari Milford Molecular Diagnostics Laboratory akhirnya
mengirimkan surat ke tim tanggap darurat C19 milik WHO dan juga kepada Dr.
Anthony Fauci (22/3), yang isinya: “Kit uji RT-qPCR yang digunakan untuk mendeteksi C19 dalam specimen
manusia, menghasilkan banyak positif palsu dan tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi beberapa kasus positif nyata.” (https://childrenshealthdefense.org/wp-content/uploads/04-30-20-Letter-to-WHO-and-Dr.-Fauci.pdf)
Bahkan Wang Chen selaku presiden Akademi Ilmu Kedokteran Tiongkok, mengakui bahwa test PCR memiliki tingkat akurasi yang hanya 30-50% saja. Jadi nggak ada standar emasnya. (https://www.scmp.com/tech/science-esearch/article/3049858/race-diagnose-treat-coronavirus-patients-constrained-shortage).
Seorang Ahli imunologi kondang asal Swiss, Prof. Beda Stadler menyatakan, “Jika kita menggunakan test Corona PCR, yang terdeteksi itu bukan virus, melainkan sebagian kecil genom virus yang sudah hancur. Hasil akan terus positif, selama fragmen virus masih ada, meskipun virus-nya sudah tidak lagi ada. Ini dimungkinkan karena alat PCR terus menggandakan fragmen virus tersebut.” (https://www.weltwoche.ch/ausgaben/2020-24/inland/warum-alle-falsch-lagen-die-weltwoche-ausgabe-24-2020.html)
Dr. Pascal Sacre juga menyatakan hal yang kurleb sama. “Test PCR hanya mendeteksi partikel virus, urutan genetik, tapi bukan virus secara keseluruhan,” ungkapnya. (https://www.globalresearch.ca/covid-19-closer-to-the-truth-tests-and-immunity/5720160)
Hasil RT PCR positif nggak identik dengan seseorang berpenyakit Kopit.
Bahkan spesialis PCR mengatakan bahwa hasil test harus disandingkan deengan
catatan klinis pasien yang diuji untuk menentukan kehandalannya. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)
LALU TEST YANG BAIK ITU YANG SEPERTI APA?
Yang bisa menyajikan sensitivitas, spesifisitas dan standar emas.
Inilah alat test yang paling akurat.
Dalam suatu wawancara dengan TV ABC, spesialis penyakit menular
asal Australia – Dr. Sanjaya Senanayake – mengatakan, “Jika kita mengambil
sampel bakteri dalam darah, kita punya tes kultur darah sebagai standar emasnya.
Dan kita bisa membandingkan hasilnya dengan menggunakan test kultur darah
manapun. Tetapi untuk C19, kita tidak memiliki standar emas untuk test-nya.”
(https://off-guardian.org/2020/06/27/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless/)
Dr. Senanayake nggak sendirian.
Jessica C. Watson dari Universitas Bristol juga mengamini hal
tersebut. Dalam makalahnya yang berjudul “Interpreting a COVID-19 Test
Result” yang diterbitkan oleh The British Medical Journal menyatakan: kurangnya
standar emas yang jelas untuk menguji C19. (https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1808/rapid-responses)
Bahkan badan kesehatan sekelas CDC dan FDA yang kesohor di Amrik sana juga menyatakan, “Deteksi viral load (mungkin) tidak mengindikasikan keberadaan virus penyebab penyakit seperi C19. Tes ini (PCR) tidak dapat mengesampingkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri/virus lain.” Dengan kata lain, alat test-nya nggak akurat. (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Jadi Kalau alatnya cacat
ilmiah dan tidak akurat dan tidak bisa dijadikan pegangan lalu kenapa tes PCR dijadikan rujukan oleh WHO ? Siapa yang mengusulkannya
kepada WHO untuk dipakai secara global?
Hal ini menimbulkan pertanyaan lagi karena kalau ternyata hasil positif tes PCR tidak bisa memastikan bahwa benar seseorang terinfeksi covid maka apakah yang sebenarnya terjadi, apakah ini pandemik covid atau hanya pandemik yang dipicu oleh tes PCR. Karena kalau alatnya (misalnya dibuat) high sensitive maka tentunya semakin banyak yang diperiksa maka semakin banyak yang positif dan ini akan terus menerus menjadi statistik bahwa covid terus merajalela.
Bahwa kita tidak akan pernah bebas dari covid selama alat tes covid itu terus dijadikan standar seseorang terinveksi covid karena VIRUS covid memiliki karakteristik gejala atau penyakit mirip VIRUS flu dan sejenisnya. selama ada flu maka tentunya covid akan terus ada.
Bahwa standar kedokteran selama ini yang
kita ketahui adalah untuk memastikan
bahwa seseorang menderita penyakit adalah harus melalui diagnosa akurat yaitu kombinasi dengan observasi klinis, riwayat pasien dan informasi
epidemiologis.” (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Inti kedokteran adalah diagnosa. Diagnosa sangat penting karena menyangkut obat yang akan diberikan. Salah obat pasien bisa keracunan obat. Ini yang dimaksud dr Louis bahwa banyaknya pasien covid yang meninggal di rumah sakit boleh jadi karena interaksi obat yang mengakibatkan keracunan obat bisa jadi menemukan pembenarannya.
APA PELAJARAN
YANG BISA DIAMBIL
Jadi pelajaran yang bisa diambil dari Negara-negara yang berhasil mengatasi covid ini adalah bahwa Penanganan covid seharusnya dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan menanamkan optimisme kepada rakyat bahwa covid bisa diatasi kalau kita cerdas menghadapinya. Solusi seharusnya dicari bukan menambah kebingungan dalam menghadapi virus dengan narasi ketakutan dari media penyebar teror.
Fokus pendekatan dalam penanganan covid sudah saatnya kita rubah misalnya karena yang berisiko besar kematian karena covid adalah yang membawa komorbid (penyakit bawaan) maka seharusnya prioritas yang di rawat dan isolasi di rumah sakit adalah pasien covid yang membawa komorbid ini sementara yang lain cukup isolasi mandiri di rumah.
Jangan lagi kita melakukan kebodohan dimana yang sehat diburu-buru untuk diswab yang hanya akan menambah jumlah statistik positif covid sementara orang yang sakit dan butuh penanganan segera di rumah sakit dipaksa untuk menunggu hanya karena prosedur tes covid terlebih dahulu. Jangan sampai kejadian di Mataram NTB terulang kembali dimana seorang Ibu melahirkan dan bayinya meninggal hanya karena tidak ditangani segera di rumah sakit karena harus melakukan prosedur rapid tes terlebih dahulu, padahal saat itu ibu ini ketubannya sudah pecah. (https://www.tribunnews.com/regional/2020/08/21/ibu-melahirkan-di-ntb-tak-segera-ditangani-karena-alasan-rapid-test-sang-bayi-akhirnya-meninggal)
MENANGANI COVID
DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN
Pemerintah seharusnya membentuk Tim
yang beranggotan dokter, ahli virus dan epidemologis YANG BERINTEGRITAS untuk meneliti virus ini dan kemudian
menjelaskannya kepada publik.
Dijelaskan bagaimana karakteristik virus ini, bagaimana penularannya, cara menghindari penularannya, sehingga rakyat memperoleh edukasi yang benar, rakyat menjadi cerdas sehingga dapat bertindak dengan benar dalam menghadapi virus. Jangan sampai informasi yang sampai kepada rakyat lebih didominasi oleh pemberitaan media-media yang hanya menyebarkan narasi ketakutan kepada rakyat akan virus ini.
Saat ini pendemi covid sudah
berlangsung hampir 2 (dua) tahun dan rakyat sudah seperti tahanan yang tidak
bebas melakukan apa-apa. Mereka ingin bebas.
Lockdown (PPKM) yang berkepanjangan
tentu akan membuat ekonomi semakin hancur. Banyak rakyat yang semakin sulit
makan karena tidak punya uang lagi.
Disaat seperti ini Pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dalam penanganan covid. Banyak orang pintar dan jenius di negeri ini tapi mereka tidak dilirik dan didengar suara dan pendapatnya sebagai bahan pengambilan kebijakan. Pemerintah seharusnya menugaskan pakar yang menguasai substansi ilmiah dan substansi kesehatan sekaligus dalam kebijakan penanggulangan virus. Kita bisa memanggil lagi Prof. Dr. Siti Fadilah Supari yang telah berpengalaman dalam mengatasi masalah pandemi virus dan atau Prof Nidom yang ahli virus itu untuk dimintai pendapatnya dalam mengatasi covid ini.
Kebijakan yang salah tanpa pendekatan ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan menambah masalah baru dan penderitaan rakyat yang semakin berkepanjangan karena sebagai rakyat hanya bisa tunduk dengan apapun aturan yang diterapkan pemerintah.
Kebijakan yang salah tanpa pendekatan
ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan membuat Pemulihan
ekonomi semakin lama, pengangguran terus bertambah, rakyat semakin susah dan
kelaparan bisa terjadi dimana-mana. Umat beragama juga sudah rindu beribadah
dengan normal, Mereka ingin naik Haji dan Umroh, Mereka tidak ingin lagi ada
kejadian dimana untuk menemui dan bersilaturahmi dengan keluarganya harus
dilarang. Anak-anak sudah rindu sekolah dan bermain.
Apakah kita peduli dengan mereka ?
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar