MERUBAH PARADIGMA
PEMBERANTASAN KORUPSI
Banyak pengamat, akademisi dan Politisi mengatakan bahwa keterpurukan bangsa ini
adalah karena korupsi. Sehingga salah satu agenda yang paling banyak menguras energi
bangsa ini adalah pemberantasan korupsi. Media massa baik elektronik maupun
cetak menjadikan tersangka dan terdakwa perkara korupsi menjadi berita utama
dalam peliputannya. Semua berkutat pada persoalan korupsi.
Banyak hal telah dilakukan pemerintah untuk memberantas
korupsi dari membuat peraturan hingga puncaknya mendirikan lembaga anti korupsi dengan kewenangan yang luar
biasa. Pendirian KPK ini didasari oleh karena institusi penegak hukum yang ada
seperti Kepolisian dan Kejaksaan dianggap gagal
dalam menangani korupsi.
Prof.
Dr. Romli Atmasasmita pernah berkata, tidak ada satupun penegak hukum di dunia,
yang memiliki kewenangan sebesar KPK, sebagai penyelidik, penyidik maupun
penuntut umum sekaligus serta memiliki mandat yang sangat besar. Namun setelah
belasan tahun berdiri, korupsi bukannya semakin berkurang yang ada justru semakin banyak yang
dipenjara karena korupsi. kualitas dan
kuantitas korupsi semakin bertambah dan bahkan semakin tidak terkendali.
Mengapa pemerintah gagal dalam memberantas korupsi? Karena focus
pemberantasan korupsi kita serahkan kepada Institusi penegak hukum khususnya
kepada KPK.
Tugas utama pemberantasan korupsi adalah bukan ditangan
penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) tapi adalah tugas jajaran
Birokrasi Pemerintahan.
Paradigma kita selama ini menganggap bahwa pemberantasan korupsi adalah tugas utama penegak hukum dan bukan tugas Presiden, Menteri, Gubernur, dan Bupati/walikota. Hal ini kemudian diukur bahwa aspek keberhasilan pemberantasan korupsi adalah dari banyaknya jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum (Kepolisian, KPK dan Kejaksaan) setiap tahun, maka untuk itu antar penegak hukum (karena ego sektoral) saling berlomba-lomba mengklaim keberhasilannya dari banyaknya jumlah penanganan perkara korupsi yang ditanganinya.
Tapi apakah benar anggapan demikian? Kenyataannya adalah banyaknya kuantitas penanganan perkara korupsi yang ditangani penegak hukum terbukti tidak memberikan kontribusi dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Malah adanya target jumlah penanganan perkara korupsi oleh pimpinan penegak hukum, membuat anak buah memaksakan perkara dimana perkara dengan nilai yang relatif kecil kerugian negaranya tetap dilanjutkan tanpa memperhatikan bahwa negara justru dirugikan dari pemborosan anggaran untuk biaya Lid, Dik, Tut, dan biaya hidup terpidana selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Kita lupa bahwa fungsi hukum pidana sebagai ultimum remedium hanya dapat diterapkan jika akan menciptakan keseimbangan antara kerugian yang timbul dan tindak pidana yang dilakukannya (asas proporsionalitas).
Paradigma kita selama ini menganggap bahwa pemberantasan korupsi adalah tugas utama penegak hukum dan bukan tugas Presiden, Menteri, Gubernur, dan Bupati/walikota. Hal ini kemudian diukur bahwa aspek keberhasilan pemberantasan korupsi adalah dari banyaknya jumlah perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum (Kepolisian, KPK dan Kejaksaan) setiap tahun, maka untuk itu antar penegak hukum (karena ego sektoral) saling berlomba-lomba mengklaim keberhasilannya dari banyaknya jumlah penanganan perkara korupsi yang ditanganinya.
Tapi apakah benar anggapan demikian? Kenyataannya adalah banyaknya kuantitas penanganan perkara korupsi yang ditangani penegak hukum terbukti tidak memberikan kontribusi dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Malah adanya target jumlah penanganan perkara korupsi oleh pimpinan penegak hukum, membuat anak buah memaksakan perkara dimana perkara dengan nilai yang relatif kecil kerugian negaranya tetap dilanjutkan tanpa memperhatikan bahwa negara justru dirugikan dari pemborosan anggaran untuk biaya Lid, Dik, Tut, dan biaya hidup terpidana selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Kita lupa bahwa fungsi hukum pidana sebagai ultimum remedium hanya dapat diterapkan jika akan menciptakan keseimbangan antara kerugian yang timbul dan tindak pidana yang dilakukannya (asas proporsionalitas).
Jadi apakah ukuran keberhasilan
pemberantasan korupsi itu?
Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi terbanyak diraih oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi yang diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai. .
Jadi apabila pemerintah ingin sungguh-sungguh memberantas korupsi, maka tugas pemerintah kepada jajaran birokrasinya adalah tingkatkan pelayanan publik, berikan mereka gaji yang menutup peluang untuk menyalahgunakan wewenang dan angkat Pejabat/pegawai yang memiliki integritas. Kalau tidak, pemerintah hanya akan terus beternak tikus sementara kucingnya tidak seimbang dengan jumlah populasi tikus.
Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi terbanyak diraih oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi yang diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai. .
Jadi apabila pemerintah ingin sungguh-sungguh memberantas korupsi, maka tugas pemerintah kepada jajaran birokrasinya adalah tingkatkan pelayanan publik, berikan mereka gaji yang menutup peluang untuk menyalahgunakan wewenang dan angkat Pejabat/pegawai yang memiliki integritas. Kalau tidak, pemerintah hanya akan terus beternak tikus sementara kucingnya tidak seimbang dengan jumlah populasi tikus.
Selama ini Pemberantasan korupsi dengan pola penindakan yang
massif yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian memang telah banyak
memenjarakan koruptor mulai dari Menteri,
anggota DPR, Gubernur dan DPRD TK I, walikota, Bupati dan DPRD TK. II, Camat,
Lurah,Kepala Desa, Kepala Dinas, Tokoh Agama, PNS, swasta, Politisi, Hakim, Jaksa, Polisi, anggota KPK, Dubes besar dan sebagainya, namun ternyata
tidak membuat korupsi berkurang bahkan semakin gila dan merajalela, bahkan yang
terjadi Pemberantasan korupsi secara massif melalui penindakan menimbulkan
dampak pembusukan lembaga, rakyat tidak percaya lagi dengan lembaga negara yang
ada karena semuanya sudah korupsi. Ini berbahaya Karena menyangkut krisis
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah.
Adalah keliru jika masalah pemberantasan korupsi hanya
semata-mata memenjarakan koruptor dan masalah tekhnis yuridis. Korupsi adalah
masalah sosial yang sangat serius yang menghambat pembangunan kesejahteraan
bangsa Indonesia. Solusi pemberantasan korupsi terletak pada kepemimpinan
nasional maupun daerah dan dukungan kuat seluruh pembantu dan pelaksananya,
karena merekalah motor utama penggerak pemberantasan korupsi.
Pada titik inilah dibutuhkan cara-cara baru dalam
pemberantasan korupsi, intinya adalah pemberantasan korupsi kita serahkan
kembali kepada Jajaran Birokrasi Pemerintahan bukan kepada penegak hukum.
Caranya sederhana namun dibutuhkan komitmen, kerendahan hati
dan keikhlasan. Ini dimulai dari komitmen kepemimpinan nasional dan Daerah
untuk hidup bersih. Pejabat pemerintah seyogyanya menunjuk pejabat-pejabat yang
kompeten dan berintegritas untuk menduduki jabatan yang terkait dengan
pengelolaan proyek-proyek pemerintah. Data menunjukkan kebocoran dari anggaran
pembangunan hampir mencapai 30-50% dari anggaran yang tersedia. Ditangan pejabat/pegawai
yang jujur kebocoran anggaran dapat ditekan.
Kemiskinan adalah akar masalah korupsi. 80 persen pegawai
kita korupsi karena kebutuhan. Oleh karena itu untuk menutup pintu-pintu setan
dari godaan penyalahgunaan wewenang, Pegawai Negeri harus digaji cukup sesuai
kebutuhannya. Imam Ali berkata “sulit membimbing
manusia menuju moralitas yang baik sebelum dia memiliki pangan untuk dimakan, pakaian
untuk dikenakan dan tempat tinggal yang layak. Manusia baru tertarik pada
perbaikan moralitas setelah kebutuhannya terpenuhi.
Kemudian langkah selanjutnya adalah dibutuhkan komitmen
bersama untuk kewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita sudah harus mulai dengan sungguh-sungguh
memperhatikan segenap potensi nasional kita, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya alam kita. kita harus menjadikan semua potensi itu sebagai modal
pembangunan dengan semangat patriotik. Kemakmuran ekonomi bangsa inilah yang
diharapkan membuat sejahtera rakyat yang akhirnya terwujud keadilan sosial yang
merupakan tujuan sebenarnya kita bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kita bangkitkan kembali semangat nasionalisme. Kita kumpulkan
putra-putri terbaik bangsa. berikan mereka proyek untuk kemajuan bangsa.
tantang mereka berpikir bagaimana mengelola Kekayaan alam kita semaksimal
mungkin secara mandiri. Kita bikin pertanian yang maju dan modern, dengan basis
industri rakyat. kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak kita kelola
sendiri melalui BUMN/BUMD untuk digunakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . Kita bisa karena semua potensi untuk maju
dan sejahteria kita miliki.
Ke depan Pemerintah tidak perlu KPK lagi. Penyidik dan
penuntut umumnya kembalikan lagi ke instansinya masing-masing. Anggaran KPK
sebanyak 1 triliun pertahun dapat membuat sekolah baru dan memperbaiki sekolah
yang rusak di seluruh Indonesia. Kita tidak perlu lagi menghabiskan anggaran
untuk lembaga-lembaga negara yang fungsinya sebenarnya tidak terlalu penting
karena sudah ada lembaga yang sejenis. Komisi yudisial, Komisi kejaksaan, Kompolnas,
ombudsman dan sebagainya tidak dibutuhkan lagi. Karena ujungnya adalah
pemberantasan korupsi juga.
Dan akhirnya apa yang pernah disampaikan oleh Mantan Jaksa
Agung Muda Pidsus Kejaksaan Agung RI, Prof. Dr. Widyopramono dapat menjadi
kenyataan bahwa,”pada akhirnya nanti akan lahir fase penting bahwa keberhasilan
pemberantasan korupsi bukan terletak dari banyaknya pelaku korupsi yang
diajukan ke Pengadilan dan dijatuhi pidana, namun terletak pada semakin
rendahnya tingkat korupsi yang terjadi di semua lini kehidupan berbangsa dan
bernegara”.
Komentar
Posting Komentar