Akibat perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, maka Keberadaan ruang informasi publik sekarang ini tidak hanya dipenuhi oleh pemberitaan dari media mainstream seperti televisi dan surat kabar, tetapi juga media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Twitter dan Instagram. Media sosial semakin memiki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi opini masyarakat karena hampir semua masyarakat saat ini menggunakan Handphone. Atas nama kebebasan berekspresi, setiap orang kini bebas melontarkan opini, mengkritik, dan menyampaikan apa yang diyakininya benar.
Fenomena meningkatnya pengguna sosial media ini juga membuat terbukanya peluang profesi baru yaitu Buzzer. Buzzer dalam istilah media sosial adalah sebuah profesi atau pekerjaan di mana orang tersebut menggunakan media sosial untuk mempromosikan sesuatu, atau menyuarakan suatu kepentingan. buzzer kian tumbuh subur di era digital lantaran terus munculnya kebutuhan untuk menyebarkan opini publik baik dari pemerintah, partai politik dan politisi. Peran buzzer dianggap sangat signifikan dalam perpolitikan untuk membentuk opini publik karena dengan media sosial mereka dapat bekerja dengan cepat untuk menyebarkan informasi, atau memberikan tanggapan kepada warganet terhadap isu tertentu bahkan tak jarang mereka dapat menviralkan tokoh atau isu dimasyarakat untuk diberitakan oleh media-media mainstream.
Karena peran Buzzer dianggap semakin penting maka Buzzer telah menjadi profesi baru yang bisa mendatangkan uang banyak. Walaupun tidak semua buzzer adalah karena motif ekonomi, namun mereka yang professional dalam menanggapi isu-isu tertentu biasanya memang mendapat bayaran dari kegiatannya. Dan karena mereka bekerja tergantung bayaran maka para Buzzer ini bekerja adalah tergantung siapa yang menggunakan jasanya. Kalau mereka dipakai pemerintah maka tugas mereka adalah mendukung kebijakan pemerintah dan menyerang pengkritik pemerintah sebaliknya kalau mereka digunakan oleh Politisi maka tugasnya adalah meningkatkan citra positif politisi itu di mata masyarakat atau untuk membela ketika politisi itu dikritik. Dari sinilah kemudian muncul istilah buzzer istana dan buzzer politik.
Biasanya dalam bekerja para buzzer ini masing-masing punya puluhan akun media sosial yang mereka manfaatkan untuk meramaikan isu di media sosial. Karena mereka memiliki banyak Akun di media sosial maka setiap buzzer biasanya menggunakan identitas palsu atau identitas aslinya disembunyikan, Namun kalau seorang buzzer ini akun nya jelas, menggunakan nama asli dan latar belakangnya jelas, maka mereka ini disebut influencer. Seorang influencer biasanya berasal dari berbagai macam profesi, ada politisi, dosen, pengamat, aktifis, ormas dan sebagainya. Orang-orang seperti Denny siregar, Ade Armando, Abu Janda, eko kuntadhi adalah seorang influencer. Abu janda yang nama aslinya permadi Arya adalah seorang influencer dan telah mengaku bahwa dia dibayar bulanan dengan nominal besar untuk pekerjaannya tersebut (https://www.tribunnewswiki.com/2021/02/08/video-pengakuannya-sebagai-buzzer-viral-abu-janda-akui-dibayar-mahal-untuk-jadi-influencer)
Influencer ini umumnya memiliki jumlah pengikut atau followers banyak dan punya pengaruh kuat bagi followers mereka sehingga pengaruh mereka biasanya lebih kuat dalam menggalang opini. Seorang influencer biasanya bertugas untuk menanggapi sebuah isu yang sedang trending dengan pembahasan yang menarik untuk mengundang ketertarikan banyak pengguna sosial media untuk mengikutinya, sekali lagi ya untuk menggalang opini masyarakat sesuai dengan diinginkannya.
Keberadaan buzzer semakin dibutuhkan saat musim politik. pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menganalisis, ada empat faktor yang membuat buzzer tumbuh subur saat musim politik. Pertama, adanya pertarungan politik yang hanya ada dua kandidat. Kedua, dimainkan di wilayah yang masih kuat isu agama dan etnis. Ketiga, ada persaingan antarkandidat yang selisih elektabilitasnya sangat tipis. “Keempat, buzzer tumbuh di masyarakat yang memiliki literasi politik rendah terhadap media sosial (https://www.alinea.id/media/cara-buzzer-bekerja-dan-alarm-bahaya-di-baliknya-b1Xop9okY)
Bahwa karena peran buzzer dianggap semakin penting dalam politik maka semakin banyak pihak yang menggunakan jasa buzzer ini. Banyak tokoh oposisi dan pengamat yang menuding pemerintah saat ini menggunakan jasa para buzzer dan influencer untuk melawan kritik. Pemerintah karena takut dikritik maka kemudian memakai jasa buzzer untuk melawan kritik itu dan menyerang para pengkritiknya. Itulah maka tidak sedikit yang menganggap keberadaan Para buzzer telah merusak demokrasi. Fungsi kontrol rakyat terhdap pemerintah tidak jalan karena mereka langsung berhadapan dengan para buzzer ini. Yang menjawab kritik kepada pemerintah justru adalah buzzer-buzzer ini padahal kritik yang diberikan oleh masyarakat seharusnya diterima sebagai bentuk kontrol terhadap Pemerintah bukan justru dilawan dengan kontra narasi.
Keberadaan para buzzer di media sosial juga dianggap telah menimbulkan keresahan. Mereka dianggap membuat media sosial hanya menjadi ajang adu caci maki dan mendorong perpecahan di masyarakat. Bagaimana tidak Kalau mereka diserang, maka mereka balik menyerang pribadi pengkritik. Bahkan tidak jarang pekerjaan mereka adalah menyebar kabar bohong, fitnah dan membully. Kalo kita lihat komentar dan cuitan-cuitan mereka di media sosial, pekerjaan mereka memang tampaknya hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bahkan munculnya sebutan Kadrun (kadal gurun), cebong, dan kampret di media sosial kita adalah dilatar belakangi oleh karena adanya polarisasi perbedaan pendapat dan ideologi. Kadrun adalah stigma bagi mereka (Islam) yang dituduh berpaham radikal, sementara istilah cebong dan kampret muncul pada saat pilpres yang lalu dimana Cebong adalah sebuah julukan terhadap para pendukung Joko Widodo sedangkan "kampret", adalah sebuah julukan untuk para pendukung Prabowo Subianto. Terlepas dari istilah nama-nama tersebut yang jelas itu adalah memecah belah masyarakat kita
KEBERADAAN PARA BUZZER HARUS DITERTIBKAN
Keberadaan para Buzzer harus segera ditertibkan, mengapa ? karena dari sisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, narasi negatif yang sering disebarkan para buzzer di media sosial seperti isu SARA sangat membahayakan keberagaman dan kebersamaan sebagai bangsa, apalagi literasi sebagian besar masyarakat kita masih sangat rendah sehingga sangat rentan dipengaruhi isu yang bernuansa SARA. orang-orang seperti Abu Janda, Denny Siregar, dan Ade Armando seharusnya segera ditertibkan karena berpotensi semakin menimbulkan keresahan dimasyarakat karena tak jarang komentar dan cuitan mereka di media sosial sering bersinggungan dengan masalah SARA. Kasus Ferdinand Hutahaean yang ditahan kepolisian baru-baru ini akibat cuitannya di media sosial yang bernuansa SARA sudah cukup menjadi pembelajaran kepada kita.
Di bidang politik, Keberadaan buzzer dianggap telah merusak demokrasi dengan memanipulasi opini, menyebar hoaks dan ujaran kebencian. Tidak ada kejelasan siapa sebenarnya pihak yang memerintah, menggerakkan, dan membayar mereka. Tidak ada pihak yang mengaku telah memelihara buzzer dan ini menandakan bahwa buzzer bayaran memang tidak bertanggung jawab. Pemerintah seharusnya jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme dan ekstrimisme tapi ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme ini, mengapa ? karena dampaknya tidak kalah dengan radikalisme itu sendiri.
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar