PEMBENTUKAN DENSUS TIPIKOR DAN KEPERCAYAAN
PUBLIK
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Adanya
wacana pembentukan Detasemen Khusus
(Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Polri menuai berbagai pendapat. Banyak yang mendukung
pembentukan Densus Tipikor tapi tak sedikit pula yang beranggapan Densus
Tipikor tidak perlu dibentuk.
Saya
sendiri prihatin melihat cara-cara pemerintah dan DPR bereaksi terhadap
permasalahan bangsa khususnya dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Setiap
permasalahan solusinya selalu membuat badan/lembaga baru mulai dari KPK dimana
pembentukannya karena polisi dan Jaksa dianggap tidak mampu memberantas korupsi,
lalu komisi yudisial, komisi Kejaksaan dan komisi Kepolisian dibentuk karena lembaga pengawas internal masing-masing
institusi penegak hukum tersebut dianggap gagal dalam melakukan pengawasan. padahal
kalau dianggap lemah seharusnya fungsi masing-masing lembaga tersebut diperkuat
saja dengan memberikan kewenangan lebih dan anggaran yang lebih besar.
Sebenarnya
ide awal pembentukan Densus tipikor adalah karena KPK sebagai lembaga extra ordinary
crime yang diharap untuk memberantas korupsi ternyata telah dianggap gagal (oleh
DPR), oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu dikembalikan kepada Institusi
inti yaitu kepolisian namun memiliki anggaran dan kewenangan seperti KPK supaya
lebih bertaji.
Pembentukan
Densus tipikor berarti pemerintah dan DPR kembali menfocuskan segi penindakan
dalam pemberantasan korupsi, padahal selama ini DPR sering mengkritik KPK yang
lebih condong kepada pola penindakan sedangkan pencegahan diabaikan. Kenapa focus
penindakan? karena saya yakin pada tahap-tahap awal Densus tipikor (yang
rencananya akan berkantor di Polda-polda seluruh Indonesia) akan sangat masif
dalam melakukan penanganan perkara korupsi di daerah-daerah, tentu tujuannya
adalah untuk menunjukkan cakarnya.
Tapi
apakah hal ini justru tidak membuat pemerintah mundur kembali kebelakang. Pemerintah
selama ini mengeluh bahwa gencarnya pemberantasan
korupsi membuat para pejabat ketakutan
untuk membuat kebijakan yang akhirnya program pembangunan tidak jalan, oleh
karena itu pemerintah menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun
2015 yang antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pencegahan
terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintah. Instruksi pemerintah
tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung RI dengan membentuk TP4 (Tim
Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan) berdasarkan Keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015 tanggal 01 Oktober 2015,
yang selanjutnya dikeluarkan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor:
INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan
dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan Republik Indonesia. Program TP4 ini
disambut dengan baik oleh pemerintah daerah karena memang proyek-proyek yang didampingi TP4 semuanya
berjalan dengan baik karena ada
pengawasan langsung dari Kejaksaan melalui TP4.
Kita
seharusnya belajar dari pengalaman panjang bahwa pemberantasan korupsi dengan
focus penindakan selama ini tidak efektif karena justru korupsi tidak
berkurang bahkan semakin tidak terkendali. Kita gagal memahami akar masalah
korupsi. Sebagaimana penyakit, korupsi perlu didiagnosa penyebab utamanya. Inti pengobatan
adalah diagnosa. Diagnosa yang tepat akan menyembuhkan penyakitnya.
Banyaknya
kuantitas penanganan perkara korupsi yang ditangani penegak hukum terbukti
tidak memberikan kontribusi dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Persepsi dan penilaian bahwa penegak hukum yang berhasil adalah yang paling
banyak menangani perkara korupsi membuat
penegak hukum cenderung memaksakan perkara dimana perkara dengan nilai yang
relatif kecil kerugian negaranya tetap dilanjutkan tanpa memperhatikan bahwa
negara justru dirugikan dari pemborosan anggaran untuk biaya Lid, Dik, Tut, dan
biaya hidup terpidana selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Kita
lupa bahwa fungsi hukum pidana sebagai ultimum remedium hanya dapat diterapkan
jika akan menciptakan keseimbangan antara kerugian yang timbul dan tindak
pidana yang dilakukannya (asas proporsionalitas).
Pemerintah
tidak perlu membentuk Densus Tipikor karena lembaga Birokrasi pemerintah sebenarnya sudah diawasi oleh enam
institusi yaitu Inspektorat, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian Republik
Indonesia. yang perlu dilakukan adalah
memaksimalkan fungsinya. Pemerintah dan
DPR seharusnya lebih memaksimalkan kepolisian,
dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi, diantaranya dengan menyusun
kebijakan baru agar penghasilan untuk aparat penegak hukum di Polri dan
kejaksaan sama dengan di KPK. Disamping itu diantara penegak hukum KPK,
kepolisian dan Kejaksaan saling bersinergi dan berkoordinasi dalam
pemberantasan korupsi dengan tidak menonjolkan ego sektoral untuk merasa diri
paling unggul karena semuanya adalah untuk kepentingan bangsa dan Negara.
Apabila Pemerintah dan DPR
RI saat ini menganggap KPK tidak berhasil menjadi Trigger
Mechanism dalam pemberantasan tipikor maka solusinya
bukan membentuk Densus Tipikor yang justru lebih menguras anggaran Negara,
namun cukup memperkuat Direktorat Tipikor Polri dan Satgasus P3TPK Kejaksaan RI dengan memberikan kewenangan dan anggaran yang cukup.
Merubah mindset
pemberantasan korupsi
Jadi adalah keliru
jika masalah pemberantasan korupsi hanya semata-mata memenjarakan koruptor dan
masalah tekhnis yuridis. Korupsi adalah masalah sosial yang sangat serius yang
menghambat pembangunan kesejahteraan bangsa Indonesia. Solusi pemberantasan
korupsi terletak pada kepemimpinan nasional maupun daerah dan dukungan kuat
seluruh pembantu dan pelaksananya, karena merekalah motor utama penggerak
pemberantasan korupsi.
Pada titik inilah
dibutuhkan cara-cara baru dalam pemberantasan korupsi, intinya adalah
pemberantasan korupsi kita serahkan kembali kepada Jajaran Birokrasi Pemerintahan
bukan kepada penegak hukum.
Caranya sederhana
namun dibutuhkan komitmen, kerendahan hati dan keikhlasan. Ini dimulai dari
komitmen kepemimpinan nasional dan Daerah untuk hidup bersih. Pejabat
pemerintah seyogyanya menunjuk pejabat-pejabat yang kompeten dan berintegritas
untuk menduduki jabatan yang terkait dengan pengelolaan proyek-proyek
pemerintah. Data menunjukkan kebocoran dari anggaran pembangunan hampir
mencapai 30-50% dari anggaran yang tersedia. Ditangan pejabat/pegawai yang
jujur kebocoran anggaran dapat ditekan.
Kemudian Kemiskinan
adalah akar masalah korupsi. 80 persen pegawai kita korupsi karena kebutuhan.
Oleh karena itu untuk menutup pintu-pintu setan dari godaan penyalahgunaan
wewenang, Pegawai Negeri harus digaji cukup sesuai kebutuhannya. Imam Ali
berkata “sulit membimbing manusia menuju moralitas yang baik sebelum dia
memiliki pangan untuk dimakan, pakaian untuk dikenakan dan tempat tinggal yang
layak. Manusia baru tertarik pada perbaikan moralitas setelah kebutuhannya
terpenuhi.
Kalau
kita mau jujur permasalahan utama penegakan
hukum kita sebenarnya adalah kurangnya integritas penegak hukum yang akhirnya
menggerus kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum. Yang dibutuhkan
masyarakat adalah keadilan, keadilan dalam semua aspek.
Mengembalikan
kepercayaan publik bukanlah dengan banyaknya penanganan perkara yang ditangani tapi
dari integritas aparat penegak hukum itu sendiri. Masyarakat ingin melihat tidak
ada tebang pilih dalam penanganan perkara serta tidak ada lagi perdagangan
perkara.
Komentar
Posting Komentar