SEKILAS SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN PEMIKIRAN DAN KELOMPOK DALAM ISLAM (1)
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan (QS. Al maidah ayat 48)
-------------------------------
Pada masa sahabat dan tabiin pemikiran Islam masih sangat sederhana. Dalam memahami agama, para sahabat, tabiin dan generasi sesudahnya merujuk kepada nash alquran dan sunnah Nabi saw. Bagi mereka apa yang sudah ditetapkan oleh alquran dan hadis Nabi haruslah diterima dan tidak boleh ditolak walaupun bertentangan dengan akal. Akal manusia tidak mempunyai wewenang untuk menakwilkan nash agama. Tugas akal menurut mereka adalah untuk mencari argumentasi dalam Upaya membenaran informasi yang dibawa oleh nash agama. Akal harus tunduk di bawah nash. Akal tidak boleh menghakimi apa yang disebutkan oleh nash (alquran dan hadis) apalagi menolaknya.
Dalam perkembangannya kemudian, oleh karena wilayah kekuasaan Islam semakin meluas karena banyaknya wilayah-wilayah diberbagai belahan dunia yang berhasil ditaklukkan yang mengakibatkan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayaan, maka hal ini juga mempengaruhi perkembangan pemikiran dan keilmuan di dalam Islam. Terutama sekali dengan masuknya pemikiran Yunani (hellenisme) ke dunia Islam lewat filsafat (Aristoteles dan Plato). Banyak buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa arab.
Karena filsafat Yunani lebih mengutamakan akal dalam mengesploitasi pengetahuan maka secara tidak langsung mempengaruhi pemikir-pemikir muslim terhadap pemakaian rasio dalam pemikiran keagamaan. Akal (rasio) kemudian ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi bahkan sejajar dengan wahyu Tuhan itu sendiri dalam Upaya memahami ajaran agama. Salah satu kelompok Islam yang kemudian muncul dan sangat mengutamakan rasio dalam pemikiran keagamaan adalah muktazilah. kaum muktazilah ini pada awalnya adalah sekelompok sahabat Nabi yang menjauhkan diri dari pertikaian antara golongan pendukung Ali bin Abi Thalib di satu pihak dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di pihak lain.
Bahwa aliran muktazilah yang bercorak rasional ini dalam perkembangannya mendapat tantangan dari Abu Hasan al Asy’ary yang kemudian dikenal dengan aliran Asy’ariyah dan Abu Mansur al Maturidi yang dikenal dengan aliran Maturidiyah.
Abu Hasan al Asy’ary pada awalnya adalah pengikut paham muktazilah selama kurang lebih 40 tahun. Namun kemudian keluar dan membangun teologi sendiri yang dikenal dengan nama aliran Asy’ariyah. Sementara Al maturidi, walaupun muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran muktazilah yang rasional namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan muktazilah karena sebagai pengikut Abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaan maka maturidi juga banyak menggunakan akal dalam pemikiran teologisnya.
Bahwa salah satu pemikiran muktazilah yang banyak dipaksakan kepada kaum muslimin pada masa itu adalah paham bahwa alquran itu adalah makhluk (ciptaan) Allah karena terdiri dari huruf, suara dan kalimat dan oleh sebab itu alquran pasti baru. Sementara pemahaman kaum muslim yang dianut sejak dahulu adalah bahwa alquran adalah kalam Allah dan ia Qadim (tidak diciptakan). Salah satu ulama terkenal yang tidak mau menyatakan bahwa alquran itu makhluk adalah Ahmad bin Hambal yang mengakibatkan beliau dicambuk dan dipenjara.
Bahwa karena banyak melakukan kekerasan dan pemaksaan di dalam menyebarkan pemahaman keagamannya kepada Masyarakat yang dikenal dengan istilah Mihnah (inkuisisi) maka aliran muktazilah mulai banyak ditinggalkan, sementara Asy’ariyah dan Maturidiyah muncul secara bersama yang dikenal dengan nama aliran ahlu sunnah wal jamaah yang populer disebut dengan sunni. istilah ahlu sunnah, karena golongan ini disamping berpegang teguh kepada alquran secara Zahir, juga berpegang kuat kepada sunnah Nabi Muhammad saw. Istilah jamaah adalah menunjukkan jumlah pendukungnya mayoritas sebagai lawan bagi golongan muktazilah yang bersifat minoritas. Memang penganut muktazilah minoritas karena umumnya hanya diterima di kalangan Masyarakat terdidik sementara pada Masyarakat awam, ajaran muktazilah tersebut sulit mereka pahami karena keterbatasan kemampuan berpikir ilmiah-filosofis.
Bahwa di tempat lain pada waktu yang bersamaan pula, Syiah juga muncul sebagai aliran yang mengutamakan pandangan-pandangan rasional dengan berpegang teguh pada ajaran Imamah yang sangat memuliakan Ahlul Bait.
Sunni dan syiah adalah dua kelompok Islam terbesar saat ini di dalam dunia Islam. Akar perbedaan antara sunni dan syiah sebenarnya berawal setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia yaitu adanya perdebatan mengenai siapa dan golongan mana yang akan menggantikan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin agama sekaligus sebagai pemimpin negara.
Bagi sunni pengganti Nabi Muhammad saw haruslah khalifah yang berasal dari suku quraisy dan melalui musyawarah kaum muslimin (QS. Asy-Syura ayat 38) ) sementara bagi Syiah pengganti Nabi adalah dari keluarga Nabi Muhammad saw yaitu Ali bin Abi Thalib dan keturunannya dengan mengacu pada QS. Al Maidah ayat 67 dan bahwa Nabi saw juga telah menunjuk dan mewasiatkannya.
Embrio Pemikiran di dalam Islam
Bahwa awal perkembangan pemikiran di dalam islam diawali oleh pertikaian di kalangan para sahabat oleh akibat pertentangan politik yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat itu yang kemudian berkembang menjadi persoalan teologi.
Masalah politik itu muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Dimana puncaknya dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan yang membuat polarisasi dikalangan umat Islam semakin tajam yang ditandai dengan terjadinya beberapa peperangan seperti perang Jamal (onta) dan perang siffin. Untuk mengakhiri perang siffin antara Ali melawan Muawiyah maka disepakati perdamaian dengan jalan tahkim (arbitrase) yaitu mengutus masing-masing perwakilan sebagai juru damai. Namun adanya tahkim (arbitrase) tersebut tidak disetujui oleh Sebagian tentara Ali. Mereka memandang Ali telah berbuat salah dan berdosa dengan menerima arbitrase yang dianggap bertentangan dengan alquran yaitu “Dan barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir (QS. Al maidah ayat 44).
Dengan landasan alquran tersebut mereka menghukum semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir (telah keluar dari islam). Orang yang keluar dari Islam dikatakan orang murtad, dan orang murtad, halal darahnya dan wajib dibunuh.
Dari sini masalah politik menjadi masalah teologi. Mereka yang mengkafirkan tahkim ini dalam Sejarah perkembangan pemikiran Islam kemudian disebut dengan Khawarij. Jadi Kaum Khawarij ini pada awalnya adalah pendukung Ali namun kemudian membangkang dan keluar dari kelompok Ali karena menentang kebijaksanaan Ali menerima tahkim.
Khawarij adalah aliran pertama dalam Islam yang menelorkan pemikiran ilmu kalam (teologi). Diberi nama ilmu kalam karena masalah yang dibicarakan dan diperselisihkan pada masa itu adalah masalah kalam Allah (alquran).
Khawarij berpendapat bahwa seseorang telah kafir bila ia tidak menghukum dengan hukum Allah. Karena tahkim itu berhukum kepada manusia bukan kepada Allah, maka mereka menilai semua orang yang terlibat dalam tahkim telah menjadi kafir.
Terkait tahkim ini, Ibnu Abbas pernah mendatangi dan berdialog dengan kaum Khawarij yang saat itu berkumpul 6000 orang. Ibnu Abbas berkata : apa alasan kalian meninggalkan sepupu dan menantu Rasulullah (maksudnya Ali bin Abi Thalib) serta meninggalkan kaum muhajirin dan anshar?
Mereka menjawab,”karena Ali mengangkat hakim (juru damai) dalam perkara Allah padahal Allah berfirman “Hukum yang ada hanyalah hukum Allah (QS. Al An’am ayat 57, QS. Yusuf ayat 40) bukan hukum manusia atau juru putus.
Ibnu Abbas berkata : kalau aku datangkan dalil dari alquran dan hadis untuk menolak alasan kalian, apa kalian mau? Mereka menjawab “iya”.
Ibnu Abbas lalu membacakan firman Allah dalam perkara membunuh hewan buruan Ketika sedang berihram yang mengembalikan hukumNya kepada Hakim (QS. Al maidah ayat 95).
Ibnu Abbas juga membacakan firman Allah terkait perkara suami istri yang cekcok kepada Hakim (QS. An Nisa ayat 35).
Ibnu Abbas kemudian berkata, Demi Allah lebih penting manakah perkara kelinci dan Binatang buruan dibanding urusan nyawa dan perdamaian umat? Kalian juga tahu jika Allah menghendaki, Dia akan putuskan sendiri tanpa menyerahkannya kepada manusia urusan perkara suami istri yang cekcok kepada Hakim. Bukankah Allah jadikan Keputusan manusia sebagai hukum-Nya. Apakah cukup dalilnya ? mereka menjawa, Iya.
Setelah dialog itu, sebanyak 2000 orang Khawarij sadar dan Kembali ke barisan Ali. Sementara yang lainnya tetap mempertahankan pendapatnya.
Dalam perkembangannya, kaum Khawarij terpecah dalam beberapa sekte yang mengakibatkan berkembangnya konsep kafir sesuai dengan sekte yang dianut. Yang dipandang kafir bukan lagi orang yang tidak menentukan hukum dengan alquran tetapi juga orang yang berbuat dosa besar.
Persoalan masihkan seseorang tetap mukmin atau sudah kafir bila melakukan dosa besar, menjadi perbincangan dan perdebatan yang kemudian melahirkan tiga aliran ilmu kalam.
Pertama kaum Khawari, mereka berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar telah menjadi kafir dalam arti telah keluar dari Islam (murtad) dan oleh karena itu wajib dibunuh. Dengan demikian orang islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, riba, dan dosa-dosa besar lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir
Kedua, sebagai reaksi terhadap pendapat kaum Khawarij muncul aliran murjiah. mereka tidak sependapat dengan kaum Khawarij. Mereka menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan tidak menjadi kafir. Menurut mereka masalah dosa yang dilakukan itu terserah kepada Allah. Bila Allah mengampuni maka ia akan masuk surga, bila tidak diampuni akan masuk neraka. Kaum murjiah juga berpandangan bahwa orang-orang yang terlibat tahkim tetap berada dalam mukmin. Alasan mereka adalah bukankah yang bertikai itu adalah para sahabat Nabi sendiri yang merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat tahkim itu kelak dihadapan Tuhan karena hanya Allah yang tahu apakau para sahabat yang bertikai itu tetap beriman atau sudah menjadi kafir.
Ketiga, aliran muktazilah, menurut muktazilah orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir (sebagaimana pendapat Khawarij) dan tidak pula tetap menjadi mukmin (sebagaimana pendapat murjiah), tetapi menurut mereka berada diantara mukmin dan kafir yakni fasiq.
Dalam pada itu muncul pula pembicaran dan perdebatan mengenai “perbuatan manusia” yaitu apakah perbuatan manusia itu perbuatan Tuhan atau perbuatan manusia secara hakiki. Dari perselisihan ini kemudian muncul dua aliran ilmu kalam yang terkenal dengan nama qadariyah dan Jabariyah.
Menurut qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya (free will, free act). Manusialah menciptakan perbuatannya sendiri. Manusia berbuat baik adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri memilih perbuataan baik itu. Dan bila ia berbuat jahat juga atas kemauan dan kehendaknya berdasarkan kebebasannya memilih perbuatan jahat itu. Jadi bila seseorang mendapat ganjaran berupa surga dan neraka di akhirat nanti itu adalah berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Dalil yang menjadi sandaran diantaranya QS. Al kahfi ayat 29, QS. Fushshilat ayat 40, qs. Al Imrn ayat 165. QS. Ar Ra’d ayat 11.
Adapun jabariyah berpandangan sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam seluruh tingkah lakunya sudah ditentukan oleh Tuhan. manusia tidak mampu mewujudkan suatu perbuatan, semua perbuatan adalah perbuatan Tuhan. baik dan buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya merupakan ketentuan dari Allah. Tidak ada ikhtiar manusia semua berlaku menurut kehendak Allah. Miskin dan kaya, baik dan buruk adalah sudah ketentuan dari Tuhan. Manusia tidak bisa mengubahnya. Manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan. dalil yang menjadi sandaran diantaranya QS. Al An’aam ayat 111, qs. As saffat ayat 96, qs. Al hadi ayat 22, qs. Al anfal ayat 17, qs. Al in san ayat 30.
Pada masa sahabat Nabi, sudah ada kaum muslimin yang berpikir jabariyah. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengadili seorang pencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata,”Tuhan telah menentukan (menakdirkan) aku mencuri.” Umar lalu menghukum pencuri dan mencambuknya berkali-kali. Ketika Keputusan itu ditanyakan kepada Umar, Ia menjawab : Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jild) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Terkait kebebasan pilihan manusia ini, juga dikisahkan bahwa Umar bin Khattab pernah menolak masuk suatu kota yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata,” apakah anda mau lari dari takdir Tuhan ? Umar menjawab, Aku lari dari takdir Tuhan ke Takdir Tuhan yang lain. Perkataan umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia.
Dalam perkembangannya kemudian paham qadariyah dan jabariyah memasuki aliran-aliran ilmu kalam yang ada. Khawarij cenderung ke jabariyah sementara Muktazilah yang rasional mengambil qadariyah sebagai paham mereka. Adapun Asy’ariyah dan Maturidiyah mengambil jalan Tengah antara paham jabariyah dan qadariyah dalam pemikiran kalam mereka.
Demikianlah, masalah pembicaraan dan perselisihan mengenai pelaku dosa besar ini melahirkan tiga aliran kalam dalam Islam yaitu Khawarij, Murjiah dan muktazilah kemudian disusul oleh aliran Qadariyah, jabariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Dan dalam waktu bersamaan juga memunculkan tiga golongan politik yaitu pertama, golongan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan nama syi’ah (pengikut) Ali. Kedua, golongan yang mendukung muawiyah dan ketiga golongan Khawarij yang semula pendukung Ali kemudian keluar menentang Ali dan bersamaan dengan itu menentang Muawiyah
Bahwa dari sini kita bisa melihat bahwa dalam pemikiran keagamaan setiap orang atau setiap kelompok adalah menggunakan dan menafsirkan teks agama (alquran dan hadis) menurut perspektif masing-masing.
Di dalam pemikiran kalam (teologi, tauhid) sering kita mendengar istilah ushul (dasar) dan furu (cabang). Ushul adalah ajaran-ajaran dasar agama yang tidak diperselisihkan lagi seperti Allah maha esa, Muhammad adalah Rasul, hari akhirat itu pasti, surga dan neraka itu ada. Sementara furu adalah hasil interpretasi dari ajaran dasar yang diperselisihkan pemahamannya misal surga dan neraka itu bersifat jasmani atau rohani, masalah siapa mukmin dan siapa kafir, masalah keadilan Tuhan, masalah perbuatan manusia, kekuasaan Allah dan kebebasan manusia dan apakah manusia dapat melihat Allah di akhirat nanti.
Dalam membahas tema-tema tersebut para tokoh-tokoh pemikir Islam menggunakan rujukan alquran dan hadis Nabi (disebut dalil naqli) dan menggunakan argumentasi rasional (dalil aqli). Walaupun mereka sama-sama mengacu kepada dalil naqli dan juga dalil aqli namun banyak terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Nabi saw mengatakan,”perbedaan diantara umatku adalah Rahmat.
Bahwa intinya perbedaan pendapat dikalangan umat Islam lebih banyak terjadi pada masalah furu (cabang) dimana sebagian besar hukum agama (syariah) lahir dari pemikiran keagamaan (ijtihad) yang kemudian menghasilkan ratusan madzhab fiqh yang kemudian terseleksi oleh Sejarah ke dalam lima mazhab besar yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali dan jafari.
Bahwa terkait penggunaan rasio ini (dalil aqli), walaupun aliran muktazilah yang sangat mengutamakan rasio dalam memahami agama mulai redup dan ditingggalkan, namun bukan berarti pemikiran rasional mundur. Para filosof besar seperti Al Kindi, Ibnu Zina, Al Farabi mempunyai paham yang sejalan dengan muktazilah yang mengandalkan pemikiran rasional. Bagi mereka Islam adalah agama rasional, sejalan dengan akal dan bahkan didasarkan atas akal, pemikiran rasional adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan atas akal. Iman harus berdasarkan keyakinan bukan kepada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan kepada Tuhan, ilmu-Nya serta kemahakuasaan-Nya dan kepada rasul. Bagi mereka kitab suci memerintahkan dan mendorong kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui ilmunya)
Pada abad 20 muncul pemikir-pemikir muslim yang mengembangkan paham rasional demi mengembalikan Kembali kejayaan Islam seperti Muhammad Abduh (Mesir), Muhammad Iqbal dan Fazlurrahman (Pakistan), Amin Rais, Nurcholis Madjid (Indonesia) dan lain sebagainya. Menurut mereka salah satu yg membuat barat maju adalah terletak pada pikiran orang-orangnya yang bebas untuk berpikir kritis dan masyarakat muslim untuk maju bisa mengadopsi gagasan dan ilmu barat tanpa meninggalkan islam itu sendiri.
Bahwa dari kalangan akademisi juga muncul pemikir-pemikir Islam yang melakukan kajian dengan menggunakan pendekatan rasional dalam Upaya untuk memahami konteks historis dari pewahyuan alquran, hadis dan berbagai kelompok keagamaan yang muncul sepanjang Sejarah Islam. Mereka juga berupaya mengagas dan memperkenalkan tradisi Islam modern yang tidak terbelenggu dengan tradisi masa lalu. Diantara pemikir-pemikir Islam tersebut adalah Ahmad Khan (India), Abdul Karim Soroush (Iran), Muhammad said Ramadhan Al-Buti (suriah), Ahmad Amin (Mesir), Muhammad Taha (sudan), Muhammad Abid Al Jabiri (Maroko), Muhammad Arkoun (Aljazair) dan Hamid Abu Zayd (Mesir). Pikiran-pikiran mereka banyak menginspirasi pemikir-pemikir muda muslim Indonesia yang kemudian mendirikan komunitas Jaringan Islam liberal (JIL) seperti Ulil Abshar Abdala, luthfi Assyaukanie, musdah mulia, dan lain sebagainya. Bagi kelompok liberal ini islam harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan untuk bisa meraih kemajuan maka nilai-nilai islam harus sejalan dengan nilai-nilai liberalisme seperti demokrasi, kemajuan ekonomi, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan sebagainya.
Namun sebagaimana muktazilah, kelompok pemikir-pemikir rasional diatas mendapat tantangan dari pemikir Islam yang lain yang mengkritik pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut yang dianggap liberal bahkan dicurigai sebagai orientalis yang ingin melemahkan Islam. Pemikir Indonesia yang melawan pemikiran liberal ini diantaranya Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi dan pemikir-pemikir Islam lainnya yang tergabung dalam Institute for the study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
Penutup
Bahwa melihat perkembangan awal pemikiran di dalam Islam maka kita dapat menyimpulkan bahwa tumbuh dan berkembangnya pemikiran keagamaan adalah merupakan respon umat Islam dalam menjawab tantangan pada zamannya. Responnya beragam dimana ada yang berpikiran ekstrem, moderat dan yang ada di antara keduanya. Pemikiran tersebut muncul dalam bentuk tesis, anti tesis yang kemudian melahirkan sintesa. Ketika Khawarij muncul dengan pandangan ekstrem yang menghukum kafir orang mukmin pelaku dosa besar, maka murjiah kemudian tampil dengan pandangan berbeda yang memandang tetap mukmin pembuat dosa besar, lalu muktazilah muncul mengambil posisi jalan Tengah diantara keduanya dengan mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir (sebagaimana pendapat Khawarij) dan tidak pula tetap menjadi mukmin (sebagaimana pendapat murjiah), tetapi menurut mereka berada diantara mukmin dan kafir yakni fasiq (teori al-manzilah bayn al manzilatayn).
Dan akhirnya suatu aliran pemikiran atau kelompok keagamaan itu bisa bertahan sampai sekarang dan memiliki banyak pengikut adalah disebabkan dua hal yaitu pertama adanya dukungan kekuasaan yang menjadikannya sebagai mazhab negara, dan kedua karena terdapat Lembaga atau organisasi yang menjadi basis atau pusat Gerakan dan secara berkesinambungan melahirkan murid atau kader yang menjadi tokoh yang berpengaruh yang kemudian hari menyebarkan ajaran tersebut.
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar