Langsung ke konten utama

KEADILAN DALAM PERKARA PIDANA



KEADILAN DALAM PERKARA PIDANA

Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan karena Tuhan yang maha kuasa memerintahkan manusia untuk menegakkan keadilan (QS. An Nisa ayat 28). Keadilan menuntut untuk menghukum kejahatan yang setimpal dengan perbuatannya dan melindungi mereka yang tidak bersalah atau melindungi mereka yang tertindas yang hak-hak mereka dilanggar. Institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan  dan advokat adalah tempat sebuah harapan yang bernama keadilan digantungkan. Pelayanan yang dituntut dan dibutuhkan oleh masyarakat dari penegak hukum adalah keadilan. keadilan ini adalah memberikan tempat kepada kebenaran dimana yang benar itulah yang dimenangkan. Sila ke 5 pancasila mengamanatkan untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanpa keadilan yang ada hanya kezaliman. Ketika rakyat melaporkan adanya kejahatan  kepada penegak hukum dan kemudian diproses dan pelakunya ditangkap maka rakyat mendapatkan keadilan namun ketika pelaku utamanya dibiarkan dan justru pihak yang tidak bersalah yang dihukum maka yang terjadi adalah kezaliman. Kezaliman adalah lawan dari keadilan. kezaliman adalah merampas hak orang akan keadilan, kezaliman juga berarti tidak menggunakan hukum pidana dengan cara emosional yaitu memaksa menghukum atau memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

Keadilan akan dipertanyakan oleh masyarakat ketika penegak hukum menghukum kejahatan yang sama dengan disparitas yang mencolok. Memang dalam perkara yang sama ada banyak faktor yang menyebabkan penjatuhan pidana kepada seseorang bisa berbeda satu sama lain karena pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan seseorang. Namun persoalannya menjadi lain ketika kejahatan ringan dihukum lebih berat dari pada kejahatan berat. Kecenderungan masyarakat kita akan menilai negatif  penegak hukum yang menuntut atau menghukum kejahatan ringan dengan pidana penjara 2 tahun sementara pelaku penganiayaan berat justru hanya dituntut atau dihukum 1 tahun penjara. Masalah penjatuhan pidana inilah yang sering menjadi sorotan masyarakat dalam penegakan hukum kita karena mengenai berapa hukuman yang diberikan sangat ditentukan oleh faktor subjektivitas dari penegak hukum itu sendiri.

Mewujudkan keadilan adalah pergulatan hati nurani seorang penegak hukum. Keadilan hanya bisa diwujudkan oleh seorang penegak hukum yang memiliki hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan kasus atau perselisihan yang dihadapkan kepadanya. ini tidak akan diperoleh oleh seorang penegak hukum kecuali dia memiliki dua kemampun pengetahuan yaitu pertama pengetahuan eksternal melalui penguasaan atas sumber-sumber hukum seperti Undang-undang, doktrin, yurisprudensi dan pengetahuan hukum lainnya yang dipelajari melalui perangkat panca indera berupa penglihatan dan pendengaran dan kedua pengetahuan internal berupa intuisi atau ilham yang berpusat pada hati nurani untuk menilai dan memutuskan suatu kebenaran. Hati nurani bisa melihat kebenaran  yang tidak bisa dilihat oleh mata kepala (QS. Al Hajj ayat 46).

Seorang penegak hukum sulit menjadi penegak hukum yang baik kalau tidak memiliki dua kemampuan tersebut yaitu pemahaman dan pengetahuan hukum yang luas  sehingga dapat menerapkan peraturan hukum yang tepat terhadap perkara yang sedang dihadapinya dan hati nurani yang bekerja dengan baik.

Dalam Pembuktian suatu perkara, untuk mencari kebenaran seorang penegak hukum harus memeriksa dan memperhatikan alat-alat bukti yang ada dan menilai apakah masing-masing konsisten dan tidak ada kontradiksi di dalamnya atau dalam versi KUHAP apakah alat –alat bukti tersebut saling bersesuaian satu sama lain  untuk menilai suatu kebenaran atau kebohongan.

Oleh karena itu tugas penegak hukum dalam pembuktian adalah menghubungan titik-titik kebenaran itu menjadi sebuah rangkaian cerita yang saling terhubung satu sama lain sehingga mengarah kepada sebuah kesimpulan. Ciri dari kebenaran adalah tidak ada kontradiksi di dalamnya. Dia selalu konsisten. Sedangkan kebohongan selalu tidak konsisten dan penuh kontradiksi di dalamnya.

MENEGAKKAN KEADILAN DALAM PERKARA PIDANA ADALAH MENCARI KEBENARAN MATERIL
Dalam perkara pidana, orang yang dijadikan terdakwa di pengadilan seharusnya adalah orang yang 99 persen adalah pelaku kejahatan yang sudah pasti bersalah. Kenapa ? Karena tidak mungkin orang yang bukan pelaku kejahatan dituntut di muka pengadilan. Namun demikian penegak hukum tetap memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran materiil dan bukan semata-mata menuntut berapa hukuman yang pantas untuk diberikan kepada terdakwa. Mencari Kebenaran materil ini salah satunya adalah mengungkap motif dari pelaku dalam melakukan kejahatan.
Mengapa motif harus diungkap ? karena nilai perbuatan terletak pada motif (niat) nya.

Setiap tindakan manusia secara psikologi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu motif, bentuk dan akibat dari perbuatan itu sendiri namun motif bisa dengan mudah berbeda. Misalnya, si “A” mengendarai mobil dan menabrak seseorang yang sedang lewat dan orang itu meninggal. Si “B” juga sedang mengendarai mobil dan menabrak seseorang, dan orang ini juga meninggal. Bentuk perbuatan dan dampak yang dihasilkan dari kedua tindakan tersebut adalah sama, tapi bagaimana dengan motifnya?

Motif si “A” mungkin bukan untuk membunuh orang itu, dan itu hanyalah kecelakaan yang tidak disengaja sedangkan Motif si “B” mungkin sengaja untuk membunuh orang itu sedemikian rupa namun agar dia tidak ketahuan dan bebas dari hukuman pembunuhan dia menggunakan modus seolah-olah adalah kecelakaan lalu lintas biasa yang ancaman pidananya jauh lebih ringan dari pembunuhan.
Motif (niat) nya berbeda. Manusia diadili berdasarkan motif atau niat itu. Nabi saw bersabda,”sesunguhnya setiap perbuatan tergantung pada motif atau niatnya dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi motif atau niatlah yang dimintai pertanggungjawaban. Motiflah yang akan menentukan berat ringannya hukuman yang akan diberikan. Penegak hukum tentunya memberikan hukuman yang berbeda kepada pencuri yang terpaksa mencuri karena tidak ada lagi beras di rumahnya untuk dimakan anaknya dengan pencuri yang memang menjadi kebiasaan atau pekerjaannya.

MENGAPA PENEGAK HUKUM SERING BERBEDA DALAM MENILAI SUATU PERKARA
Dalam banyak praktek peradilan khususnya dalam perkara korupsi, sering seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik namun kemudian ketika disidangkan di pengadilan justru di bebaskan oleh Hakim. Mengapa bisa terjadi cara pandang yang berbeda antara penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam menilai suatu perkara atau kenapa rasa keadilan mereka bisa berbeda dalam menilai suatu perkara padahal alat bukti yang diperiksa adalah sama ?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan beberapa kemungkinan pertama, selama proses persidangan terungkap ternyata banyak fakta yang tidak diungkap secara utuh selama proses penyidikan sehingga salah dalam menerapkan hukumnya. Proses persidangan adalah menggali seluruh fakta-fakta untuk mencari kebenaran materil.  Ketika fakta digali secara utuh maka akan terungkap perbuatan apa saja yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dan siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab. Karena fakta tidak diungkap secara lengkap maka terjadi kesalahan dalam pengambilan kesimpulan mengenai siapa yang sebenarnya pihak yang paling bertanggung jawab. Dalam kasus seperti ini bisa jadi terdakwa bukanlah pihak yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban atau boleh jadi perbuatannya bukanlah suatu tindak pidana melainkan perbuatan perdata atau kesalahan administrasi sehingga atas dasar tersebut terdakwa dibebaskan.

Kedua, alat bukti yang diajukan kurang menyakinkan Hakim untuk menyatakan seseorang bersalah. Penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka adalah berpedoman kepada minimal dua alat bukti, sedangkan Hakim ditambah dengan keyakinannya (Pasal 183 KUHAP). Apabila Hakim tidak yakin dengan kesalahan seseorang atau terdapat keragu-raguan perihal kesalahan terdakwa maka Hakim akan membebaskannya. adagium yang dipegang adalah “lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Prinsipnya adalah jangan melakukan kezaliman dalam menghukum seseorang yang tidak pasti kesalahannya. Kesalahan yang dimaksud disini adalah tidak ada unsur kesengajaan (dolus) yang dilakukan oleh terdakwa

Ketiga ada faktor subjektif untuk membebaskan atau menghukum seorang terdakwa, motifnya bisa macam-macam, ada karena intervensi atau tekanan dari kekuasaan atau boleh jadi karena penegak hukumnya tergoda dengan uang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan, proses penuntutan dan putusan yang dijatuhkan sehingga uanglah yang akhirnya membuat keadilan menjadi ketidakadilan.

Sejak lama hukum sudah sakit di negeri ini. hukum telah berkongsi dengan uang dan kekuasaan sehingga banyak menimbulkan kecurigaan. Kasus Djoko tjandra yang mencuat baru-baru ini yang bisa bebas masuk ke Indonesia padahal dalam status buron sungguh sangat memalukan  karena melibatkan petinggi penegak hukum di dalamnya.

Lemahnya penegakan hukum yang menjadi sorotan publik selama ini adalah karena sebagian penegak hukum tidak mampu mempertahankan integritasnya sehingga walaupun penegak hukum telah banyak bekerja keras dengan menangkap dan memenjarakan banyak koruptor tapi tetap saja belum berhasil mengembalikan kepercayaan masyarakat. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Padahal aset terpenting dari penegak hukum adalah kepercayaan (publik trust). kalau ini hilang maka apapun yang dilakukan oleh penegak hukum tidak akan memperoleh simpati. Rakyat menginginkan penegak hukum bekerja untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan itu hanya bisa dijalankan oleh penegak hukum yang professional dan menggunakan hati nuraninya dalam bekerja.

Pemerintah memang sudah banyak melakukan langkah-langkah agar  aparat penegak hukum kita lebih profesional, berintegritas, dan bermoral diantaranya dengan menaikkan gaji dan tunjangan penegak hukum agar lebih sejhatera dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, memperbaiki sistem perekrutan dan promosi aparat penegak hukum, memberikan pendidikan dan pelatihan, serta membentuk lembaga-lembaga pengawasan yang independen seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Kompolnas. Namun meskipun demikian semua akhirnya berpulang kepada manusianya.

Manusia adalah kunci dalam penegakan hukum. Betapapun banyaknya Undang-undang yang dibuat, sarana dan prasarana dibenahi dan dibangun tapi penegak hukumnya memiliki iman yang lemah dan  tidak takut kepada Tuhan, maka sulit mengharapkan hukum ditegakkan dengan penuh martabat. Ini sejalan dengan ungkapan Taverne “berikan aku Hakim, Jaksa, Polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa Undang-undang (UU)”. Pernyataan Taverne memperlihatkan bahwa dalam penegakan hukum bukan UU yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya.

PENERAPAN FUNGSI AJUDIKASI JAKSA DEMI MEMBERIKAN RASA KEADILAN KEPADA MASYARAKAT
Ketika kasus-kasus seperti pencurian satu buah semangka, kasus pencurian kapuk randu, kasus penebangan dua batang bambu di Magelang, dan Kasus pencurian sandal jepit mencuat dan menjadi perhatian masyarakat banyak tudingan miring yang diarahkan kepada penegak hukum yang dianggap tidak menggunakan hati nurani dalam penanganan perkara. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus ringan yang seharusnya tidak perlu ditindaklanjuti dengan sanksi pidana karena sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Namun penegak hukum tidak bisa juga disalahkan  karena tidak ada alasan yuridis formal dalam Undang-undang yang menjadi landasan dalam menghentikan perkara seperti diatas yang unsur-unsur tindak pidananya sudah terpenuhi. Sehingga penegak hukum walaupun menjadi sangat dilematis tetap harus melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan demi kepastian hukum .

Memang harus diakui tidak banyak penegak hukum yang berani bertindak melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu yang tidak ada landasan hukumnya. Namun tentunya penegak hukum juga bukan mesin undang-undang tapi manusia yang memiliki Jiwa. Meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Menurut beliau Undang-undang yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat mungkin dapat ditidurkan (statutory dormancy) atau dikesampingkan (desuetudo) demi kemaslahatan masyarakat dan negara.

JAKSA SELAKU PENUNTUT UMUM
Jadi apakah yang harus dilakukan ketika Jaksa misalnya dihadapkan pada kasus-kasus ringan seperti tersebut diatas ? Jaksa dapat menggunakan wewenang diskresinya. Apa itu ?

Jaksa selaku Penuntut Umum Secara de facto maupun de jure sebenarnya menjalankan fungsi Hakim dalam wujud ajudikasi jaksa yaitu  memiliki wewenang untuk menilai apakah suatu perkara layak dituntut atau tidak ke pengadilan.

Jaksa selaku Penuntut umum memiliki peran yang sangat sentral dalam penegakan hukum karena Jaksa diberikan wewenang pengawasan penyidikan dan wewenang memberikan arah penyidikan. Pasal 31 dan 39 KUHAP, menyebutkan jaksa meneliti kembali layak atau tidaknya perkara itu dilimpahkan ke pengadilan, apabila dianggap tidak layak atau perkara kecil maka perkara dapat ditolak untuk tidak melanjutkan ke Pengadilan.

Penyidikan merupakan awal penuntutan, dan akhir persidangan, keberhasilan penyidikan harus dipertanggungjawabkan oleh Jaksa baik kepada atasannya maupun kepada masyarakat. Disinilah hati nurani dan rasa keadilan Jaksa bekerja untuk menilai apakah perkara tertentu layak diserahkan ke pengadilan atau tidak untuk dilakukan penuntutan.

Ketika Jaksa menganggap bahwa kasus kecil itu tidak layak untuk dituntut maka Jaksa seharusnya memberikan petunjuk agar perkara tersebut tidak perlu dilakukan penuntutan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan sosiologis.

Dalam hal ini Jaksa tidak memberikan petunjuk kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP yaitu karena tidak terdapat cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau karena perkara ditutup demi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 sampai dengan pasal 85 yang mengatur tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana,  TETAPI  Jaksa dalam hal ini berdasarkan penggunaan wewenang diskresinya menganggap kasus tersebut tidak perlu diteruskan ke Pengadilan karena berbagai faktor diantaranya mencederai rasa keadilan masyarakat, nilai kerugiannya sangat kecil, atau para pihak telah berdamai. Jadi yang diutamakan adalah asas keadilan dan kemanfaatannya bagi masyarakat dan negara. Penggunaan wewenang diskresi Jaksa tersebut tentunya juga sejalan dengan Doktrin Tri krama adhyaksa yang menjadi landasan jiwa setiap warga Adhyaksa yaitu wicaksana (bijaksana) dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.

Jadi ke depan tidak semua perkara pidana harus diselesaikan melalui pengadilan, dan tidak semua pelaku kejahatan harus dipenjara. Kalau para pihak bisa berdamai, dan pelaku telah mengembalikan kerugian yang di derita korban maka perkara tidak perlu dilanjutkan lagi.
Sejak dulu penegak hukum diajarkan bahwa tujuan penegakan hukum dalam perkara pidana yang diutamakan adalah keadilan baru kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian.
Wallahu’alam


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran