Langsung ke konten utama

PENANGANAN COVID 19 SEHARUSNYA DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN

 


PENANGANAN COVID 19 SEHARUSNYA DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN

Bahwa pada awalnya semua pemerintah di dunia termasuk Indonesia tidak mempercayai bahwa virus covid yang tiba-tiba muncul di wuhan dengan penampakan orang-orang yang mati bergelimpangan di jalan-jalan kelak akan menjadi pendemi.

(https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200214190848-255-474827/mengulik-alasan-virus-corona-belum-masuk-ke-indonesia) 

Namun karena mulai banyaknya laporan dari otoritas kesehatan masing-masing negara yang diberitakan terus menerus oleh media-media mainstream nasional dan Internasional bahwa covid 19 telah masuk ke seluruh Negara di dunia dimana telah ditemukan adanya orang yang sakit karena mengalami gejala yang mirip dengan covid, maka kemudian WHO pada tanggal 11 maret 2020 menyatakan bahwa wabah covid 19 ini sebagai pendemi global. (https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/11/104000165/hari-ini-dalam-sejarah--who-tetapkan-covid-19-sebagai-pandemi-global?) 

Padahal Kebijakan WHO yang sama terkait pandemi  ini  pernah ditentang dan berhasil digagalkan oleh mantan Kesehatan Siti Fadilah Supari pada saat WHO ingin menjadikan virus flu burung, flu babi dan SARS sebagai pendemi global. 

Apa implikasi dari Covid menjadi pandemik global ? semua Negara di dunia harus mengikuti protokol kesehatan dalam penanganan covid dari WHO.

Apa diantara protokol kesehatan itu ? mulai dari social distancing atau menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, rajin cuci tangan, lockdown, dan melakukan tes covid kepada orang-orang dengan menggunakan alat berupa rapid tes antigen, Swab dan  PCR . 

Semua langkah protokol kesehatan yang diberikan oleh WHO sudah dilaksanakan oleh hampir seluruh Negara di dunia lalu mengapa langkah-langkah yang disarankan oleh WHO tersebut sampai hari ini belum dapat mencegah dan menghentikan penyebaran virus corona ini.

Hal ini menjadi tanda tanya yaitu pertama apakah tindakan seperti lockdown, aturan wajib pakai masker, penerapan social distancing, dan juga karantina, sebenarnya untuk melindungi penduduk dunia dari Corona atau justru tindakan tersebut sengaja dibuat agar orang panik sehingga mereka menjadi percaya tanpa bertanya-tanya? Atau ini hanya akal-akalan industri farmasi dunia dalam menjual produk mereka (dari mulai test PCR, antigen, antibody, obat-obatan, vitamin  hingga kemudian puncaknya adalah vaksin) kepada warga dunia?

Lalu apakah virus ini sebenarnya baru akan berakhir (diakhiri) setelah seluruh penduduk dunia telah divaksinasi.

Kedua, apakah yang sebenarnya terjadi, apakah ini pandemik covid atau hanya pandemik yang dipicu oleh tes PCR. 

Bahwa Perlu diingat pada saat WHO ingin menjadikan virus flu burung dan flu babi sebagai pandemik global dengan menggunakan kriteria epidemiologi bahwa sudah terjadi penyebaran dari manusia ke manusia (human to human transmission), oleh Siti fadilah ditentang dan kemudian membuat resolusi dan protes ke PBB yang didukung oleh 128 negara. Siti fadilah  berhasil mematahkan argumentasi WHO secara ilmu pengetahuan (scientific) dengan pendekatan virologi yang hasilnya pernyataan pandemic dicabut WHO pada 2006. (https://health.grid.id/read/352110350/2-pandemi-flu-sukses-disingkirkan-indonesia-bagaimana-dengan-covid-19-siti-fadilah-supari-menangis-di-balik-jeruji-besi).

Namun saat ini tidak ada lagi orang yang seperti Siti Fadilah atau mungkin karena WHO tidak ingin kegagalannya terkait virus burung dan flu babi terulang kembali. 

Siti Fadilah selalu mengatakan dimana ada virus disitu ada bisnis vaksin. Siti Fadilah paham bahwa yang membiayai WHO adalah globalis yang berada dibelakang Negara-negara adidaya dan WHO banyak terhubung dengan perusahaan farmasi besar dunia yang tentunya dimiliki oleh globalis ini. 

APAKAH ADA NEGARA YANG SUDAH BERHASIL MENGATASI COVID 19

Bahwa setelah hampir 2 (dua) tahun dunia dinyatakan Pandemi global. Ada beberapa Negara yang berhasil mengatasi Covid ini yaitu diantaranya Cina, Belarusia, Swedia dan Korea Utara.

Pertanyaannya,

Mengapa  Cina hari ini berhasil mengendalikan virus covid 19 sampai ke titik terendah padahal awal muasal covid adalah berasal dari Wuhan Cina dan sekarang sudah membuka diri dimana sebagian besar rakyatnya sudah melepas masker mereka ? Dan mengapa sebagian Negara-negara di dunia ini seperti Belarusia, swedia dan korea utara tidak terlalu terimbas ekonominya dengan masalah covid 19 ini ?

Pertama,  Negara-negara tersebut dapat lepas dari covid karena media-media di Negara tersebut dalam pemberitaannya terkait covid hanya secara proporsional dan tidak terus menerus memberitakan covid secara tendesius seperti  jumlah orang meninggal setiap hari, jumlah penderita yang terus bertambah dan narasi ketakutan lainnya tapi lebih menanamkan optimisme sehingga rakyatnya lebih tenang dan cerdas dalam menyikapi wabah covid.

 

Kedua, mereka paham bahwa bahwa tingkat kematian karena covid  yang cukup rendah yaitu 0,02-0,4%  (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.05.13.20101253v3). Sehingga mereka tidak panik dan memperlakukan covid sebagai penyakit biasa yang penangananya seperti penyakit yang lain.

 

Bahwa covid sebenarnya tidak mematikan karena faktanya jauh lebih banyak yang sembuh setelah terinveksi covid daripada yang mati. Lalu berapa sebenarnya yang mati karena covid ini?

Berdasarkan data di hampir seluruh Negara di dunia, tingkat kematian karena covid hanya 2% dari yang terinveksi. Dan orang yang meninggal tersebut memiliki penyakit penyerta/kormobid seperti jantung, diabetes, kanker, gagal ginjal hingga paru-paru

(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.06.11.20128926v1).

 

Di dunia ini banyak penyebab angka kematian yang tinggi, bisa karena kekurangan air bersih, kelaparan, kekurangan gizi, diare, jantung, TBC, kanker yang tingkatnya kematianya mencapai jutaan pertahun dan lebih tinggi dari Covid.

 

Kedua, karena mereka lebih fokus untuk mempelajari virusnya dan tidak menjadikan alat tes covid semata sebagai penentu bahwa seseorang adalah terinveksi virus covid.

Hasilnya ?

Angka covid di sana sangat rendah bahkan laporan terakhir yang dirilis WHO, bahwa tidak ditemukan satu kasus pun covid di Korut (https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/whe/coronavirus19/sear-weekly-reports/searo-weekly-situation-report-17-2021-.pdf?sfvrsn=bb212906_5)

Memangnya Korut nggak pernah melakukan test Kopit? Nggak juga. Mereka terakhir melakukan test massal pada minggu terakhir di bulan April 2021, yang menyasar 751 orang.

Hasilnya?

Sebanyak 139 orang dinyatakan punya gejala mirip Kopit. Namun setelah ditelusuri, nyatanya mereka hanya menderita penyakit flu biasa, dan itu nggak membahayakan.

 

Jadi hal ini menimbulkan tanda tanya bahwa apakah hasil positif pada tes PCR berarti orang tersebut positif terinfeksi covid 19 atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan infeksi Covid ? 

Mereka tidak terburu-buru menyatakan orang terinveksi covid adalah hanya berdasarkan alat pendeteksi covid seperti rapid tes antigen, swab dan RT-PCR.

Bagaimana dengan orang yang sebenarnya hanya flu, influenza , pneumonia, selesma dan atau penyakit lain yang gejalanya mirip dengan covid namun karena setelah diperiksa hasilnya positif? Apakah benar seseorang yang dinyatakan positif covid berdasarkan alat pendeteksi tesebut benar terinveksi covid atau tidak ? Apakah alat tes covid  ini valid atau hasilnya bisa berubah-ubah.

 

Otoritas kesehatan di Guangdong China melaporkan, “Orang-orang yang telah sepenuhnya pulih dari C19 dan diuji negatif, setelah beberapa hari diuji, hasilnya positif kembali.” Jadi mirip roller-coaster hasilnya. (https://www.zmescience.com/science/a-startling-number-of-coronavirus-patients-get-reinfected)

 

Di Singapura, juga nggak kalah anehnya. Test dilakukan hampir setiap harinya pada 18 pasien, dan mayoritas beralih dari positif menjadi negatif dan menjadi positif lagi. Hasil yang berubah-ubah kek bunglon tersebut bisa terjadi 5 kali pada satu pasien. (https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2762688)

Saking kesalnya, Sin Hang Lee dari Milford Molecular Diagnostics Laboratory akhirnya mengirimkan surat ke tim tanggap darurat C19 milik WHO dan juga kepada Dr. Anthony Fauci (22/3), yang isinya: “Kit uji RT-qPCR yang digunakan untuk mendeteksi C19 dalam specimen manusia, menghasilkan banyak positif palsu dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi beberapa kasus positif nyata.” (https://childrenshealthdefense.org/wp-content/uploads/04-30-20-Letter-to-WHO-and-Dr.-Fauci.pdf)

 

Bahkan Wang Chen selaku presiden Akademi Ilmu Kedokteran Tiongkok, mengakui bahwa test PCR memiliki tingkat akurasi yang hanya 30-50% saja. Jadi nggak ada standar emasnya. (https://www.scmp.com/tech/science-esearch/article/3049858/race-diagnose-treat-coronavirus-patients-constrained-shortage). 

Seorang Ahli imunologi kondang asal Swiss, Prof. Beda Stadler menyatakan, “Jika kita menggunakan test Corona PCR, yang terdeteksi itu bukan virus, melainkan sebagian kecil genom virus yang sudah hancur. Hasil akan terus positif, selama fragmen virus masih ada, meskipun virus-nya sudah tidak lagi ada. Ini dimungkinkan karena alat PCR terus menggandakan fragmen virus tersebut.” (https://www.weltwoche.ch/ausgaben/2020-24/inland/warum-alle-falsch-lagen-die-weltwoche-ausgabe-24-2020.html) 

Dr. Pascal Sacre juga menyatakan hal yang kurleb sama. “Test PCR hanya mendeteksi partikel virus, urutan genetik, tapi bukan virus secara keseluruhan,” ungkapnya. (https://www.globalresearch.ca/covid-19-closer-to-the-truth-tests-and-immunity/5720160) 

Hasil RT PCR positif nggak identik dengan seseorang berpenyakit Kopit. Bahkan spesialis PCR mengatakan bahwa hasil test harus disandingkan deengan catatan klinis pasien yang diuji untuk menentukan kehandalannya. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)

 

LALU TEST YANG BAIK ITU YANG SEPERTI APA?

Yang bisa menyajikan sensitivitas, spesifisitas dan standar emas. Inilah alat test yang paling akurat.

Dalam suatu wawancara dengan TV ABC, spesialis penyakit menular asal Australia – Dr. Sanjaya Senanayake – mengatakan, “Jika kita mengambil sampel bakteri dalam darah, kita punya tes kultur darah sebagai standar emasnya. Dan kita bisa membandingkan hasilnya dengan menggunakan test kultur darah manapun. Tetapi untuk C19, kita tidak memiliki standar emas untuk test-nya.” (https://off-guardian.org/2020/06/27/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless/)

Dr. Senanayake nggak sendirian.

Jessica C. Watson dari Universitas Bristol juga mengamini hal tersebut. Dalam makalahnya yang berjudul “Interpreting a COVID-19 Test Result” yang diterbitkan oleh The British Medical Journal menyatakan: kurangnya standar emas yang jelas untuk menguji C19. (https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1808/rapid-responses)

 

Bahkan badan kesehatan sekelas CDC dan FDA yang kesohor di Amrik sana juga menyatakan, “Deteksi viral load (mungkin) tidak mengindikasikan keberadaan virus penyebab penyakit seperi C19. Tes ini (PCR) tidak dapat mengesampingkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri/virus lain.” Dengan kata lain, alat test-nya nggak akurat. (https://www.fda.gov/media/134922/download) 

Jadi Kalau alatnya cacat ilmiah dan tidak akurat dan tidak bisa dijadikan pegangan lalu kenapa tes PCR dijadikan  rujukan oleh WHO ? Siapa yang mengusulkannya kepada WHO untuk dipakai secara global?

 

Hal ini menimbulkan pertanyaan lagi karena  kalau ternyata hasil positif tes PCR tidak bisa memastikan bahwa benar seseorang terinfeksi covid maka apakah yang sebenarnya terjadi, apakah ini pandemik covid atau hanya pandemik yang dipicu oleh tes PCR. Karena kalau alatnya (misalnya dibuat) high sensitive maka tentunya semakin banyak yang diperiksa maka semakin banyak yang positif dan ini akan terus menerus menjadi statistik bahwa covid terus merajalela. 

Bahwa kita tidak akan pernah bebas dari covid selama alat tes covid itu terus dijadikan standar seseorang terinveksi covid karena VIRUS covid memiliki karakteristik gejala atau penyakit mirip VIRUS flu dan sejenisnya. selama ada flu maka tentunya covid akan terus ada. 

Bahwa standar kedokteran selama ini yang kita ketahui adalah untuk memastikan  bahwa seseorang menderita penyakit adalah harus melalui diagnosa  akurat yaitu kombinasi dengan observasi klinis, riwayat pasien dan informasi epidemiologis.” (https://www.fda.gov/media/134922/download)

Inti kedokteran adalah diagnosa. Diagnosa sangat penting karena menyangkut obat yang akan diberikan. Salah obat pasien bisa keracunan obat. Ini yang dimaksud dr Louis bahwa banyaknya pasien covid yang meninggal di rumah sakit boleh jadi karena interaksi obat yang mengakibatkan keracunan obat bisa jadi menemukan pembenarannya. 

APA PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL

Jadi pelajaran yang bisa diambil dari Negara-negara yang berhasil mengatasi covid ini adalah bahwa Penanganan covid seharusnya dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan menanamkan optimisme kepada rakyat bahwa covid bisa diatasi kalau kita cerdas menghadapinya. Solusi seharusnya dicari bukan menambah kebingungan dalam menghadapi virus dengan narasi ketakutan dari media penyebar teror. 

Fokus pendekatan dalam penanganan covid sudah saatnya kita rubah misalnya karena yang berisiko besar kematian karena covid adalah yang membawa komorbid (penyakit bawaan) maka seharusnya prioritas yang di rawat dan isolasi di rumah sakit adalah pasien covid yang membawa komorbid ini sementara yang lain cukup isolasi mandiri di rumah. 

Jangan lagi kita melakukan kebodohan dimana yang sehat diburu-buru untuk diswab yang hanya akan menambah jumlah statistik positif covid sementara orang yang sakit dan butuh penanganan segera di rumah sakit dipaksa untuk menunggu hanya karena prosedur tes covid terlebih dahulu.  Jangan sampai kejadian di Mataram NTB terulang kembali dimana seorang Ibu melahirkan dan bayinya meninggal hanya karena tidak ditangani segera di rumah sakit karena harus melakukan prosedur rapid tes terlebih dahulu, padahal saat itu  ibu ini ketubannya sudah pecah. (https://www.tribunnews.com/regional/2020/08/21/ibu-melahirkan-di-ntb-tak-segera-ditangani-karena-alasan-rapid-test-sang-bayi-akhirnya-meninggal) 

MENANGANI COVID DENGAN PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN

Pemerintah seharusnya membentuk Tim yang beranggotan dokter, ahli virus dan epidemologis YANG BERINTEGRITAS untuk meneliti virus ini dan kemudian menjelaskannya kepada publik.

Dijelaskan bagaimana karakteristik virus ini, bagaimana penularannya, cara menghindari penularannya, sehingga rakyat memperoleh edukasi yang benar, rakyat menjadi cerdas sehingga dapat bertindak dengan benar dalam menghadapi virus. Jangan sampai informasi yang sampai kepada rakyat lebih didominasi oleh pemberitaan media-media yang hanya menyebarkan narasi ketakutan kepada rakyat akan virus ini. 

Saat ini pendemi covid sudah berlangsung hampir 2 (dua) tahun dan rakyat sudah seperti tahanan yang tidak bebas melakukan apa-apa. Mereka ingin bebas.

Lockdown (PPKM) yang berkepanjangan tentu akan membuat ekonomi semakin hancur. Banyak rakyat yang semakin sulit makan karena tidak punya uang lagi.

Disaat seperti ini Pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dalam penanganan covid. Banyak orang pintar dan jenius di negeri ini tapi mereka tidak dilirik dan didengar suara dan pendapatnya sebagai bahan pengambilan kebijakan. Pemerintah seharusnya menugaskan pakar yang menguasai substansi ilmiah dan substansi kesehatan sekaligus dalam kebijakan penanggulangan virus. Kita bisa memanggil lagi Prof. Dr. Siti Fadilah Supari yang telah berpengalaman dalam mengatasi masalah pandemi virus dan atau Prof Nidom yang ahli virus itu untuk dimintai pendapatnya dalam mengatasi covid ini. 

Kebijakan yang salah tanpa pendekatan ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan menambah masalah baru dan penderitaan rakyat yang semakin berkepanjangan karena sebagai rakyat hanya bisa tunduk dengan apapun aturan yang diterapkan pemerintah. 

Kebijakan yang salah tanpa pendekatan ilmu pengetahuan dalam penanganan virus covid hanya akan membuat Pemulihan ekonomi semakin lama, pengangguran terus bertambah, rakyat semakin susah dan kelaparan bisa terjadi dimana-mana. Umat beragama juga sudah rindu beribadah dengan normal, Mereka ingin naik Haji dan Umroh, Mereka tidak ingin lagi ada kejadian dimana untuk menemui dan bersilaturahmi dengan keluarganya harus dilarang. Anak-anak sudah rindu sekolah dan bermain.

Apakah kita peduli dengan mereka ?

Wallahu’alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran