KENAPA NU DAN MUHAMMADIYAH SERING BERBEDA DALAM MENENTUKAN AWAL PUASA DAN IDUL FITRI
Al-Qur’an berulang kali menegaskan tentang urgensi waktu, dan kalender merupakan sarana untuk penandaan unit waktu.
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas (QS. Al-Isra ayat 12)
--------------------
Seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran tahun ini dipastikan akan kembali berbeda diantara kaum muslimin di Indonesia.
Muhammadiyah telah mengumumkan Lebaran Idul Fitri atau 1 Syawal 1444 H jatuh pada 21 April 2023, sementara Nahdlatul ulama (NU) masih menunggu keputusan sidang isbat dari pemerintah. Metode yang digunakan pemerintah dalam sidang isbat nantinya diambil dari informasi awal berdasarkan hasil hisab atau perhitungan secara astronomis. Hasil hisab tersebut kemudian akan dikonfirmasi lagi lewat hasil lapangan melalui mekanisme pemantauan (rukyatul) hilal.
Nah tulisan ini mencoba sedikit membahas mengapa sering terjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin dalam menentukan awal puasa dan hari raya idul Fitri (lebaran).
Bahwa selama ini ada dua sistem kalender atau penanggalan yang dipakai oleh banyak negara di dunia dalam menentukan waktu yaitu sistem penanggalan yang didasarkan pada Matahari (Solar System), dan sistem penanggalan yang didasarkan pada Bulan (Lunar System),
Sistem penanggalan berdasarkan Matahari (Solar System) adalah penanggalan atau kalender yang didasarkan atas perjalanan bumi mengelilingi matahari dalam satu putaran atau 360 derajat, ini menempuh waktu kurang lebih 365 hari 5 jam 48 menit 2,8 detik. Contoh dari sistem kalender ini ialah kalender Masehi/ penanggalan Syamsiah, sedangkan Lunar System ialah kalender yang didasarkan pada perjalanan bulan atas bumi dan sistem ini dipakai oleh kalender Hijriah atau kalender Kamariah (Hijrah Nabi Muhammad saw).
Di dalam kalender bulan maka pergantian hari berdasarkan penampakan fase bulan awal alias hilal yang mana ini yang dipakai oleh kalender hijri/kalender Islam, termasuk dalam menentukan kapan waktu puasa (1 Ramadhan) dan kapan idul fitri (1 Syawal). Jadi Hilal adalah fase penampakan cahaya bulan baru artinya apabila hilal terlihat maka menandakan tanggal 1 bulan baru hijriah dimulai.
Setelah hilal maka dengan berjalannya hari-hari maka cahaya bulan (moon) ini makin hari makin penuh. Setelah penuh menjadi full moon (purnama). Bulan purnama ini adalah pertengahan bulan hijriah (tanggal 15). Setelah full moon maka semakin lama semakin habis. Ini yang disebut bulan tua. Habis fase bulannya muncul lagi bulan baru dan seterusnya
NAH SEKARANG KENAPA NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH SERING BERBEDA PENDAPAT DALAM MENENTUKAN AWAL PUASA DAN IDUL FITRI (LEBARAN) ?
Hal ini karena perbedaan metode dalam menentukan bulan baru itu kapan.
Muhammadiyah menggunakan perhitungan (hisab) sedangkan Nahdlatul ulama memakai metode rukyatul hilal.
Rukyatul hilal adalah melakukan pengamatan ketampakan hilal atau Bulan sabit saat Matahari terbenam (biasanya dilakukan menjelang awal bulan atau tanggal 29 hijriah, Nah apabila hilal/bulan sabit tampak/terlihat maka besoknya bulan baru tapi apabila kita tidak melihat hilal/bulan, maka kita harus menyempurnakan puasa Ramadan genap selama 30 hari
(hal ini karena hari didalam penanggalan hijriah adalah 29 atau 30 hari).
Pada zaman Nabi saw metode penentuan awal bulan adalah dengan menggunakan metode rukyatul hilal ini.
Nabi saw bersabda: “Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Nabi saw bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
penggunaan rukyat di zaman Nabi saw itu tidak bermasalah karena umat Islam di zaman itu hanya berada di Jazirah Arab saja. Islam belum tersebar di luar kawasan itu.
Namun setelah Islam meluas ke berbagai kawasan di sebelah barat dan timur serta utara (pada abad pertama Hijriah Islam sudah sampai di Spanyol dan di kepulauan Nusantara), maka rukyat mulai menimbulkan masalah. Persoalannya adalah bahwa rukyat itu terbatas liputannya di atas muka Bumi.
Rukyat pada saat visibilitas pertama tidak mengkaver seluruh muka Bumi. Ia hanya bisa terjadi pada bagian muka Bumi tertentu saja, sehingga timbul masalah dengan bagian lain muka Bumi. Hilal mungkin terlihat di Mekah, tetapi tidak terlihat di Kawasan timur seperti Indonesia. Atau hilal mungkin terlihat di Maroko, namun tidak terlihat di Mekah. Jadi ini menimbulkan persoalan terkait penentuan bulan-bulan ibadah.
Bahwa kemudian dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul gagasan dari para ulama mengenai perhitungan dengan menggunakan hisab sebagai metode penentuan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Dan metode hisab ini kemudian banyak dipakai oleh kaum muslimin berbagai negara.
Metode hisab dapat diartikan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriah
Nah terkait metode rukyatul hilal dan hisab, maka tentunya system ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Di dalam system hisab Karena sifatnya perhitungan maka Kita dapat simpulkan bahwa kelemahan metode hisab terletak saat menggunakan alat hitung yang tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang lainnya. Sementara dengan memakai metode rukyatul hilal yaitu melihat langsung hilalnya dengan mata telanjang atau teropong maka Kendala dengan metode rukyatul hilal ini adalah apabila ada polusi, asap, atau cuaca yang buruk maka bisa menutupi pandangan kita terhadap hilal. Sehingga boleh jadi Hilal sudah muncul namun tidak terlihat oleh mata maupun dengan teropong.
Jadi kesimpulannya menentukan ibadah seperti awal ramadhan dan lebaran baik system rukyat ataupun hisab keduanya bisa dilakukan, asal dilakukan dengan penglihatan yang baik dan dan pengetahuan/akal yang baik.
PERLUNYA KALENDER ISLAM TUNGGAL
Seringnya kaum muslimin berbeda dalam menentukan kapan awal puasa dan lebaran serta hari-hari ibadah lainnya disebabkan oleh karena mereka belum memiliki kalender tunggal yang berlaku secara nasional maupun global.
Kaum muslimin di seluruh duniah sudah mencoba beberapa kali mengagas untuk memiliki kalender Islam tunggal dan terpadu yang menyatukan sistem pengorganisasian waktu di seluruh dunia. Namun disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal masing-masing pihak, kesefahaman dan kesepakatan internasional ini belum dapat terwujud sampai saat ini.
Padahal adanya penyatuan kalender Hijriyah internasional akan mampu menyatukan dan mempererat ukhuwah Islamiyah antara umat Islam di berbagai negara. Nantinya dengan kalender tunggal ini akan memunculkan satu hari dan satu tanggal di seluruh dunia.
Dengan penyatuan penanggalan dan kalender Islam bukan hanya untuk menyamakan waktu beribadah, terutama penetapan awal Ramadhan, waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha, tapi juga menyangkut soal penghitungan zakat yang belum terbayarkan.
Bayangkan tanpa penyatuan kalender Islam secara internasional maka ini yang sering terjadi. Indonesia itu 4 jam lebih cepat waktunya daripada arab Saudi namun anehnya sering kejadian arab Saudi sudah idul fitri sementara Indonesia belum idul fitri ( lebaran).
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar