Langsung ke konten utama

MENCEGAH ATAU MELINDUNGI KORUPSI

 

MENCEGAH ATAU MELINDUNGI KORUPSI 

Korupsi erat hubungan dengan kerugian negara  (pasal 2 dan 3 UU 31 tahun 1999 Jo. UU 20 tahun 2001)  Namun apakah setiap perbuatan yang merugikan keuangan Negara adalah korupsi?

Permasalahan tersebut selalu menjadi perdebatan oleh banyak kalangan terutama terkait dengan kebijakan yang diambil oleh pejabat yang mengelola keuangan Negara.

Banyak pejabat Negara maupun Pejabat BUMN  yang didakwa korupsi karena keliru mengambil kebijakan atau keputusan sehingga mengakibatkan kerugian Negara.  Hal ini yang kemudian membuat banyak Pejabat Negara maupun Pejabat BUMN yang mengalami kegamangan ketika akan mengambil keputusan yang berisiko, sedangkan saat itu dituntut untuk bertindak cepat misalnya harus memotong birokrasi atau menerobos peraturan yang dianggap tidak efektif. Pejabat takut  kesalahan adminisitrasi yang dilakukannya nantinya kemudian dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif.

Kekhawatiran tersebut beralasan, karena walaupun kesalahan administrasi tidak langsung dianggap sebagai perbuatan pidana tapi bagi penegak hukum kesalahan administrasi adalah letak melawan hukumnnya perbuatan. Dalam hukum pidana melawan hukum (wederrechtelijk) mempunyai beberapa pengertian yaitu :

a.    Bertentangan dengan hukum obyektif (bertentangan dengan Undang-undang)

b.   Bertentangan dengan hukum subyektif (bertentangan dengan hak orang lain)

c.    Tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang itu. Rumus ini dibuat oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Nederland) dalam kasus penipuan.

Jadi apabila kesalahan administrasi tersebut ternyata melanggar peraturan, ada pihak yang diperkaya atau diuntungkan dan mengakibatkan kerugian Negara maka telah memenuhi rumusan unsur pasal 2 dan pasal 3 dalam UU Tipikor.

Tapi kan tidak ada niat jahat atau mens rea untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri  atau orang lain atau korporasi ?

Memang setiap kejahatan ada motifnya, tidak mungkin ada kejahatan tanpa motif. Namun ketika dihadapkan pada perkara korupsi yang pembuktiannya menganut delik formil maka niat atau motif bukan menjadi unsur penilaian.

Bagi sebagian besar penyidik (Kejaksaan, Kepolisian, KPK) niat jahat atau mens rea dalam tindak pidana korupsi tidak harus dibuktikan. mengapa? karena didalam UU Tipikor tidak ada satu kalimatpun yang menyebutkan bahwa untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka maka Penyidik harus bisa menemukan bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat (mens rea) dari pelaku. Jadi karena mens rea bukan unsur yang harus dibuktikan maka apabila perbuatan terdakwa telah melawan hukum, ada pihak yang diperkaya/diuntungkan dan Negara dirugikan maka seseorang sudah bisa dianggap korupsi menurut pasal 2 dan 3 UU Tipikor.

Sebenarnya menentukan adanya mens rea atau niat jahat ini mudah yaitu apakah kebijakan atau keputusan yang diambil itu ternyata mendapatkan kick back berupa pemberian sesuatu. Tapi persoalannya adalah kick back ini sulit dibuktikan dan asumsi yang terbangun adalah tidak mungkin seseorang mengambil kebijakan atau keputusan yang memperkaya atau menguntungkan orang lain atau korporasi tanpa dilandasi motif tersebut.

 

Melindungi kebijakan

Bahwa akibat kekhawatiran kebijakan atau keputusan yang mereka ambil dikemudian hari dipermasalahkan oleh penegak hukum karena setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ada kerugian negara, banyak pejabat yang enggan terlibat dalam proyek pembangunan baik sebagai PA, KPA maupun PPK, yang implikasinya kemudian berimbas pada penyerapan anggaran. banyak proyek-proyek pemerintah yang terhambat akibat ketakutan pejabat mengeksekusi anggaran.

Menyikapi keadaan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan diantaranya :

Pertama, mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2016 tentang percepatan proyek strategis nasional (daerah). Proyek-proyek yang dianggap strategis yang ada di Kementerian, BUMN dan BUMD dilakukan pengawalan dan pengamanan oleh penegak hukum khususnya Kejaksaan dan kepolisian.  Inpres ini pada pokoknya menekankan agar Kejaksaan dan Kepolisian lebih mengedepankan aspek pencegahan daripada penindakan dalam pemberantasan korupsi. Apabila ada laporan masyarakat atau temuan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek maka penegak hukum terlebih dahulu mengambil penyelesaian secara administrasi sebagaimana ketentuan dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan sebelum menggunakan instrumen hukum pidana (korupsi).

Kedua, mengadakan penandatanganan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Mendagri, Jaksa Agung dan Kapolri Nomor 700/8929/SJ, Nomor KRP-694/A/JA/11/2017 dan Nomor B.108/XI/2017 tanggal 30 Nopember 2017 tentang koordinasi APIP dan APH terkait penanganan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Perjanjian kerjasama tersebut pada pokoknya mengatur bahwa setiap laporan dari masyarakat tidak langsung ditindaklanjuti oleh Aparat penegak hukum (APH). Laporan itu akan lebih dulu diperiksa oleh APIP. Tujuannya, untuk memastikan apakah laporan tersebut benar-benar berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi, atau hanya sebatas perkara kesalahan administrasi semata. Jika temuan itu adalah adminsitrasi maka diserahkan kepada APIP sedangkan jika ada  indikasi pidana diserahkan kepada APH untuk ditindaklanjuti.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah terkait dengan dua kebijakan yang diambil diatas adalah merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015. Pemerintah memandang aspek penindakan yang selama ini dilakukan penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan KPK dengan memenjarakan banyak koruptor ternyata tidak membuat korupsi berkurang dan membawa efek jera justru malah kontraproduktif dengan pembangunan karena banyak pengambil kebjakan takut mengeksekusi anggaran.

Dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2016, tugas penegak hukum sekarang khususnya Kejaksaan lebih difocuskan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara memberikan pendampingan hukum dan melakukan pengamanan pada proyek strategis nasional agar proyek-proyek tersebut tidak ada gangguan dan hambatan dalam pelaksanaannya, sementara Adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara Mendagri, Jaksa Agung dan Kapolri adalah supaya pejabat tidak takut lagi mengambil diskresi.

Namun terlepas dari maksud baik dari kebijakan pemerintah tersebut diatas, pemerhati korupsi justru menyoroti beberapa hal dibalik kebijakan pencegahan korupsi ini yaitu :

Pertama,  bagaimana mekanisme kerja pengamanan dan pendampingan hukum yang dilakukan untuk menjamin pelaksanaan proyek itu sudah tepat mutu dan tepat biaya, Apakah bisa dijamin proyek yang sudah selesai itu tidak ada penyimpangan yang merugikan Negara, tidak ada mark up atau penyimpangan lain di dalamnya.

Mengapa pemerintah hanya melibatkan Penegak hukum khususnya Kejaksaan untuk melakukan pendampingan dan pengamanan pembangunan pada proyek-proyek strategis nasional, mengapa  justru tidak melibatkan Inspektorat di masing-masing Kementerian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang fungsi utamanya adalah melakukan pengawasan untuk memastikan proyek itu tepat waktu, tepat mutu dan tepat biaya.  

Kejaksaan berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya pasal 34 memang bisa memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada Instansi Pemerintah lainnya namun memastikan kualitas pekerjaan proyek itu tepat mutu dan tepat biaya bukanlah domain penegak hukum. Bagaimana apabila di kemudian hari proyek yang dikawal dan didampingi tersebut terdapat laporan masyarakat yang melaporkan adanya kerugian  Negara berupa mark up, kualitas bangunan tidak sesuai spesifikasi tekhnis, kurang volume dan sebagainya. Apakah Kejaksaan akan memeriksa proyek tersebut dan kemudian menuntutnya di pengadilan sedangkan dia sendiri yang mengawalnya, Apakah proyek yang telah didampingi dan dikawal oleh Kejaksaan tidak boleh lagi diperiksa oleh penegak hukum lain, Bagaimana kalau proyek yang dikawal dan didampingi Kejaksaan ternyata setelah diperiksa oleh Kepolisian berdasarkan laporan masyarakat ditemukan kerugian Negara, apakah Polisi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan terkait tindak lanjut kerugian Negara tersebut.

Permasalahan-permasalahan tersebut kalau mengacu kepada Inpres No 1 tahun 2016 maka Kejaksaan dan Kepolisian harus mendahulukan proses administrasi sebelum melakukan penyidikan dengan melibatkan APIP untuk menentukan apakah itu kesalahan administratif atau pidana. Nah apakah mekanisme yang selalu mengedepankan aspek adminsitrasi itu justru tidak menghambat pemberantasan korupsi.

Kalau pertimbangan pemerintah melibatkan Kejaksaan untuk mendampingi proyek-proyek strategis nasional yang ada di Kementerian, BUMN dan BUMD semata-mata supaya pelaksana proyek merasa dilindungi dan tidak lagi diperiksa oleh penegak hukum. Apakah langkah ini justru tidak melindungi korupsi. Bukankah tingkat korupsi tertinggi di Indonesia adalah pada proyek pengadaan barang dan jasa ini

(http://www.bpkp.go.id/berita/read/1309/10970/Berdasarkan-Laporan-Bank-Dunia-Korupsi-Tertinggi-di-Indonesia-ada-pada-Proyek-PBJ)

Kedua apakah adanya temuan penyimpangan berupa kerugian Negara dalam pelaksanaan proyek yang penyelesaiannya diutamakan dengan cara administrasi berupa pengembalian kerugian Negara tidak bertentangan dengan pasal 4 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa pengembalian kerugian Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku.

Memang mengambil kebijakan yang ideal terkait pemberantasan korupsi ketika semua lini pemerintahan sudah tersentuh dengan korupsi serba sulit. Apa yang dilakukan oleh pemerintah terkait kebijakan penanggulangan korupsi  dengan menekankan pada aspek pencegahan, adalah yang terbaik bisa dilakukan saat ini ketika dihadapkan pada opsi kebijakan yang serba dilematis.

Ketika Pemerintah hendak mengejar pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dihadapkan pada kekhawatiran para pejabat pelaksana proyek untuk mengambil keputusan, dan ini akan membuat seluruh proyek akan berjalan lambat. Keterlambatan proyek akan membuat konsekuensi besar ke eskalasi biaya, kualitas pekerjaan dan pelayanan publik. Oleh karena itu Pemerintah harus memberikan perlindungan agar pejabat tidak takut lagi mengambil keputusan termasuk mengeksekusi anggaran. Langkah pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat hanya bisa terlaksana apabila semua jajaran pemerintahan mendukung program tersebut tak terkecuali penegak hukum.

Wallau’alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN

ARTIKEL  TP4D PEKERJAAN DI AKHIR TAHUN BELUM SELESAI, HARUSKAH PUTUS KONTRAK, SEBUAH SOLUSI AKHIR TAHUN ANGGARAN Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin. Salah satu permasalahan bagi Kementerian/Lembaga/SKPD/Institusi (K/L/D/I) yang sedang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang menggunakan kontrak tahun tunggal adalah seluruh pekerjaan tersebut  harus sudah diselesaikan sebelum akhir tahun anggaran. Namun disinilah permasalahan yang sering terjadi yaitu banyak pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang ternyata tidak atau belum selesai sedang kontrak pelaksanaan pekerjaan telah berakhir. Terhadap permasalahan tersebut banyak PPK yang bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh PPK  terhadap pekerjaan yang diperkirakan tidak akan selesai sampai dengan akhir tahun anggaran yaitu : 1.     PPK memutuskan kontrak secara sepihak dan penyedia barang/jasa dianggap lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya. Atas sisa pekerjaa

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN

BAGAIMANA MEMAHAMI FITNAH DAJJAL DAN NUBUAT AKHIR ZAMAN Mari kita mulai dari Yeruselem. Yeruselem adalah kota suci. Dari sana Alquran  menceritakan banyak sekali kisah dari  Nabi Musa as, Nabi Dawud as dan putranya Nabi Sulaiman as, Nabi  Zakaria as, Nabi Yahya as dan dan Nabi Isa as.  Bangsa Bani Israel mencapai puncak kejayaannya  pada jaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaeman as yang pemerintahannya berpusat di Yeruselem. Pada pada tahun 586 SM, kota Jerussalem diserang dan dihancurkan pertama kali oleh Raja  Nebuchadnezzar  dari Babylonia. Semua orang yahudi di bawa ke babylonia untuk dijadikan budak. Namun pada saat babylonia ditaklukan oleh Raja Cyrus dari Persia, orang-orang Yahudi tersebut dikembalikan kembali ke Jerussalem. Bangsa Yahudi yakin berdasarkan kitab suci mereka bahwa kelak Allah swt akan mengembalikan kembali bangsa Yahudi  ke Yeruselem  dan akan menurunkan  Messiah atau Al Masih yang akan mengembalikan kejayaan mereka untuk memerintah dunia dari Yeruselem

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA

HUKUM TUHAN DAN HUKUM MANUSIA Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin Salah satu perbedaan antara hukum Tuhan dengan Hukum buatan manusia adalah pada kepastian hukumnya. Hukum Tuhan tidak pernah berubah oleh zaman dan tidak ada kontradiksi atau pertentangan didalamnya , ini berbeda dengan hukum buatan manusia yang sering terjadi konflik norma di dalamnya, sehingga membuka ruang manusia untuk menafsirkannya sesuka hati dan sesuai dengan kepentingan. Di dalam hukum Tuhan, kita tidak boleh menafsirkan ayat secara serampangan dan bebas, tapi ada petunjuk metodologi yang harus dipatuhi supaya kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan atas suatu makna. Di dalam alquran misalnya  kita tidak boleh mengambil satu ayat secara terpisah dan kemudian menyimpulkannya. Tapi ambillah semua ayat yang berkaitan dengan topik dan pelajari semua secara bersamaan  untuk mendapatkan makna yang menyeluruh. Makna yang harmonis, karena tidak ada sedikitpun kontradiksi dalam alquran. Misalnya di dalam Alquran