BAGAIMANA PENERAPAN PASAL 2 DAN PASAL 3 UU NOMOR 31 TAHUN 1999 YANG TELAH DIUBAH DENGAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001
BAGAIMANA PENERAPAN PASAL 2 DAN PASAL 3 UU NOMOR 31 TAHUN
1999 YANG TELAH DIUBAH DENGAN UU NOMOR 20 TAHUN 2001
Pada awalnya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU Tipikor) bersifat khusus yaitu diterapkan hanya kepada pegawai Negeri atau pejabat Pemerintahan. Hal ini karena pertimbangan bahwa korupsi hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang atau sedang menjalankan jabatan pemerintahan.
Namun dalam perkembangannya ternyata bukan hanya pegawai negeri yang dapat melakukan korupsi tapi juga dilakukan oleh orang yang bukan pegawai Negeri yang mana Undang-Undang pemberantasan Korupsi tidak bisa menjangkau mereka. Atas dasar tersebut kemudian pembentuk UU Tipikor memasukkan orang perorangan atau swasta juga menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi.
Dalam penanganan perkara korupsi yang merugikan keuangan Negara, Pasal yang sering diterapkan Penyidik Polisi, Jaksa dan KPK adalah pasal 2 dan pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum selalu menggunakan dakwaan pengganti yaitu pasal 2 dalam dakwaan primair dan pasal 3 dalam dakwaan subsidair. Apabila dakwaan primar terbukti maka dakwaan subsidair tidak dibuktikan lagi, sebaliknya apabila Jaksa atau Hakim akan membuktikan pasal 3 dalam dakwaan subsidair maka terlebih dahulu akan membebaskan terdakwa dari dakwaan primair.
Caranya ? yaitu apabila
pelakunya swasta maka biasanya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain
tidak terbukti tapi yang terbukti adalah unsur menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi sedangkan kalau PNS atau penyelenggara negara
biasanya mengacu kepada personalitas diri terdakwa selaku Pegawai Negeri Sipil
atau pejabat yang memiliki jabatan atau kedudukan. Hal ini biasanya
dikonstruksikan dalam bentuk bahwa karena terdakwa adalah Pegawai Negeri Sipil atau pejabat yang
memiliki jabatan atau kedudukan dengan kewenangan yang melekat kepadanya maka
pasal yang lebih tepat diterapkan pada diri terdakwa adalah pasal 3 yang
mensyaratkan orang yang memiliki jabatan atau kedudukan.
Di dalam pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999, memuat 3 (tiga) unsur yaitu:
1. Melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
sementara Pasal 3 memuat 3 (tiga) unsur yaitu:
1.
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
2. Menyalahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan
3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Pengaturan adanya pasal 2 dan pasal 3 dalam UU Nomor 31 tahun 1999 adalah
untuk membedakan mereka yang pegawai Negeri dan bukan Pegawai Negeri yaitu ketentuan Pasal 3 ditujukan
untuk mereka yang tergolong pegawai negeri yang memiliki jabatan atau
kewenangan Sedangkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 diperuntukkan
bagi mereka yang tergolong bukan pegawai negeri atau perorangan swasta.
Prof. Dr. Andi Hamzah menegaskan addresat Pasal 3 sebagai berikut:
“…dengan
kata-kata “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan..” yang menunjukkan bahwa subjek delik pada Pasal
3 harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan”.
Namun yang agak aneh adalah ancaman hukuman di dalam pasal 2 untuk perorangan swasta lebih berat dibandingkan dengan pasal 3 untuk pegawai Negeri atau pejabat pemerintah. Pertimbangan pembentuk UU pemberantasan korupsi boleh jadi dilatarbelakangi anggapan bahwa kalau pihak perorangan swasta melakukan korupsi motifnya adalah untuk memperkaya diri lagi sementara pegawai Negeri hanya untuk mencari tambahan penghasilan karena gajinya kecil atau karena pegawai Negeri melakukan korupsi karena adanya godaan iming-iming dari pihak swasta agar menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang.
Mencermati memorie van toelichting (latar
belakang pembentukan) Pasal 2 UU Tipikor itu sendiri memang ada kesan pembentuk
UU hendak melindungi pejabat negara dengan ancaman hukuman lebih ringan yang
justru mengacu Pasal 52 KUHP seharusnya lebih diperberat karena dengan kekuasaan
dan kewenangan yang sangat besar justru PNS atau Pejabat pemerintah memiliki
peluang lebih besar untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Namun kemudian dalam prakteknya, tampaknya penegak hukum dalam hal ini Jaksa maupun Hakim tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan subjek hukum pasal 2 dan pasal 3, dimana pasal 2 lebih ditujukan kepada perorangan swasta sementara pasal 3 untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebab secara yuridis seorang pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menyalahgunakan jabatan atau kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dapat juga diterapkan dengan menggunakan pasal 2 karena unsur “menyalahgunakan jabatan atau kewenangan” secara inherent selalu menggandung sifat melawan hukum sebagaimana dalam unsur pasal 2 , sedangkan untuk perorangan atau swasta yang tidak memiliki jabatan atau kewenangan dapat juga diterapkan pasal 3 yang mana unsur yang dibuktikan adalah menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena kedudukan.
Pertimbangan Jaksa dan Hakim untuk tidak terlalu membedakan subjek hukum pasal 2 dan pasal 3 dalam membuktikan pasal mana yang akan dibuktikan adalah karena kalau hal ini diterapkan secara kaku yaitu pasal 2 hanya untuk perorangan swasta dan pasal 3 untuk Pegawai Negeri maka akan menimbulkan permasalahan terkait disparitas pemidanaan dalam kasus yang sama apalagi kalau nilai kerugian negaranya relatif kecil atau sudah dikembalikan.
Banyak kasus-kasus perkara korupsi pengadaan barang dan jasa di daerah yang ditangani Penegak hukum nilai kerugian negaranya tidak terlalu besar yang Pelakunya umumnya adalah PPK (Pegawai Negeri), Kontraktor dan konsultan pengawas (swasta). Bahwa kalau perorangan swasta diterapkan pasal 2 sedangkan untuk PNS diterapkan pasal 3 maka akan menimbulkan permasalahan terkait disparitas pemidanaan karena ancaman hukuman minimal dalam pasal 2 adalah lebih berat yaitu 4 tahun sementara pasal 3 ancaman hukumannya minimal 1 tahun.
Tentunya adalah tidak adil apabila menjatuhkan pidana bagi terdakwa swasta (Kontraktor dan konsultan pengawas) yang hanya merugikan keuangan negara di bawah Rp. 100.000.000,- dan atau telah mengembalikan kerugian Negara dikenakan sanksi minimal pasal 2 yaitu pidana 4 tahun sementara PNS (PPK) dikenakan hukuman hanya 1 tahun (pasal 3).
Apa kriteria suatu perbuatan korupsi diterapkan pasal 2 atau pasal 3 ?
Jika kita melihat putusan-putusan
hakim dalam memutus perkara tindak pidana korupsi, sebenarnya belum ada kesamaan persepsi di antara Jaksa
dan hakim tentang kapan suatu perbuatan melawan hukum tersebut akan dikenakan
Pasal 2 ayat (1), dan kapan pula akan dikenakan Pasal 3.
Namun kalau kita mengacu kepada
Surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 2018 dan Surat Jaksa Agung
Nomor 1 tahun 2019 tentang Pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana
korupsi tampaknya lebih kepada faktor keadilan dan kemanfaatan terkait berapa
nilai kerugian Negara yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan pasal 2 atau
pasal 3 atau berapa batasan terdakwa dianggap memperkaya atau menguntungkan
diri sendiri atau orang lain.
Di dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 disebutkan bahwa jika 1. Nilai kerugian keuangan negara di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK; sedangkan jika 2. Nilai kerugian keuangan negara sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 3 UUPTPK.
Tampaknya kata DAPAT dalam SEMA tersebut perlu digarisbawahi bahwa terkait penerapan
pasal 2 atau pasal 3 tetap diserahkan kepada diskresi hakim pasal mana yang
akan diterapkannya.
Sementara dalam Surat Jaksa Agung Nomor 1 tahun 2019 tentang Pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi yang menjadi acuan bagi Penuntut Umum dalam menentukan tuntutan pidana disebutkan untuk pasal 2 jika kerugian Negara lebih dari Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta).
Jadi adanya SEMA dan pedoman
tuntutan pidana lebih menitikberatkan
kriteria jumlah kerugian negara sebagai dasar penerapan kedua pasal itu.
Jika kerugian negara kurang dari Rp200 juta rupiah, maka DAPAT diterapkan Pasal 3 dan jika lebih dari Rp200 juta diterapkan
Pasal 2 ayat (1).
Bagaimana kalau kerugian Negara diatas 1 milyar, apakah pasal 3 tetap bisa diterapkan ?
Kalau mengacu kepada SEMA dan Pedoman
tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi, Jaksa
dan Hakim tetap diberikan kebebasan apakah
pasal 2 atau pasal 3 yang akan dibuktikan dipersidangan, namun demikian Jaksa
dan Hakim tetap harus mengacu pada pedoman tuntutan pidana dan pemidanaan dalam
menentukan berapa tuntutan dan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
Boleh jadi adanya pedoman tuntutan
pidana dan pemidanaan adalah wujud kontrol Petinggi penegak hukum agar pasal 2
dan pasal 3 yang memiliki ancaman pidana yang berbeda tidak dijadikan transaksional
untuk menuntut dan mempidana seseorang dengan pasal 3 agar lebih ringan.
Wallahu’alam
bisshowab
Komentar
Posting Komentar