MEMBACA KELAKUAN POLITISI
“Politisi itu semuanya sama, mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana (Nikita Khrushchef)
-----------------------------------------
Kalau kita melihat rekam jejak para politisi maka kita sulit menemukan mereka yang betul-betul konsisten dengan pilihan politiknya. Kita lihat saja. Dulu Anis baswedan adalah pendukung Jokowi dan sempat diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tapi sekarang justru berseberangan dengan Presiden Jokowi. Dulu Anis Baswedan pernah mengatakan bahwa dia tidak akan maju menjadi calon Presiden (capres) jika Prabowo bertarung di Pilpres 2024, mengapa ? karena dia tidak ingin mengkhianati Prabowo yang telah mengusungnya menjadi Gubernur DKI Jakarta.
(tribunnews.com/2022/09/05/anies-baswedan-tidak-akan-maju-nyapres-jika-prabowo-bertarung-di-pilpres-2024) dan (https://kumparan.com/kumparannews/anies-saya-tidak-ingin-mengkhianati-prabowo)
Tapi sekarang Anis Baswedan menjadi calon kuat lawan Prabowo dalam pilpres 2024 ini.
Dulu yang mengorbitkan Basuki Cahaya Purnama alias Ahok menjadi Wakil Gubernur dan kemudian menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah Prabowo, tapi pada saat pilpres 2019, Ahok lebih mendukung capres Jokowi daripada Prabowo. Begitu pula dengan Jokowi, Dulu dia adalah walikota solo yang kemudian dibawa Prabowo ke DKI Jakarta untuk menjadi Gubernur. namun pada Pilpres 2014 Jokowi menjadi Presiden dengan mengalahkan Prabowo. Itulah makanya ada politisi yang mengatakan bahwa Prabowo adalah orang yang paling banyak dikhianati.
Lebih baru lagi, Dulu surya Paloh sangat mesra dengan Jokowi bahkan Ketua Parpol pertama yang mendeklarasikan Jokowi jadi Capres pada 2014 tapi sekarang mereka berseberangan. Yang Aneh lagi Prabowo dulu adalah rival kuat Jokowi dalam Pilpres 2019 tapi sekarang menjadi Menteri Jokowi. Ali Mokhtar Ngabalin dulu Juru kampanye Prabowo tapi sekarang menjadi Juru bicara Jokowi yang paling militan. Yang lebih miris adalah Airlangga Hartarto, Dia ketua Golkar, dekat dengan Jokowi bahkan diangkat menjadi Menteri Namun sekarang hendak disingkirkan.
Semakin banyak anda menyorot pada rekam jejak para Politisi maka anda akan sulit menemukan mereka yang konsisten dengan pilihan politiknya. Mereka bahkan tidak peduli dan berterima kasih kepada orang yang telah membesarkan namanya. Di Partai PDI saja, kita akan melihat adanya kepentingan politik yang berbeda diantara Capres Ganjar Pranowo, Presiden Jokowi dan Ketua Partai Megawati.
Kalo kita menengok ke belakang pasca reformasi maka semua elit partai politik itu dulunya sebenarnya adalah kader Golkar yang Ketika orde baru tumbang kemudian migrasi ke mana-mana. Ada yang mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai lain. Pemain politiknya itu-itu saja dan yang menjadi pejabat di pemerintahan berputar-putar diantara mereka saja. Anda melihat mereka bertengkar di layar televisi tapi itu hanya sandiwara saja karena sesudah itu mereka berpelukan di belakang layar. Begitulah dinamika politik. Lawan bisa berubah menjadi kawan dan kawan menjadi lawan.
Jadi tidak usah fanatik dukung mendukung sana-sini apalagi sampai bertengkar dengan teman sesama anak bangsa hanya untuk membela pilihan anda. Jangan pula anda terlalu mengharap tokoh-tokoh politik itu idealisme karena yang ada pada mereka adalah pragmatisme. Kepentingan jangka pendek untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Karena kepentingan uang dan kekuasaan pula mereka yang dulunya berseberangan bisa menjadi satu perahu. Itulah politik.
Di dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi karena tujuannya adalah untuk kekuasaan. Jadi jangan heran Ketika politisi banyak yang kemudian pindah-pindah partai karena semua ada kepentingan. Dulu Ketika Jaksa Agung dari Nasdem banyak kepala daerah pindah partai ke Nasdem supaya tidak diusut korupsinya. Mereka cari aman. Perpindahan politisi dan pejabat publik dari satu parpol ke parpol lain alias kutu loncat itu biasa terjadi karena mereka tidak memperjuangkan ideologi. Yang mereka perjuangkan adalah kepentingannya sendiri.
Pekerjaan politisi adalah mencari kekuasaan. Ketika sudah mendapatkan kekuasaan maka mereka biasanya akan berusaha memproteksi kekuasaannya. Lawan politik harus dipukul tanpa ampun bahkan tidak peduli itu sahabat tapi kalau mengancam kekuasaan maka harus dijegal sebelum menjadi ancaman.
Untuk mendapatkan kekuasaan dan memenangkan pemilu, Mereka akan melakukan segala cara untuk mengalahkan lawan politiknya. Dari menggunakan buzzer sampai dengan melakukan black campaign untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Politik yang seharusnya adu gagasan, adu pemikiran, adu program berubah menjadi lahan fitnah dan pembunuhan karakter.
Etika dan kejujuran telah hilang dalam politik kita. Etika politik mengajarkan kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan. Namun yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Mereka menghalalkan segala cara untuk menang dan mempertahankan kekuasaannya.
Mereka hanya membutuhkan rakyat Ketika menjelang pemilu. Ketika menjelang pemilu mereka tiba-tiba menjadi baik kepada rakyat. Banyak diantara politisi itu tiba-tiba merakyat, mereka rela turun ke pasar, sawah dan bahkan masuk gorong-gorong. Mereka suka menebar Janji manis untuk menarik perhatian masyarakat, dan mereka tidak peduli apakah janji itu akan mereka wujudkan nantinya atau mereka lupakan.
Dulu mereka tidak pernah menginjak pesantren tiba-tiba menjelang pemilu mereka rajin mendatangi kyai di pesantren. Lidah mereka berbusa-busa saat berbicara tapi saat menjabat tidak mau mendengar aspirasi rakyat.
Untuk mendapatkan kekuasaan, maka dalam politik jangan bicara moralitas kepada mereka karena mereka akan mencibir anda sok suci dan munafik. kemunafikan adalah perilaku mereka sehari-hari. Bagi mereka Untuk mendapatkan kekuasaan orang harus keras, licik, dan pintar. Tentu tidak semua politisi berperilaku demikian tapi disini kita sedang bicara perilaku yang banyak dilakukan oleh politisi
Komentar
Posting Komentar