JAKSA AGUNG DAN INDEPENDENSI
KEJAKSAAN
Banyak yang mengatakan bahwa salah satu penyebab Kejaksaan belum
bisa sepenuhya dipercaya oleh masyarakat karena Kejaksaan belum Independen
dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya baik dalam penyidikan untuk tindak
pidana tertentu maupun di bidang penuntutan. Hal ini karena Jaksa Agung masih diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden. Karena
Jaksa Agung masih bagian dari kekuasaan eksekutif yang diangkat oleh
Presiden, maka setiap Presiden terpilih akan memilih Jaksa Agung dengan
mempertimbangkan politik kekuasaannya. Disinilah kekhawatiran itu muncul Karena
apabila proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung menjadi wewenang
mutlak presiden, maka akan berujung pada kooptasi eksekutif atas kinerja
kejaksaan. namun sisi positif juga bisa muncul dari sini yaitu kalau
presidennya memiliki komitmen penuh dalam penegakan hukum maka otomatis
Kejaksaan juga akan memiliki komitmen yang sama dalam penegakan hukum. Jadi
figur sentral sebenarnya dalam penegakan hukum adalah pada komitmen Presiden.
Namun terlepas dari polemik agar Posisi dan fungsi Kejaksaan lebih diperkuat dalam sistem ketatanegaraan, dimana
Kejaksaan sepenuhnya menjadi lembaga yang independen dan mandiri dalam
melaksanakan kewenangannya, hal yang lebih penting sebenarnya adalah mencari
sosok Jaksa Agung yang berkarakter.
UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan memang menyatakan Jaksa
Agung diangkat oleh presiden, dengan demikian Kejaksaan ada dibawah presiden, Jaksa
agung adalah anggota kabinet yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan kedudukan setingkat Menteri Negara. namun secara fungsional dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya Jaksa Agung adalah independen, tidak bisa diintervensi
oleh siapapun termasuk presiden karena kewenangan Jaksa Agung dalam menegakkan
hukum bersumber dari Undang-undang. Karena kewenangannya dalam menegakkan hukum
bersumber dari Undang-undang, maka Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya
adalah bebas dari campur tangan
manapun termasuk presiden. Jadi dalam
penegakan hukum Kejaksaan tidak lagi memandang status sosial pelaku tindak
pidana tetapi merujuk pada Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan ”segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
tanpa ada kecualinya”.
Anda mungkin akan bertanya, apakah
Jaksa Agung berani mengusut kasus-kasus besar yang melibatkan orang
dekat presiden atau partai politik yang berkuasa?, jawabannya akan kembali
kepada figur Presiden, kalau presidennya komitmen pada penegakan hukum pasti
akan setuju dengan tindakan Jaksa Agung, tapi kalau Presidennya tidak senang,
maka kita kembali kepada faktor individu Jaksa Agung itu sendiri, apakah
Jabatan adalah segalanya atau akan mewariskan keteladanan bagi Negara ini, bahwa
Jaksa Agung dengan integritas penuh dan keberanian yang luar biasa telah
berkeinginan menjadikan Kejaksaan sebagai institutsi negara yang independen, dan
bebas dari campur tangan manapun dalam menjalankan tugasnya.
Mr. Soeprapto ketika menjabat sebagai Jaksa Agung berani menangkap
dan menahan Politisi, Menteri, Birokrat dan pejabat militer yang membuat gerah
penguasa, meskipun di masa itu Kedudukan Kejaksaan berada di antara dua sisi,
antara eksekutif dan yudikatif, namun kedudukan itu tidaklah mengurangi
independensi jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Mungkin
faktor individu Jaksa Agung dan para Jaksa lah yang membuat independensi Kejaksaan itu berjalan, dimana ada keinginan yang kuat dari
Jaksa Agung dan para Jaksa saat itu untuk menjadikan Kejaksaan sebagai
institusi negara yang independen. Jadi
dari sini bisa kita lihat bahwa efektifikas sebuah sistem sebenarnya lebih
dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor individu manusia itu sendiri.
Bahwa sebenarnya kalau kita mau jujur, tidak ada lembaga yang
benar-benar independent di dunia ini, karena kehidupan itu sendiri adalah rumit
dan berjalan dengan kepentingan-kepentingan yang saling terkait, selama pelaksananya adalah manusia maka selalu
muncul kekuatan besar yang ingin mendominasi dan memaksakan kehendaknya.
Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa manusia yang ingin memaksakan kebenaran
selalu ingin disingkirkan oleh manusia yang ingin memaksakan kebatilan. Itulah
hukum dunia. KPK yang kita anggap lembaga yang paling independen, dalam
kasus-kasus tertentu juga tidak terlihat
independen seperti dalam kasus sumber waras, reklamasi teluk Jakarta dan
kasus-kasus lainnya.
JAKSA AGUNG, KARIR ATAU NON KARIR
Pemilihan Presiden 2019 telah
selesai dan mengantar Jokowi dan Ma’ruf
Amin sebagai presiden dan wakil Presiden periode 2019-2024. Seperti
biasa setiap menjelang pengumuman kabinet, muncul wacana siapa sosok yang layak
menjadi Jaksa Agung. Figur Jaksa Agung termasuk yang paling ditunggu karena
publik ingin melihat arah penegakan
hukum pemerintah dengan melihat kepada sosok Jaksa Agung yang akan ditunjuk. Dulu
jabatan Jaksa Agung selalu diambil dari Jaksa karir seperti halnya Kapolri dari
Polisi Karir. Namun setelah era reformasi sampai sekarang dikotomi Jaksa Agung
dari internal dan eksternal Kejaksaan
selalu dimunculkan, hal ini karena sebagian partai Politik menginginkan kadernya
atau figur tertentu menjadi Jaksa Agung.
Mereka mengusulkan bahwa
Kejaksaan akan lebih independen kalau Jaksa Agung diisi dari figur luar
bukan dari internal Kejaksaan. namun sejarah juga mengajarkan bahwa figur-figur
luar yang pernah mengisi posisi Jaksa Agung tidak banyak memberikan perubahan
yang signifikan dalam perbaikan kelembagaan Kejaksaan, bahkan tanpa bermaksud
menonjolkan prestasi, justru bisa dikatakan figur Jaksa Agung Karir lebih berhasil
dalam melakukan penataan kelembagaan.
Bahwa salah satu keunggulan jaksa Agung dari karier adalah dia yang paling mengetahui dan paling bisa
memahami serta mampu menjalankan fungsi-fungsi pokok kejaksaan, terutama
penuntutan. Kalau dikatakan bahwa Jaksa
Agung harus figur yang berintegritas dan independen, dan itu hanya bisa dari
luar Kejaksaan, ini juga persepsi yang keliru,
karena di internal Kejaksaan masih banyak figur yang memiliki
kapabilitas dan berintegritas, nama-nama seperti R. Soeprapto, Prof. Dr.
Baharuddin Lopa, M. Yamin, adalah contoh
sederet tokoh-tokoh besar pendekar hukum yang pernah dilahirkan Kejaksaan.
Memang tidak ada larangan bagi kader partai politik untuk diangkat
menjadi Jaksa agung, Karena itu memang hak prerogratif Presiden, namun setelah diangkat menjadi Jaksa
agung yang bersangkutan seyogyanya tidak
terikat lagi dengan partai yang mengusungnya. Namun ini sangat sulit dilakukan
karena suka atau tidak suka, partai politik yang bersangkutan akan memintanya
untuk membantu ketika ada kader partai
sendiri yang terlibat proses hukum. Bahkan kekhawatiran yang paling besar
apabila lembaga penegak hukum diisi kader dari partai politik adalah Lembaga
penegak hukum akan dijadikan alat instrument politik yang dipakai oleh para
elit politik untuk mengintervensi arah
pemberantasan korupsi, menentukan siapa yang menjadi target atau bukan, bahkan
cenderung enggan untuk mengusut praktek korupsi kelas kakap yang dilakukan para
elite politik dengan alasan demi menjaga stabilitas politik. Hukum dapat
digunakan menjadi alat permainan kekuasaan.
Dulu memang Presiden selalu mengangkat Jaksa Agung dari pejabat
karir berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kemampuan. Namun setelah era
reformasi, jabatan Jaksa Agung tidak
lagi diangkat dari Jaksa karier, tapi bisa juga bersifat politik. Kedua-duanya
dapat dilakukan oleh Presiden, berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden
sendiri. Presiden Jokowi pernah mengkompromikan dikotomi itu dengan mengangkat
Jaksa Agung dari Partai namun berasal dari Internal Kejaksaan.
Tapi sekali lagi, seyogianya Jaksa Agung sebaiknya diangkat dari
pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme Kejaksaan . Jabatan Jaksa
Agung bukanlah jabatan politik oleh karena tugas Jaksa adalah terkait dengan
penuntutan perkara pengadilan walaupun ada kewenangan lain sebagai penyidik
dalam perkara pidana korupsi maupun
mewakili kepentingan pemerintah
dalam perkara perdata. Namun demikian tetap saja ada kekhawatiran bahwa Politik
akan mempengaruhi Kejaksaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.
Kita
berharap siapapun Jaksa Agung yang terpilih nantinya mampu mengembalikan
kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan. Kepercayaan tumbuh dari sikap dan
perilaku para Jaksa dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kejaksaan. Oleh karena
itu pekerjaan terbesar
Jaksa Agung sebenarnya adalah membersihkan internalnya sendiri. Terutama
membenahi sistem promosi dan mutasi yang lebih berkeadilan dan bersih dari
praktek-praktek jual beli jabatan.
Wallahu ’alam bissawwab.
(Muhammad Ahsan Thamrin)
JOIN NOW !!!
BalasHapusDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.site
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
8 Pasaran Togel Terbaik Bosku
Joker Slot, Sabung Ayam Dan Masih Banyak Lagi Boskuu
BURUAN DAFTAR!
MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
DOMPET DIGITAL OVO, DANA, LINK AJA DAN GOPAY
UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU
dewa-lotto.site