DEMOKRASI YANG MELELAHKAN
Dulu, bentuk Negara di dunia ini adalah kerajaan dimana kekuasaan tertinggi adalah ditangan raja. Rakyat tidak mungkin bisa menjadi raja kalau bukan keturunan dari keluarga raja. Jabatan raja adalah warisan bukan pemilihan. namun ketika demokrasi datang di barat dan diekspor kedunia, otoritas raja itu berpindah ke tangan rakyat. Kerajaan berubah menjadi Negara. Kedaulatan apa saja adalah milik rakyat. tetapi mustahil seluruh rakyat jadi raja atau pemimpin, maka mereka bikin pemilu untuk memilih siapa yang jadi Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, DPR dan DPRD. Manusia percaya inilah sistem yang sempurna. Sistem inilah yang disebut demokrasi. Di dalam demokrasi semua rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk jadi pemimpin.
Namun manusia lupa tidak ada sistem yang sempurna, demokrasi juga memiliki kelemahan. Demokrasi bukanlah ukuran kualitas melainkan kuantitas. Dalam demokrasi dengan system one man one vote, suara seorang guru besar ilmu Politik misalnya disamakan dengan suara seorang buta huruf. jadi kalau ada 1 juta orang memilih pemimpin dan 600 ribu orang itu berpikiran salah dalam memilih pemimpin A, maka jadilah A seorang pemimpin. Itulah demokrasi dimana angka dan jumlah yang menentukan bukan kualitas. Padahal dalam memilih pemimpin dibutuhkan kematangan dan kecerdasan untuk menilai layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin.
Inilah yang disadari oleh pendiri bangsa kita dengan tidak menelan mentah-mentah demokrasi liberal ala barat tapi demokrasi yang disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam bahasa, ras, suku dan agama. Dan sistem demokrasi yang dipilih adalah demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan rakyat memilih wakil-wakilnya di parlemen/DPR(D), dan wakil-wakil rakyat yang di parlemen inilah yang akan bermusyawarah, berdebat, adu argumentasi untuk menentukan pilihan siapa yang layak menjadi Presiden, Gubernur, Bupati dan walikota. Mereka berdebat mati-matian tapi hanya di dalam forum, setelah selesai proses pemilihan semua bersatu kembali demi kepentingan bangsa dan Negara.
Tapi setelah era reformasi datang, rakyat tidak percaya lagi dengan wakil-wakilnya untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati dan walikota. mereka ingin memilih langsung pemimpinya. Rakyat dan Pemerintah kemudian sepakat mengadakan pemilihan langsung untuk memilih Presiden dan kepada Daerah. kita meninggalkan demokrasi Pancasila dan memberlakukan penuh demokrasi liberal. partai-partai Politik tidak lagi dibatasi. Sudah empat kali sejak era reformasi kita mengadakan pemilihan langsung Presiden dan Kepala daerah. Namun ternyata pemilihan langsung tidak seindah yang dibayangkan.
------------------
Belum lama ini Menteri pertahanan yang juga calon presiden terpilih Prabowo subianto mengatakan bahwa demokrasi yang saat ini dilaksanakan di Indonesia begitu melelahkan dan menelan biaya yang sangat besar.
Pernyataan Prabowo ini menimbulkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Namun terlepas pro dan kontra pernyataan Prabowo tersebut, saya sependapat bahwa Sistem pemilihan langsung yang kita terapkan saat ini memang sangat melelahkan. Bagaimana tidak melelahkan, Indonesia ini memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia dengan 17.000 pulau yang tersebar di berbagai wilayah yang kadang sulit dijangkau dengan dengan transportasi biasa. untuk menyelenggarakan pemungutan suara kita memerlukan 820 ribu tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh Indonesia. Belum lagi penyelenggara dan pelaksana pemungutan suara tidak bisa dijamin independensinya untuk berlaku jujur dan adil sehingga hal ini rawan terjadinya kecurangan, penyimpangan dan pelanggaran yang dapat menimbulkan gesekan dan konflik di Masyarakat.
Kita telah memilih untuk melaksanakan demokrasi langsung tapi kita tidak mengkritisi apakah demokrasi langsung ini sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa kita. Sejak dipraktikkan pada zaman yunani kuno, Plato dan Aristoteles telah melontarkan kritiknya terhadap demokrasi langsung ini. mereka mengatakan bahwa proses politik yang melibatkan seluruh rakyat tanpa kecuali untuk ikut memilih dianggap potensial melahirkan anarki oleh karenanya praktek demokrasi harus dibatasi. Untuk menghindari anarki, hak politik (untuk menjadi pejabat negara) tidak boleh diberikan kepada siapa saja melainkan hanya untuk mereka yang terpilih, yakni para philosopher kings (orang-orang yang berpengetahuan).
Hal senada disampaikan oleh Francis fukuyama dalam bukunya the End of History and the last Man, beliau menulis bahwa sangat sulit dibayangkan sebuah demokrasi bisa berfungsi dengan baik dalam masyarakat yang mayoritasnya buta aksara (kurang pendidikan dan pengetahuan), dimana rakyatnya tidak dapat memahami dan mencerna informasi yang tersedia untuk dapat melakukan pilihan yang benar.
Demokrasi langsung yang kita terapkan sebenarnya tidak cocok dengan kultur asli bangsa kita yang lebih mengutamakan musyawarah (QS. As syura ayat 38). jadi sudah saatnya Kita harus merubah sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini. Sistem pemilihan langsung yang sangat mengandalkan kekuatan uang, membuat sekelompok orang, sekelompok pemodal atau kepentingan asing dengan mudah dan murah membajak negeri ini melalui proses demokrasi. Oleh karena itu kedepan, kita harus mengembalikan sistem pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kembali kepada kepada DPR, DPRD sebagaimana yang diamanatkan oleh sila ke 4 pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dimana DPR dan DPRD sebagai representasi wakil rakyat yang akan bermusyawarah untuk memilih Presiden atau Kepala daerah. Memilih pemimpin jangan diserahkan kepada semua orang karena dalam memilih pemimpin dibutuhkan kematangan emosi dan kecerdasan dan tidak semua orang memilih kapasitas itu.
Mengapa kita harus Kembali Ke sistem perwakilan untuk memilih presiden dan kepala daerah ? karena sistem pemilihan langsung yang kita terapkan selama ini ternyata lebih banyak membawa madharat daripada manfaatnya karena beberapa hal :
Pertama, Pemilihan langsung memakan ongkos yang sangat besar, baik bagi negara maupun bagi peserta pemilu.
Untuk menyelenggarakan pemilu dan pilkada langsung negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Untuk pemilu 2024 saja, pemerintah menganggarkan dana sebesar 71.3 triliun (https://www.detik.com/sumut/bisnis/d-7190793/ternyata-segini-besaran-anggaran-pemilu-2024)
Apabila digabung dengan biaya pilkada serentak diseluruh Indonesia pada nopember 2024 ini maka anggaran negara yang dihabiskan mencapai ratusan triliun rupiah.
Hanya untuk memilih pemimpin lima tahunan negara harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Bayangkan apabila uang ratusan triliun itu digunakan untuk pembangunan. Berapa jalan, jembatan, dan sekolah yang bisa dibangun dan diperbaiki.
Bukan hanya negara yang harus mengeluarkan biaya besar untuk membiayai pemilu langsung. Seorang calon presiden maupun calon kepala daerah yang ingin maju dalam pemilihan juga harus mengeluarkan modal yang sangat besar. Konon biaya untuk pemilihan presiden adalah minimal 5 triliun atau bahkan tidak terhingga sementara seseorang yang hendak menjadi calon anggota DPR memerlukan modal di kisaran Rp 5 miliar hingga 15 miliar
(https://www.cnbcindonesia.com/news/20230525115102-4-440499/ngeri-modal-jadi-capres-di-indonesia-minimal-rp-5-triliun)
Lalu bagaimana dengan biaya pilkada sendiri?
Seorang kandidat untuk bisa maju menjadi kepala daerah maka harus mempersiapkan uang yang banyak. Untuk menjadi calon bupati/Walikota rata-rata dana yang dibutuhkan adalah Rp 20-50 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih paling hanya 15 juta perbulan. Begitu juga biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar.
(https://nasional.kompas.com/read/2020/07/23/11272001/kpk-ungkap-biaya-pencalonan-kepala-daerah-rp-20-miliar-rp-100-miliar)
uang yang banyak tersebut digunakan diantaranya mahar untuk mendapat dukungan politik dari partai, membeli suara konstituen, membayar tim sukses, membayar konsultan dan biaya-biaya untuk media ruang publik, seperti baliho, iklan, dan spanduk. Akhirnya yang bisa menjadi kepala daerah hanyalah orang yang punya uang banyak.
Ada yang menuding ongkos pemilu yang besar karena kita menerapkan sistem pemilu dengan proporsional terbuka sehingga ada wacana untuk mengganti dengan pemilu proporsional tertutup. Perbedaan antara proporsional terbuka dan tertutup itu terdapat pada cara memilihnya. Kalau untuk pemilu proporsional terbuka, pemilih mencoblos wajah masing-masing calon. Namun untuk pemilu proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik dan tidak bisa memilih kandidat secara langsung. Sistem pemilu proporsional tertutup sendiri pernah diterapkan Indonesia sejak pemilu 1955 hingga 1999.
Menurut saya masalahnya bukan hanya pada sistem proporsional terbuka dan tertutup ini tapi pada pemilihan langsungnya yang tidak sesuai dengan kultur asli bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan msuyawarah dalam memilih pemimpin.
Demokrasi langsung yang kita jalankan atas nama kedaulatan rakyat sebenarnya hanya kamuflase karena kedaulatan sesungguhnya bukan ditangan rakyat tapi di tangan pemodal sehingga jangan heran apabila banyak pengusaha yang kemudian berbondong-bondong terjun ke Politik dan partai Politik senang menampung mereka. Artis dan pelawak yang banyak duit juga tidak ketinggalan terjun ke Politik karena hanya yang punya duit yang bisa diusung oleh partai Politik. Dalam sistem ini anda jangan berharap bahwa hanya dengan modal kecerdasan dan integritas moral anda akan menjadi pemimpin. Modal anda nomor satu adalah uang, dan popularitas. itulah mengapa dalam sistem demokrasi liberal ini semakin banyak pengusaha dan artis yang terjun ke politik. bukan bermaksud meremehkan artis tapi orang-orang yang berkaliber saja begitu sulit mengatasi masalah bangsa ini.
Mengapa banyak pengusaha yang masuk Politik ? Apa tujuannya ? sulit melepaskan mereka dari kepentingan bisnis. pengusaha yang terjun ke politik akan sulit untuk memisahakan antara urusan bisnis dan jabatan publik. mana sektor bisnis privat dan mana sektor publik sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Pengusaha yang tidak bisa membedakan urusan bisnis ini cenderung akan mengalihkan anggaran Negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pada kepentingan perusahaan miliknya sendiri.
Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga belum bisa mandiri untuk membiayai dirinya. walaupun secara resmi menurut Undang undang sumber dana mereka peroleh dari iuran atau sumbangan dari anggota dan perseorangan, badan usaha maupun subsidi dari Negara namun itu jauh dari cukup untuk pembiayaan partai. Lalu dari mana tambahan dana yang lain ? Tentunya bantuan dari pemodal.
Partai politik masih mengandalkan pembiayaan dari luar. Padahal selama Partai Politik masih tergantung dengan pembiayaan dari luar maka ini sangat berbahaya Mengapa ?
Mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Ketua MPR yang juga pernah menjadi calon ketua Umum Golkar, Bambang soesatyo. Dia membuka rahasia yang sangat besar, yang sebenarnya bukan rahasia karena baunya sudah lama di cium hanya tidak bisa dibuktikan.
Untuk menguasai partai politik, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 Triliun, artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9, maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 Triliun. Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli. Cukup dua pertiga suara saja. Pilih 3-4 parpol dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5-6 Triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia. Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD.
(https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/290570/ketua-mpr-paling-mahal-rp1-triliun-untuk-kuasai-parpol)
Hanya dengan uang 6 sampai 9 Triliun mereka menguasai Indonesia. Sangat murah. Lalu siapa pemilik modal itu? Ya tidak jauh-jauh, mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia. Yang kita khawatirkan kalau mereka juga sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari pemilik korporasi global, maka apa jadinya Negara ini.
Kedua, sistem pemilihan langsung yang kita terapkan saat ini hanya akan menyuburkan politik dinasti. Presiden dan Kepala daerah yang sudah berkuasa dapat terus menumpuk sumber daya dari kekayaan hingga mesin politiknya guna melanggengkan kekuasaan untuk penerusnya. Seorang Kepala daerah yang sudah dua kali menjabat biasanya akan menunjuk lagi dari keluarganya sendiri. padahal pada dasarnya dia ingin mempertahankan kekuasaan dengan menjadikan keluarga sendiri sebagai kepanjangan tangannya.
Untuk pilkada serentak pada tahun 2024 ini kita menyaksikan kembali politik dinasti marak. kebanyakan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah kembali didominasi keluarga dan sanak saudara. Kepala daerah yang sementara menjabat atau telah menjabat dua periode akan memunculkan istri, anak, menantu, keponakan untuk mencalonkan diri menjadi Kepala daerah baik untuk Pemilihan Gubernur maupun Bupati atau walikota. Banyak kejadian dalam pilkada dimana setelah sang Ayah menyelesaikan tugasnya sebagai walikota atau Bupati dan kembali maju sebagai calon Gubernur, maka sang Anak mengisi jabatan yang ditinggalkan anaknya. Kejadian seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Apakah politik dinasti salah? Tentu tidak, karena konstitusi menjamin hak setiap orang untuk berpolitik baik untuk memilih maupun dipilih termasuk untuk mencalonkan diri menjadi kepala dan wakil kepala daerah.
Namun ini adalah sebuah ironi. Ketika kita berusaha untuk menghilangkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sekarang justru Kolusi dan Nepotisme kita legalkan dalam Undang-undang dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Istri, anak, Keponakan untuk menggantikan Suami, Bapak dan Paman sebagai Kepala Daerah. Demokrasi dengan pilkada langsung yang kita harapkan memberikan kesempatan kepada semua orang untuk berkompetisi menjadi kepala daerah justru memberikan ruang untuk memonopoli kekuasaan hanya dari kalangan keluarga tertentu.
Politik dinasti rentan untuk terjadinya korupsi. lihat saja misalnya semua daerah yang mengidap politik dinasti, tidak bebas korupsi, seperti terjadi di Banten, kakak adik kena kasus korupsi. Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara – Syaukani Hassan Rais. Di Klaten Jawa tengah Bupati Sri Hartini yang memimpin Klaten berkat dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo. Tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan.
Ini akhirnya akan terus menyuburkan terjadinya Korupsi, Kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan sistem seperti ini sulit kita mengharapkan pemimpin yang bisa memajukan daerahnya karena kekuasaan cenderung hanya akan diarahkan untuk menguntungkan kroni dan keluarga pemilik dinasti politik.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi juga menunjukkan kegagalan kepala daerah dalam menjalankan amanahnya dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Kegagalan tersebut juga menunjukkan bahwa sistem pilkada langsung yang menghasilkan kepala daerah tersebut perlu di koreksi kembali. Penyebab kepala daerah tersandung korupsi sebenarnya adalah imbas dari pilkada langsung yang menghabiskan biaya yang sangat besar sehingga memaksa kepala daerah untuk mengganti pengeluaran untuk biaya pilkada tersebut. Pilkada adalah perjudian besar-besaran. untuk kalah dalam pilkada anda harus mengeluarkan biaya yang besar apalagi untuk menang.
Biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah umumnya adalah kepada partai pendukung sebagai syarat untuk mendapat dukungan maju dalam pemilihan. Tentu tidak semua Partai Politik memungut mahar, tetapi tentunya juga tidak ada makan siang gratis.
Perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya terkait dengan hukum dan administrasi tapi banyak terhubung dengan aspek politik yang salah satunya adalah menggunakan anggaran Negara untuk pembiayaan politik. Dalam level daerah misalnya, dana bansos atau hibah banyak digunakan untuk kampanye tim sukses kepala daerah atau dalam level nasional Kasus-kasus seperti buloggate, bank century, dan lain-lain tidak bisa dilepaskan dari tudingan ini. Namun korupsi politik ini masih sulit disentuh karena penegakan hukum cenderung masih sangat lemah apabila dihadapkan kepada partai politik. Mengapa ? Karena saat ini pengisian jabatan untuk pencalonan Kapolri, Jaksa Agung, anggota Komisi Yudisial, KPK, KPU dan sebagainya sangat ditentukan oleh apa maunya partai politik (yang berkuasa).
Ketiga, Pemilihan langsung berdampak buruk bagi moral masyarakat kecil yang masih rendah pendidikan dan ekonominya. Dengan adanya politik uang dan jual beli suara terjadi, masyarakat digoda dengan suap untuk mencoblos suara. Rakyat tidak memilih berdasarkan rasionalitas tapi siapa yang membayar itu yang mereka pilih. Ini sangat tidak sehat bagi Pendidikan politik rakyat. akibat dari pemilihan langsung ini maka Politik identitas yang membawa isu-isu agama juga menguat. Rakyat terbelah dan terpolarisasi mengikuti pilihan politik masing-masing dan rawan terjadinya konflik sosial. Imbas dari pilkada langsung yang memakan biaya mahal membuat semakin banyak Kepala daerah yang terjerat kasus Korupsi. konflik horizontal juga lebih sering terjadi dimana-mana dan munculnya buzzer-buzzer yang memproduksi hoaks dan ujaran kebencian yang membuat bangsa akita semakin terbelah.
Keempat, kedepan pemerintah perlu menyederhanakan partai politik cukup menjadi 2 partai saja dan pendanaannya dibiayai penuh oleh negara.
Pada pemilu 1955 jumlah parpol yang memperebutkan kekuasaan mencapai puluhan partai politik. Namun pada era orde baru jumlah parpol kemudian dibatasi hanya 3 partai politik saja yaitu Golkar, PDI dan PPP. Tapi sejak kita melakukan reformasi kita justru kembali mundur kebelakang dengan membolehkan kembali banyaknya partai politik berdiri.
Antropolog Amerika, Clifford Geertz pernah memperingatkan agar Indonesia yang sangat beragam suku dan budayanya serta sangat religius, hendaknya tidak memilih menjalankan demokrasi liberal, karena banyaknya partai politik yang memperebutkan kekuasaan justru akan menghancurkan Negara. Sinyalemen ini terbukti benar. Saat ini energi bangsa kita lebih banyak terkuras oleh masalah politik dan kekuasaan. Kita lihat banyaknya partai politik dengan dengan ideologi berbeda telah menimbulkan konflik-konflik di daerah, antar sesama kader partai karena perebutan jabatan saling menyerang hingga merusak asset partai sendiri, setiap pilkada selalu berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi. Banyak kader partai ditangkap KPK karena korupsi, mereka terpaksa melakukan korupsi karena dituntut pendanaan.
Bahwa oleh karena itu sudah saatnya kita melebur partai politik hanya menjadi dua yaitu partai pemerintah dan partai oposisi. Anggaran partai politik sepenuhnya dibiayai oleh Negara supaya bisa mandiri dan independent.
Saya percaya ketika partai politik hanya dua dan sepenuhnya dibiayai oleh negara maka sistem demokratis kita akan lebih baik daripada menggunakan sistem multipartai seperti saat ini yang hanya akan memproduksi politisi-politisi karbitan yang haus uang dan kekuasaan dan hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak memiliki karakter dan visi yang kuat karena hanya bermodalkan popularitas.
Penutup
Salah satu penyebab kegagalan sebuah bangsa untuk maju menjadi bangsa yang besar adalah karena gagal dalam memilih pemimpin. Singapura maju karena pernah dipimpin oleh Lee kuan yee, Malaysia oleh Dr. Mahatir Muhammad, Kuba oleh Fidel Castro. Nabi Muhammad saw mengatakan Kehancuran negara adalah karena salah dalam memilih pemimpin.
Bangsa ini mempunyai semua persyaratan untuk menjadi Negara yang jauh lebih maju. kita masih memiliki Kekayaan yang begitu melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, laut kita sangat luas dan belum dimanfaatkan dengan maksimal. kalau itu dikelola dengan baik dengan arah yang jelas maka bisa mendatangkan kesejahteraan bagi nelayan kita.
Sumber-sumber ekonomi yang menyangkut hajat hidup seperti minyak, tambang, kehutanan, pangan, hendaknya diambil alih oleh Negara/daerah melalui BUMN/BUMD. Untuk itu BUMN/BUMD harus diperkuat untuk mengoperasikan seluruh kekayaan nasional/daerah yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jangan lagi kejadian karena menganggap diri tidak mampu mengelola lantas menyerahkan sumber-sumber yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut kepada asing atau swasta dan Negara hanya memperoleh hasil yang sedikit.
Tujuan Negara kita di dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, yang berarti Negara harus memberikan jaminan keamanan kepada rakyatnya, minoritas dilindungi, hukum berjalan dengan adil. Mewujudkan kesejahteraan umum dimana pembangunan harus memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan ikut serta mewujudkan ketertibaan dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Amanat ini hanya bisa dilaksanakan oleh pemimpin yang kuat dan berkarakter, punya keberanian mengambil tindakan, punya inisiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan karena keluasan ilmu dan wawasannya. Tugas Partai Politik lah yang seharusnya mencari Pemimpin seperti itu
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar