REVISI UU KEJAKSAAN DAN PENGUATAN PENEGAKAN HUKUM
Setelah
melalui tarik ulur yang cukup alot, Badan Legislasi DPR RI akhirnya sepakat dan
menyetujui untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Sebelumnya rencana
pembahasan Revisi UU kejaksaan oleh DPR dan Pemerintah tersebut menuai polemik dari banyak kalangan. Namun terlepas
dari pro kontra mengenai perlunya revisi UU Kejaksaan itu, Komisi III DPR setelah mendengar masukan dari
beberapa pakar akhirnya sepakat untuk segera
mengusulkan revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.
Bahwa terkait beberapa poin krusial dalam revisi UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan tersebut, mendapat tanggapan dari beberapa pihak yang mengkritisi adanya perluasan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan lanjutan dan pengangkatan Jaksa Agung yang harus dari Jaksa Karir.
Pengamat
kepolisian Irjen Pol. (Purn). Drs. Sisno Adiwinoto menganggap bahwa revisi UU Kejaksaan khususnya
terkait tugas dan wewenang Jaksa dalam melakukan penyidikan lanjutan sebagai ancaman bagi tugas pokok dan
fungsi serta kewenangan Polri. Menurut nya,
revisi UU Kejaksaan yang baru ini dapat membawa hukum acara pidana melangkah
mundur ke belakang seperti HIR jaman kolonial belanda dimana penyidik dibawa
supervisi Jaksa. Beliau
sepertinya khawatir bahwa dengan adanya penyidikan lanjutan oleh Jaksa akan berpotensi
tumpang tindih dengan kewenangan penyidikan yang dilakukan kepolisian.
Kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu ada apabila dipahami fungsi dari penyidikan lanjutan ini. Di dalam Pasal 14 butir b KUHAP diatur bahwa Jaksa selaku penuntut umum mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. jadi di dalam KUHAP Istilah penyidikan lanjutan sebenarnya sudah ada hanya disamarkan dengan istilah prapenuntutan yang biasa dikenal dalam HIR.
Prof
Dr. Andi Hamzah berpendapat bahwa
petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan,
sehingga penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. Sehingga dengan
demikian sebenarnya Kejaksaan (JPU) merupakan penyidik dalam perkara tindak
pidana apapun.
Penyidikan lanjutan bukan mengambil alih kewenangan penyidik Polisi atau PPNS yang memang sudah diatur dalam KUHAP tapi justru membantu penyidik dalam melakukan penyidikan sehingga perkara yang disidik itu layak diajukan penuntutannya ke Pengadilan. Jadi karena Jaksa yang paling bertanggung jawab untuk membuktikan suatu perkara di pengadilan maka sebagai wujud mekanisme kontrol agar penyidikan dapat berjalan dengan baik atau untuk memperkuat hasil penyidikan yang dilakukan penyidik maka Jaksa dapat melakukan supervisi kepada penyidik. Ini adalah bagian dari system pengawasan kewenangan sebagai perwujudan sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Bahwa perlu diketahui dalam penegakan hukum pidana, penuntutan menjadi poros, sentral dan bagian terpenting dalam system peradilan pidana dan adanya kewenangan supervisi Jaksa dalam penyidikan adalah guna kepentingan penegakan hukum untuk memastikan agar proses penyidikan taat aturan dan tepat. Jadi prinsipnya sebenarnya lebih kepada koordinasi dan kooperasi antara dua pilar penegak hukum, Polisi dan Jaksa dalam proses penyidikan.
Bahwa selama ini dalam praktek dilapangan mekanisme kontrol penyidikan oleh Jaksa kepada penyidik dalam KUHAP kadang kurang berjalan dengan mulus sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) sempat mengeluarkan Putusan Nomor: 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 dimana Penyidik wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan. Keputusan MK ini mencerminkan penegasan asas dominus litis (pengendali perkara) yang hanya dimiliki oleh Jaksa.
MENGENAI JAKSA AGUNG, KARIR ATAU NON KARIR
Bahwa kemudian yang menjadi sorotan dalam revisi UU Kejaksaan adalah mengenai posisi
Jaksa Agung. Dulu jabatan Jaksa Agung selalu diambil dari Jaksa karir seperti halnya
Kapolri dari Polisi Karir. Namun setelah era reformasi sampai sekarang dikotomi
Jaksa Agung dari internal dan eksternal Kejaksaan selalu dimunculkan pada saat
pembentukan kabinet oleh Presiden, hal ini karena sebagian partai Politik
menginginkan kadernya atau figur tertentu menjadi Jaksa Agung. Hal ini kembali
menjadi isu hangat yang dibahas dalam revisi UU Kejaksaan.
Mereka yang berpendapat bahwa Jaksa Agung sebaiknya dari figur luar Kejaksaan karena beranggapan bahwa Kejaksaan akan lebih independen kalau Jaksa Agung diisi atau dijabat bukan dari internal Kejaksaan. namun sejarah juga mengajarkan bahwa figur-figur luar yang pernah mengisi posisi Jaksa Agung tidak banyak memberikan perubahan yang signifikan dalam perbaikan kelembagaan Kejaksaan, bahkan tanpa bermaksud menonjolkan prestasi, justru bisa dikatakan figur Jaksa Agung Karir lebih berhasil dalam melakukan penataan kelembagaan.
Bahwa salah satu keunggulan jaksa
Agung dari Jaksa karir adalah dia yang
paling mengetahui dan memahami serta mampu menjalankan fungsi-fungsi pokok
kejaksaan, terutama penuntutan. Kalau dikatakan bahwa Jaksa Agung harus figur yang berintegritas
dan independen, dan itu hanya bisa dari luar Kejaksaan, ini juga persepsi yang
keliru, karena di internal Kejaksaan
masih banyak figur yang memiliki kapabilitas dan berintegritas, nama-nama
seperti R. Soeprapto, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, M. Yamin, adalah contoh sederet tokoh-tokoh besar
pendekar hukum yang pernah dilahirkan Kejaksaan.
Jadi saya berpendapat seyogianya
Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme
Kejaksaan . Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik oleh karena tugas
Jaksa adalah terkait dengan penuntutan perkara pengadilan dan kewenangan lain yang
diatur dalam perundang-undangan. Namun demikian tetap saja ada kekhawatiran apabila
Jaksa agung diisi dari kader partai politik maka Politik akan mempengaruhi
Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dan Hukum dapat digunakan
menjadi alat permainan politik.
PENUTUP
Bahwa
langkah badan legislasi DPR yang akan membahas revisi UU Kejaksaan ini harus di
dukung sebagai upaya untuk mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi Kejaksaan
dalam memperkuat penegakan hukum. Karena bagaimanapun juga revisi UU Kejaksaan
harus dilakukan dengan alasan yaitu :
Pertama tuntutan perkembangan zaman. Saat ini
UU No. 16 tahun 2014 tentang Kejaksaan sudah berusia 16 tahun sementara
perkembangan dinamika hukum, politik, perkembangan masyarakat dan modus kejahatan telah banyak berubah dan berkembang
dengan sangat cepat sehingga revisi UU Kejaksaan adalah keharusan khususnya
dalam menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.
Kedua, perlu adanya harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang diantaranya termasuk peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tugas dan kewenangan kejaksaan dengan peraturan
perundang-undangan yang lain seperti KUHAP, UU Kekuasaan kehakiman, UU ASN, UU
KPK, UU Tipikor, UU Peradilan militer, UU Intelijen Negara, dan UU Pengadilan
HAM.
Ketiga, saat ini masyarakat semakin kritis
dalam menuntut hak dan keadilan dalam penegakan hukum. Sistem pidana di
berbagai Negara termasuk Indonesia juga telah mengalami pergeseran paradigma
dari keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif. Hal ini
tergambar dengan munculnya Peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma
tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Undang-Undang Pencucian Uang yang terakhir diubah melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang mana Kejaksaan diberikan peran untuk
menggunakan dan mengedepankan Keadilan Restoratif.
Jadi salah satu yang akan diakomodir dalam revisi UU Kejaksaan tersebut adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif-represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana halnya mediasi penal yang dilakukan oleh Jaksa. Hal ini tentunya sesuai dengan harapan masyarakat dan bertujuan untuk lebih melayani para pencari keadilan, melindungi dan menjaga demokrasi.
Bahwa akhirnya kita tentu berharap agar revisi UU Kejaksaan ini disamping untuk memperkuat penegakan hukum ke depan juga membuat Kejaksaan lebih Independen, Profesional dan berhati nurani.
Wallahu’alam.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusNstagimcon_ke Beth Goeckner click here
BalasHapusjambaiserta
fragenpalku_1993 Dave Douglas Help & Manual Professional 8.3.1.5793
BalasHapusLDPlayer 9.0.19
MediaMonkey Gold 5.0.4.2659
Malware Hunter Pro 1.154.0.771
harebiswi