ANTARA PERDATA, PIDANA DAN PERDAMAIAN DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN
Salah satu perkara
yang banyak diajukan ke Pengadilan adalah tindak pidana penipuan. Dan kalau
kita mempelajari kasus-kasus yang terkait dengan penipuan, sering persoalannya
adalah berawal dari hubungan perjanjian/kontrak. Perjanjian yang dibuat kedua
belah pihak, kadangkala kewajibannya tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak.
Maka pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya akan dimintai
pertanggungjawaban oleh pihak yang mengalami kerugian baik dalam bentuk
tuntutan ganti rugi maupun melaporkan secara pidana.
Dalam praktek
peradilan, penegak hukum kadang berbeda pendapat dalam menilai apakah pihak yang tidak melaksanakan perjanjian
dianggap sebagai wanprestasi atau penipuan. Penyidik dan Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan karena
menganggap bahwa perbuatan tersebut penipuan, namun Hakim justru menyatakan
perbuatan tersebut wanprestasi dan atau Hakim sendiri berbeda pendapat dimana Hakim
Tingkat pertama menyatakan bahwa perbuatan tersebut penipuan, sementara hakim
tingkat banding dan kasasi menyatakan perbuatan itu wanprestasi dan atau sebaliknya.
Lalu bagaimana kita
bisa menentukan kapan kasus tersebut
merupakan wanprestasi yang merupakan domain perdata dan atau penipuan yang
merupakan domain pidana.
WANPRESTASI YANG MERUPAKAN DOMAIN PERDATA
Bahwa dari
penelusuran beberapa Putusan Mahkamah Agung yang terkait dengan tindak pidana
penipuan, Hakim yang menyatakan bahwa hubungan
perjanjian yang terjadi merupakan wanprestasi yang merupakan domain perdata
biasanya melihat dari sisi adanya hubungan keperdataan dari awal misalnya
adanya perjanjian seperti hutang piutang, pinjam meminjam atau sewa menyewa,
adanya jaminan yang jadi agunan, dan transaksi
atau perjanjian itu dibuat di hadapan notaris. Sehingga ketika terdakwa karena
ketidakmampuannya melaksanakan prestasi misalnya karena bangkrut, gagal bisnis
atau sebab lain yang diluar kendali bisnis, maka tentunya ini adalah masalah
perdata. Adanya kerugian yang dialami korban biasanya dianggap sebagai resiko
yang tidak dapat dihindari.
Disini tidak ada niat awal terdakwa untuk
mencurangi orang lain. Tapi untuk membuktikan bahwa terdakwa memang benar-benar
tidak bisa memenuhi prestasi misalnya karena bankrut tentunya harus dibuktikan
dengan melakukan penelusuran bahwa hartanya sudah tidak ada lagi atau tidak
memiliki kemampuan lagi. Jangan sampai terdakwa hanya berpura-pura bangkrut
untuk menghindari pemenuhan prestasi padahal hartanya disembunyikan. Di sini terdakwa
tidak berlaku jujur dan tidak ada niat untuk mengembalikan kerugian yang
dialami korban.
PENIPUAN YANG MERUPAKAN DOMAIN PIDANA.
Sebaliknya Hakim yang menyatakan bahwa
hubungan perjanjian yang terjadi merupakan penipuan yang merupakan domain
pidana biasanya melihat pada adanya maksud atau niat tidak baik dari awal yang
dilakukan oleh terdakwa.
Sejak awal terdakwa sudah memiliki niat atau itikad
tidak baik. Artinya, sejak awal memang sudah merencanakan rekayasa ataupun
penipuan dalam berbisnis. Modusnya bisa beraneka ragam, dan tidak sedikit yang
nampak sangat meyakinkan sekali caranya, bahkan profesional dan bonafit.
Sekalipun seluruh transaksi dibuat dalam kerangka perdata, namun segala
perjanjian, komitmen dan jaminan hanyalah rangkaian dari tipu daya untuk
meyakinkan dan memperdaya korbannya. Perikatan atau perjanjian dipergunakan
sebagai modus untuk membungkus niat melakukan penipuan.
ini adalah kejahatan. Seorang Ulama pernah
mengatakan “Orang yang berutang dengan niat tidak mau membayar maka dia adalah
pencuri.
Tapi bagaimana menentukan niat awal seseorang
itu akan menipu ?
Memang hal ini tidak mudah dijawab karena niat
ada di dalam hati. Tapi Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh
yang menunjukkan ada masalah atau tidak. Misalnya perjanjian pembayaran dengan
menggunakan cek. Bahwa cek adalah merupakan alat pembayaran yang sah. Pemegang
cek dijamin tersedianya dana yang cukup oleh pemilik rekening, dan pemilik
rekening ini berkewajiban untuk menyediakan dana yang cukup atas cek yang
diterbitkan.
Ketika terdakwa menyerahkan cek yang ternyata
pada saat dicairkan isinya kosong, disini terjadi tindak pidana penipuan karena
terdakwa sejak awal sudah menyadari atau mengetahui cek yang diberikan kepada
korban memang tidak ada dananya. Hanya saja untuk memperoleh uang kontan (unsur
delik menguntungkan diri sendiri) terdakwa sengaja “membujuk” dengan cara
menggunakan kata-kata bohong dan keadaan yang tidak benar (palsu) agar korban
menyerahkan uang kontan sesuai dengan nilai nominal cek. Jadi perjanjian yang
dibuat oleh terdakwa hanya sebagai kedok atau kamuflase atau sebagai modus
operandi dalam melakukan tindak pidana penipuan.
(Putusan Mahkamah Agung Nomor 933k/pid/1994
tanggal 28 Agustus 1997 pada pokoknya menyatakan bahwa pemberian cek kosong
dalam perjanjian pinjam meminjam sudah cukup dinyatakan terbukti sebagai tindak
pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP).
Bagaimana sikap Penyidik dan Penuntut Umum apabila pihak pelaku dan
korban berdamai dalam tahap proses penyidikan dan atau persidangan.
Karena begitu dekatnya antara wanprestasi yang
tunduk pada domain perdata dan penipuan dalam domain pidana maka seyogianya
penyelesaiannya lebih mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak. Apabila
dalam tahap penyidikan ternyata pihak pelaku dan korban telah berdamai yaitu
pihak pelaku telah mengganti kerugian yang diderita oleh pihak korban (pelapor)
dan pihak pelapor membuat pernyataan kasusnya tidak akan diteruskan maka penyidik
hendaknya mempertimbangkan hal tersebut untuk tidak melanjutkan perkara.
Memang menurut KUHP tindak pidana penipuan
bukanlah delik aduan, sehingga adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor bukanlah
alasan untuk menghentikan penyidikan (SP3), namun penyidik juga bukan corong
Undang-undang, penyidik harus memahami bahwa tujuan hukum sebenarnya adalah
menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Dan salah satu yang membuat masyarakat
menjadi tertib dan harmoni yaitu ketika konflik dapat diselesaikan dengan
cara-cara damai. Kalau para pihak telah sepakat berdamai dan pelaku telah
mengganti kerugian misalnya maka perkara tidak perlu dilanjutkan lagi. Disini yang dikedepankan adalah keadilan,
dan kemanfaatannya.
Memang dalam praktek banyak Penyidik dan juga
Penuntut Umum yang tetap melanjutkan perkara penipuan ini walaupun para pihak
telah berdamai dengan alasan bukan delik aduan, namun yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 1600 k/pid/2009
tanggal 24 Nopember 2009 dalam perkara hubungan kontrak kerjasama usaha
bisnis/dagang barang-barang elektronik antara Ismayawati dengan Ny. Ermiwati,
yang menimbulkan kerugian korban Ny. Emiwati sebesar Rp. 3,9 milyar, dapat
menjadi rujukan dalam mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan perkara
apabila telah ada perdamaian tersebut.
Kasus Posisi perkara:
Terdakwa Ismayawati di dakwa oleh Jaksa
Penuntut Umum telah melakukan tindak pidana penipuan ex. Pasal 378 KUHP. Korban
selaku pengadu tidak menghendaki perkaranya untuk diteruskan dan menghendaki
diselesaikan secara kekeluargaan, mengingat kerugian yang dialami korban telah
dipenuhi. Dalam putusan PN Yogyakarta Nomor : 317/pid.B/2008/PN.YK tanggal 3
Desember 2008, yang amar putusannya yaitu : mengabulkan permohonan pencabutan
pengaduan yang diajukan oleh saksi korban Emiwati, menyatakan penuntutan
perkara Nomor : 317/pid.B/2008 atas nama terdakwa Ismayawati tidak dapat
diterima. Walaupun putusan PN Yogyakarta dibatalkan oleh PT. Yogyakarta dengan
memerintahkan PN. Yogyakarta untuk memeriksa kembali perkara terdakwa Ny.
Ismatawati, namun Putusan PT. Yogyakarta tersebut dibatalkan kembali oleh
Mahkamah Agung dengan putusan Nomor : 1600 k/pid/2009 tanggal 24 Nopember 2008
yang amarnya yaitu, membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor :
01/pid/PLW/2009/PTY tanggal 2 Maret 2008 yang membatalkan putusan PN.
Yogyakarta Nomor : 317/pid.B/2008/PN.YK tanggal 2 Desember 2009; mengabulkan
permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh Emiwati, menyatakan
penuntutan perkara Nomor : 317/pid.B/2008 atas nama terdakwa Ismayawati tidak
dapat diterima.
Pertimbangan atau ratio decidendi Hakim
Pengadilan Negeri Yogyakarta yang dikuatkan oleh Hakim Mahkamah Agung RI yang
mengabulkan permohonan pencabutan dari pengadu yaitu bahwa judex facti salah
menerapkan hukum dan keadilan, karena putusan
Pengadilan Tinggi bersifat kaku dan terlalu formalistik; bahwa salah satu
tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya
tindak pidana; walaupun pencabutan pengaduan telah lewat waktu 3 bulan, yang
menurut pasal 75 KUHP, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu
dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih; bahwa walaupun perkara ini perkara
pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dan terlapor/terdakwa
mengandung nilai yang tinggi harus diakui, karena bagaimanapun juga bila
perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada dilanjutkan; bahwa
ajaran restoratif mengajarkan bahwa konflik yang terjadi disebut kejahatan
harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan
kepentingan umum, akan tetapi konflik juga mempresentasikan konflik antara dua
atau lebih individu dalam hubungan kemasyarakatan dan hakim mampu menfasilitasi
penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.
Mencermati pertimbangan putusan PN. Yogyakarta
yang dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung tersebut Nampak memperlihatkan
bahwa yang dikedepankan dalam penegakan hukum adalah keadilan dan kemanfaatan
daripada normatifnya.
Bagaimana apabila perkara tetap bergulir di
Pengadilan sementara telah ada perdamaian antara kedua belah pihak atau pihak
pelaku belum memulihkan kerugian yang diderita korban.
Dalam proses persidangan apabila berdasarkan
fakta-fakta persidangan perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan, maka Penuntut Umum atau Hakim dapat meminta atau
mengingatkan terdakwa untuk mengganti kerugian yang diderita korban dengan
kompensasi terdakwa tidak perlu menjalani hukuman atau hukuman disesuaikan
dengan tahanan yang telah dijalani apabila terdakwa ditahan.
Misalnya : menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa dengan pidana penjara selama 8 bulan dengan masa percobaan selama 1
tahun. Dengan syarat khusus terdakwa harus mengembalikan uang milik korban
sebesar Rp. 100 juta dalam tempo 1 tahun.
Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa suatu
perbuatan penipuan yang dilakukan oleh seseorang telah menimbulkan kerugian
bagi orang lain. Di dalam hukum pidana yang merupakan ultimum remedium sanksi
pidana dijatuhkan adalah dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera. Inipun
dilakukan setelah upaya-upaya penggantian kerugian melalui upaya persuasi tidak
membuahkan hasil. Upaya persuasi berupa penagihan ini adalah merupakan domain
hukum perdata yaitu “tiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian
kepada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya harus mengganti
kerugian tersebut (1365 BW).
Menurut Prof. Andi Hamzah (specialite delicten
di dalam KUHP, sinar grafika, Jakarta, 2009) dalam delik penipuan dan
penggelapan, kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah kekayaan milik
orang lain dan kepercayaan, seperti dalam lalu lintas perdagangan.
Sementara menurut Barda Nawawi Arief (masalah
penegakaan hukum dan kebijakan penanggulangan kejahatan, Program MH Undip,
semarang 2000.hal.20), ganti rugi tersebut bukan sebagai salah satu
bentuk/jenis pidana, melainkan justru hanya sebagai syarat bagi terpidana untuk
tidak menjalani pidana pokok.
Dengan demikian ide dasar yang
melatarbelakangi pemikiran adanya ganti rugi dalam pidana bersyarat menurut KUHP
adalah berorientasi pada pelaku tindak pidana (offender). Disamping itu syarat
khusus berupa ganti rugi ini menurut KUHP hanya bersifat fakultatif dan tidak
bersifat imperatif.
Akhirnya yang ingin kami
sampaikan....
Hukum seharusnya dapat
menyelesaikan konflik, menyadarkan pelaku tindak pidana atas kesalahannya dan
memperbaiki keadaan seperti semula. Tujuan hukum adalah menciptakan kedamaian
dan ketertiban bagi masyarakat, sehingga ketika ada warga masyarakat dalam perkara
pidana berinisiatif menyelesaikan masalah secara damai, maka hukum tidak
lagi dibutuhkan untuk mengintervensi
terlalu jauh.
Di sinilah peranan
Penyidik yang memproses awal suatu kasus dapat lebih berperan sebagai mediasi
pihak pelaku dan korban untuk berdamai. Penyidik harus memastikan bahwa pelaku
dan korban betul-betul telah berdamai, dan apabila kesepakatan damai telah
tercapai maka penyidik dengan diskresinya dapat mengeyampingkan perkara
tersebut.
Dalam praktek di lapangan
hal ini memang belum banyak di lakukan kecuali dalam perkara-perkara delik
aduan yang memiliki landasan hukum untuk menghentikan perkara, namun demi
keadilan dan kemanfaatan, seharusnya untuk perkara-perkara tertentu seperti
disebutkan diatas pihak penyidik dapat menerapkan hal ini di lapangan karena
apabila suatu perkara tetap dipaksakan untuk di proses sampai Pengadilan dengan
dalih kepastian hukum sedangkan para pihak telah berdamai maka justru hukum
telah menimbulkan konflik baru, pihak pelaku yang telah mengganti kerugian
menjadi kecewa dan frustrasi sehingga perdamaian yang menjadi tujuan tidak
tercapai.
Pernah ada seorang sopir
mengeluh kepada penulis, suatu ketika dia menabrak pengendara sepeda motor
hingga kakinya patah, sebenarnya dia telah berdamai dengan pihak keluarga
korban dan menganggap kecelakaan tersebut sudah merupakan musibah, dan si sopir
inipun telah mengganti kerugian dan kompensasi kepada pihak keluarga korban
namun ternyata penyidik dan Penuntut Umum tetap memproses kasusnya sampai ke Pengadilan
dan dijatuhi pidana penjara.
Apa yang terjadi setelah
dia berada dalam penjara ?
istri dan anak-anaknya
kebingungan karena tidak ada lagi yang memberikan nafkah. Apa untungnya bagi
masyarakat dan negara ketika orang ini dipenjara. Aspek penghukuman yang selalu melalui
pidana penjara semata justru telah mengakibatkan kepadatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan
yang melampaui batas daya tampung, dan telah mengakibatkan demoralisasi
seksual, sosial dan keamanan dalam lapas. Dan dampak yang tidak dipikirkan
adalah pemborosan biaya Negara untuk penegakan hukum, baik dari aspek
kelembagaan maupun aspek pembiayaan perkara pidana.
Penjatuhan pidana penjara
tidaklah selalu harus diutamakan. Jangan selalu menempatkan hukum pidana di
depan. Tidak ada Negara didunia ini yang menempatkan hukum pidana didepan. Kita
sekarang ini menempatkan hukum pidana di depan. Segala-galanya kita mau
pidanakan. Penjara sudah penuh. Ketika Petugas Lapas mengeluhkan karena ruang tahanan
tidak lagi mampu memuat begitu banyaknya tahanan, kita tidak pernah berpikir
mencari solusi mengurai benang kusut ini.
Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar