TINDAK
PIDANA KORUPSI ANTARA PEMBUKTIAN TERBALIK, ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DAN HAK
ASASI MANUSIA
Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin
Masyarakat
sempat heboh Ketika KPK menerapkan pembuktian terbalik Tindak pidana pencucian
uang terhadap beberapa kasus tindak pidana korupsi tertentu seperti dalam kasus
Bahasyim, Laode Nurhayati dan Joko Susilo. Banyak pihak yang mendukung langkah
KPK tersebut terutama LSM Pegiat anti korupsi, tapi tidak sedikit yang
menentang dengan menganggap KPK telah melanggar Undang-undang karena penerapan
pembuktian terbalik murni belum ada dasar hukumnya di dalam perundang-undangan
kita. Langkah KPK yang menerapkan pembuktian terbalik secara murni terhadap
perkara korupsi dianggap bertentangan dengan beberapa asas yaitu asas praduga
tak bersalah, sistem pembuktian negatif/wettelijk negatif, asas tidak
mempersalahkan diri sendiri (non-self incrimination) dan asas hak untuk diam
(right to remain silent) dan didalam
pasal 66 KUHAP diatur bahwa “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”. Pembuktian dibebankan kepada penyidik.
Nah Langkah KPK yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut dianggap telah melanggar Undang-undang karena teori pembuktian yang selama ini diakui (KUHAP) adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yaitu 2 alat bukti ditambah keyakinan hakim. Kalaupun KPK ingin membuktikan kesalahan terdakwa korupsi cukup dengan menerapkan pembuktian terbalik secara seimbang (balanced probability of principles) didalam UU Tipikor yaitu terdakwa membuktikan dirinya tidak bersalah dan jaksa membuktikan bahwa terdakwa bersalah, bukan dengan menyerahkan pembuktian seluruhnya kepada terdakwa.
Nah Langkah KPK yang menerapkan pembuktian terbalik tersebut dianggap telah melanggar Undang-undang karena teori pembuktian yang selama ini diakui (KUHAP) adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yaitu 2 alat bukti ditambah keyakinan hakim. Kalaupun KPK ingin membuktikan kesalahan terdakwa korupsi cukup dengan menerapkan pembuktian terbalik secara seimbang (balanced probability of principles) didalam UU Tipikor yaitu terdakwa membuktikan dirinya tidak bersalah dan jaksa membuktikan bahwa terdakwa bersalah, bukan dengan menyerahkan pembuktian seluruhnya kepada terdakwa.
Namun
langkah KPK yang menerapkan pembuktian terbalik murni dalam perkara korupsi didukung
oleh Dr. Yunus Husein,LLM (mantan kepala PPATK), beliau menyatakan bahwa Tindak
pidana pencucian uang (TPPU) adalah tindak pidana yang berdiri sendiri dan
bukan tindak pidana yang sifatnya accesoir
atau turunan artinya bahwa untuk seseorang bisa didakwakan melakukan TPPU maka
tidak harus menunggu tindak pidana asalnya dibuktikan terlebih dahulu.
Tapi
sebelum melanjutkan tulisan ini perlu dijelaskan apakah itu pembuktian terbalik
murni? Dalam pembuktian terbalik murni – untuk menyatakan kesalahan terdakwa
tidak perlu didukung dengan 2 alat bukti tapi cukup didasarkan atas keyakinan
hakim atau pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (teori pembuktian
conriction intime) sehingga timbul pergeseran dari praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) menjadi asas praduga bersalah (presumption of
guilt). Dalam penerapannya asas pembuktian terbalik berdasar keyakinan hakim
akan menyatakan terdakwa bersalah apabila tidak bisa membuktikan bahwa harta
kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya yang sah.
Terlepas
dari kontroversi penerapan pembuktian terbalik oleh KPK dalam perkara tindak
pidana korupsi, tulisan ini mencoba merangkum berbagai pendapat terkait
penerapan pembuktian terbalik murni oleh KPK.
KPK menerapkan asas pembuktian
terbalik karena metode pembuktian yang diatur selama ini sering menyulitkan
proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Bahwa dalam penerapan pembuktian
terbalik, KPK mengacu kepada UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan
Pemberantasan TPPU, yang sekarang berganti dengan nama Undang-undang Nomor 25 tahun
2003 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang (UU TPPU) yaitu pasal :
Pasal
69 :
Untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”
Pasal 77:
Untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana.
Pasal 78:
(1) Dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, hakim
memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
(2) Terdakwa
membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau
terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan
cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Dalam praktek penerapan pembuktian terbalik
oleh KPK, maka KPK akan merampas seluruh harta kekayaan terdakwa walaupun tidak
ada hubungannya dengan tindak pidana asal (korupsi) selama Harta kekayaan
terdakwa tersebut tidak sebanding dengan profil atau pekerjaan atau penghasilan
terdakwa atau terdakwa tidak dapat menjelaskan atau membuktikan asal usul
perolehan harta kekayaannya secara logis. KPK akan berdalih dengan pasal 77 UU TPPU
bahwa terdakwalah yang wajib membuktikan di depan pengadilan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana dan apabila terdakwa tidak
dapat membuktikan kekayaannya dihubungkan dengan penghasilannya yang sah selaku
pegawai negeri atau penyelenggara negara maka tentunya Hakim akan berkeyakinan
bahwa terdakwa telah melakukan korupsi.
Menurut KPK, salah unsur dalam pasal 3 UU TPPU
adalah unsur “ yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana” atau dikenal dengan istilah predicate crime. Karena TPPU tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (seperti dalam kasus Joko
Susilo), Penuntut umum KPK dalam surat dakwaannya hanya menyebutkan “hasil tindak pidana
korupsi” tanpa menguraikan lebih lanjut tindak pidana korupsi yang mana yang
dimaksud dilakukan terdakwa. JADI DISINI
ADA PENERAPAN PEMBUKTIAN TERBALIK MURNI. Yaitu adanya kekayaan terdakwa
dihubungkan dengan penghasilannya yang sah (illicit
enrichment)
Benarkah penerapan pembuktian terbalik
tersebut menurut Undang-undang Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU), Apakah
seseorang yang mempunyai harta kekayaan lebih besar atau tidak sesuai dengan profil,
sudah pasti merupakan pelaku kejahatan atau tidak ? Apakah seseorang yang tidak
dapat membuktikan asal usul perolehan harta kekayaannya sudah pasti merupakan
pelaku kejahatan atau tidak. Jika jawabannya tidak ! Mengapa harta kekayaan
terdakwa yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana asal yang didakwakan
dirampas !.
Menurut
Prof. Romli Atmasasmita, Penerapan pembuktian terbalik mutrni oleh KPK
sebenarnya mengacu pada ketentuan dalam konvensi anti korupsi PBB tahun 2003
(UNCAC 2003) yaitu larangan illicit
enrichment (yaitu seseorang yang tidak dapat membuktikan harta kekayaannya
dihubungkan dengan penghasilannya yang sah). Padahal meskipun konvensi tersebut
telah diratifikasi, tetapi sampai dengan saat ini ketentuan tersebut belum
pernah dimasukkan dalam produk hukum nasional, baik dalam UU Tipikor 1999/2001
maupun UU TPPU 2010, sehingga tidak dapat menjadi acuan dalam penegakan hukum.
Sehingga praktek peradilan tindak pidana korupsi (dalam perkara wa
ode Nurhayati, Joko Susilo, Luthfi Hasan Ishak dan Bahasyim) telah dipahami secara keliru oleh Majelis
Hakim dan Penuntut Umum KPK yaitu dengan mengadopsi konsep “illicit enrichment”
yaitu pembuktian harta kekayaan seorang pejabat publik atau penyelenggara
Negara yang dihubungkan dengan penghasilan yang sah, tidak ada kaitannya dengan
tindak pidana yang didakwakan kepada yang bersangkutan.
Praktek
pengadilan tersebut dapat digolongkan ke dalam Miscarriage of justice karena
ketentuan pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010 tidak mewajibkan terdakwa membuktikan perolehan
harta kekayaannya dihubungkan dengan penghasilannya yang sah, melainkan harta
kekayaannya dengan tindak pidana asalnya.
Bahwa
belum diadopsinya konsep “illicit enrichment” di dalam UU Tipikor, saya
berpendapat bahwa pemerintah perlu kehati-hatian karena penegakan hukum
termasuk pemberantasan korupsi seharusnya disesuaikan dengan kondisi
masyarakat, geografi dan budaya, tidak begitu saja meratifikasi konvensi
Internasional yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa Indonesia atau
kesiapan mental masyarakat kita secara umum.
Apakah
UU TPPU tidak mensyaratkan pembuktian tindak pidana Asal dan Kapan seharusnya
kita menerapkan pembuktian terbalik dalam perkara Tindak Pidana Korupsi ?
Definisi tindak pidana pencucian uang dalam
rumusan peraturan perundang-undangan di berbagai negara memang tidak sama
persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu sama, yaitu bahwa tindak pidana
pencucian uang adalah suatu perbuatan terkait dengan menikmati atau
mempergunakan hasil kejahatan. Jadi yang paling penting adalah ada hasil
kejahatan (the proceed of crime) dan ada perbuatan yang menikmati atau
menggunakan hasil kejahatan tersebut (money laundering offense).
Dalam
tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal (predicate offense)
yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan “perbuatan apapun seperti
ditransfer, dibelanjakan, dihadiakan, ditukarkan dan lain-lain”, yang mana
perbuatan inilah yang namanya tindak pidana pencucian uang. dua hal inilah yang
menjadi prinsip adanya tindak pidana pencucian uang, yaitu predicate offence
(tindak pidana asal) dan perbuatan menikmati (mempergunakan) hasil kejahatan
(procced of crime) . dengan pemahaman ini maka perlu dipahami secara mendalam
bahwa tindak pidana pencucian uang sebagai double crimes (kejahatan ganda),
sehingga dari kronologisnya tidak
mungkin ada tindak pidana pencucian uang tanpa ada kejahatan asal. Dengan
makna yang seperti ini maka akan berimplkasi pada bagaimana cara dan mekanisme penerapannya
agar Due process of law berjalan dengan baik.
Bahwa
tindak pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang khusus yang tidak
dimiliki kejahatan lain, yaitu bahwa kejahatan ini adalah kejahatan ganda
(double crimes), bukan kejahatan tunggal. Tindak pidana pencucian uang
dikatakan kejahatan ganda Nampak dari konstruksi perbuatan yang dirumuskan
yaitu tindak pidana ini terdiri dari kejahatan asal (predicate offence) dan
perbuatan pencucian uangnya sebagai kejahatan lanjutan (follow up crimes). Letak
tindak pidana pencucian uang sebagai follow up crime ini menunjukkan bahwa
pengungkapan kejahatan ini yaitu dengan mengikuti, menelusuri aliran hasil
kejahatan (follow the procced of crime). Disinilah muncul suatu pandangan bahwa
dalam penerapan UU TPPU bukan saja mengungkap pelaku dan menangkapnya tetapi
justru strategi utamanya dengan menelusuri aliran dana (follow the money).
BENARKAH KEJAHATAN ASAL TIDAK PERLU DIBUKTIKAN
TERLEBIH DAHULU SESUAI PASAL 69 UU TPPU
Bahwa
dalam penyidikan perkara TPPU, untuk mengungkap kejahatan asal dapat dilakukan
terlebih dahulu pelacakan melalui kejahatan pencucian uangnya. Artinya
mengungkap kejahatan bukan dari hulu tetapi dari hilir. Hulu adalah kejahatan
asal atau predicate offence sedangkan hilir adalah perbuatan menikmati hasil
kejahatan. Dalam korupsi misalnya, maka pelaku dapat dijerat dengan UU Tipikor
dan ketika hasil korupsi dinikmati atau dialirkan maka pelaku akan dikenakan UU
TPPU.
Hal
yang paling penting adalah boleh saja dan sangat mungkin penyidik mendapatkan
dua alat bukti atau bukti permulaan tentang kejahatan pencucian uang tanpa tahu
terlebih dahulu kejahatan asalnya, misalnya transaksi yang mencurigakan, tetapi
dalam hal akan melimpahkan ke Kejaksaan, maka harus sudah ada bukti yang
dikumpulkan terkait dengan kejahatan asalnya. Artinya dalam hal akan diserahkan
ke Kejaksaan maka sangkaan sudah ada dua kejahatan yaitu kejahatan asal dan
TPPU. Disinilah letaknya bahwa UU TPPU adalah suatu strategi pengungkapan
kejahatan ekonomi dengan cara yaitu pertama disangkakan hanya dari aliran dana
(TPPU) dan pada akhirnya akan diketemukan atau terungkap kejahatan asalnya.
Hal
ini dapat dilihat dari susunan pasal-pasal di dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang
pencegahan dan Pemberantasan TPPU yaitu Tindak pidana asal (predicate crime)
dimuat dalam pasal 2 ayat (1), jika Tindak
pidana asal telah terbukti, baru kemungkinan ada tindak pidana pencucian uang
yaitu pasal 3 dan pasal 4 terhadap harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana asal (korupsi), Jika tindak pidana pencucian uang terbukti, baru
kemungkinan ada tindak pidana penerimaan atau penguasaan hasil tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dimuat dalam pasal 5. Lalu Pasal 74 UU No. 8 tahun
2010 menyebutkan penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh
penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang
cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan tindak pidana asal
sesuai kewenangannya. Jadi UU No. 8 tahun 2010 secara terang dan jelas telah
mensyaratkan adanya tindak pidana asal (predicate crime).
Bahwa
terkait dengan prinsip bahwa tidak mungkin ada kejahatan pencucian uang tanpa
ada kejahatan awalnya, maka ada masalah terkait dengan pasal 69 yang
seolah-olah tidak diperlukan kejahatan utama yang dibuktikan untuk menuntut dan
memidana pelakunya.
Rumusan
Pasal 69 berbunyi “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”
Kalimat “tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu”
bukan berarti tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. Penuntut umum tetap
mempunyai kewajiban untuk membuktikan pidana asalnya sebagaimana disebutkan
dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 yang merupakan penyebab dan
penggerak dilakukannya TPPU. Tidak ada TPPU tanpa kejahatan yang menghasilkan
uang haram atau harta kekayaan tidak sah lainnya. Memisahkan TPPU dari tindak
pidana asal yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 menjadikan
pasal 2 sebagai pasal mandul atau pasal yang tidak berguna. Jadi intinya
Pembuktian terbalik di dalam UU TPPU hanya menyangkut tindak pidana asal yang
didakwakan kepada terdakwa.
Bahwa
pasal 6 UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi antara
lain menyatakan “Pengadilan Tindak pidana korupsi berwenang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara : a. Tindak pidana korupsi b. Tindak pidana
pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi.
Ketentuan pasal 6 tersebut, sangat jelas kewenangan pengadilan Tipikor hanya
pada TPPU yang pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, bukan tindak pidana
yang DIDUGA adalah tindak pidana korupsi. Jadi harus ada kejelasan hubungan
kausaliteit antara TPPU dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan sebagai
tindak pidana asal. Tidak bisa tindak pidana asalnya masih berupa dugaan,
asumsi, atau perkiraan bahwa tindak pidana asal juga berasal dari tindak pidana
korupsi tanpa dibuktikan korupsi yang mana.
Bahwa
sikap KPK yang menganggap bahwa tindak
pidana pencucian uang tidak wajib
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, maka demi kesamaan di depan
hukum (equality before the law), seharusnya KPK juga mengusut dan merampas
harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dilihat dari
profilnya tidak memungkinkan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut hidup mewah dengan harta melimpah. Tidak sulit untuk mengetahui profil
pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat negara dengan profil
demikian. Bahkan dibeberapa instansi tertentu hal itu dengan mudah kita
temukan.Tapi ini tidak dilakukan oleh KPK. KPK hanya membidik TPPU kepada
pelaku korupsi yang sudah ditangkap.
Bahwa kalau kita baca di dalam UU
TPPU, telah membedakan antara tindak pidana pencucian uang aktif (pasal 3 dan
pasal 4) dan tindak pidana pencucian uang pasif (pasal 5). Kata kunci dalam
pasal 3 s/d 5 adalah diketahuinya atau
patut diduga…..yang merupakan unsur pokok dalam tindak pidana pencucian
uang baik bersifat aktif maupun pasif.
ketentuan tentang tidak wajib dibuktikannya terlebih dahulu tindak pidana asal
hanya berlaku untuk pelaku tindak pidana pencucian uang yang bersifat pasif,
yakni “setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan,penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dst.
Jadi
seseorang yang menerima atau menampung harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya sebagai hasil tindak pidana dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa harus menunggu penyidikan
dan penuntutan terhadap orang atau pihak yang melakukan tindak pidana asal.
Misalnya pelaku korupsi kabur dan belum ditemukan atau berada di luar negeri. Jadi
harta kekayaan yang dijadikan objek dalam tindak pidana pencucian uang adalah
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana asal (misal korupsi) dan bukan
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana lain. Jadi harus ada hubungan
antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan
terdakwa.
Sebenarnya
banyak Ahli hukum Pidana yang mengingatkan bahwa UU TPPU tetap mensyaratkan
pembuktian tindak pidana asal terlebih dahulu diantaranya adalah Prof Dr.
Edward Omar Syarif Hiariej, SH.MH. beliau menyatakan bahwa “terkait dengan
pencucian uang, kejahatan asal harus dibuktikan dahulu atau setidak-tidaknya
kejahatan asal dibuktikan bersamaan dengan pencucian uang itu. seandainya saya
didakwa melakukan pencucian uang sebanyak Rp. 5000,- tetapi uang Rp. 5000.- ini
tidak bisa dibuktikan apakah uang hasil kejahatan atau bukan hasil kejahatan,
maka saya tidak dapat dikatakan melakukan pencucian uang, pendapat senada
dikatakan oleh Prof Dr. Andi Hamzah yang menyatakan hal yang sama yaitu “
bagaimana mungkin mencuci baju, kalau bajunya belum dibeli.
Bahwa
ternyata pemahaman hukum para ahli hukum atau penegak hukum selalu berbeda.
Bagaimana mungkin suara atau pendapat tokoh yang kita akui karena track
recornya selaku Ahli hukum kita abaikan begitu saja. Kalau kita masing-masing
bebas menafsirkan pasal atau aturan dengan mencari-cari pasal yang bisa
ditafsirkan maka yang terjadi adalah kekacauan hukum. Kita seharusnya
menghormati dan mengikuti undang-undang yang menjadi kesepakatan bersama. Apabila praktek system hukum kita tidak
menghormati Undang-undang sebagai benteng kepastian hukum maka bagaimana warga
negara bisa percaya untuk patuh pada ketentuan hukum.
Dulu
menurut KUHAP yang bisa PK hanya terdakwa atau ahli warisnya. Tapi karena ada
pesanan untuk menghukum seseorang, maka diteroboslah KUHAP itu dengan
menafsirkan pasal-pasal menurut selera penegak hukum dengan mengatakan bahwa
KUHAP tidak melarang jaksa untuk PK.
Kita
akui banyak undang-undang dan peraturan yang saling tumpah tindih dan
bertentangan satu sama lain. Oknum penegak hukum sering menggunakan konflik
peraturan itu untuk mencari kesalahan dan memaksakan hukuman atas seseorang dan
disinilah rawan terjadinya abuse of power.Janganlah karena dalih bahwa korupsi
adalah kejahatan extra-ordinary crime lantas menghalakan segala cara dengan
menafsirkan pasal-pasal didalam Undang-undang yang bisa untuk menghukum.
Pembuktian terbalik dan Hak Asasi
Manusia.
Bagaimanapun
kita sangat membenci kejahatan asal dan TPPU tetapi tetap saja penegakan hukum
harus ditegakkan dengan benar dan sesuai aturan yang ada, dan aturan juga harus
sesuai dengan teori yang memuat falsafah tentang mengapa harus ada ketentuan
anti pencucian uang. Jadi harus dipahami bahwa tidak mungkin ada TPPU tanpa
adanya kejahatan asal (no money laundering without predicate offence). Selain
itu harus pula diingat bahwa TPPU adalah kejahatan ganda (double crimes), dan
pelaku kejahatan asal akan dipidana dengan dua kejahatan sekaligus yang dalam
hal ini terdapat concursus realis sebagaimana diatur dalam pasal 63 KUHP.
Dengan demikian sangatlah tidak sesuai filosofi TPPU, bila perbuatan yang
didakwakan tapi hanya TPPU saja yang dibuktikan tanpa penegak hukum membuktikan
perbuatan mencuci uang itu dari hasil kejahatan asal yang mana.
Berkaitan
dengan penerapan pembuktian terbalik atas perkara tindak pidana pencucian uang,
harus dipahami bahwa tidak ada pencucian uang kalau tidak ada kejahatan
utamanya. Artinya dua kejahatan ini harus dibuktikan, meskipun kita menerapkan
pembuktian terbalik. Dalam sistem pembuktian ini yang harus dibuktikan secara
terbalik adalah justru terkait adanya kejahatan utama yang dalam hal ini
tercantum dalam unsur harta kekayaan yang berasal dari kejahatan yang mana
terdakwa tahu atau paling tidak patut menduga tentang asal usul harta kekayaan
tersebut, sikap batin terkait tahu atau patut menduga (mens rea) juga harus
dibuktikan oleh Jaksa. Dalam kaitan itu artinya terdakwa membuktikan sebatas
pada satu unsur saja yaitu harta kekayaan yang terkait dengan dakwaan pencucian
uang, bahwa harta itu bukan berasal dari hasil kejahatan. Dan apabila terdakwa
tidak bisa membuktikan unsur tersebut tidak serta merta bahwa dakwaan dinilai
terbukti, karena jaksa tetap harus membuktikan semua unsur termasuk juga unsur
harta kekayaan tersebut berasal dari hasil kejahatan. Selain itu perlu cermat
dalam membaca undang-undang bahwa pembuktian terbalik hanya dilakukan di
pengadilan, Nampak dengan istilah terdakwa.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, penerapan
asas pembuktian seharusnya mengacu
kepada UU No. 20 tahun 2001 Jo. UU No. 31 tahun 1999 tentangTipikor yang menganut
asas pembuktian berimbang atau pembuktian terbalik yang terbatas yaitu :
-
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi (diatur dalam pasal 37 ayat 1)
-
Terdakwa mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri dan suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan (diatur dalam pasal 37 A ayat 1)
- Penuntut umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan
dakwaannya. (diatur dalam pasal 37 A ayat 3)
Bahwa
meskipun kepada terdakwa diberikan hak dan kewajiban seperti tersebut diatas, penuntut
umum masih tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Di
dalam penjelasan umum UU Nomor 20/2001 disebutkan :………. Pembuktian terbalik ini
diberlakukan terhadap tindak pidana gratifikasi dan terhadap tuntutan
perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,3,4,13,14,15 dan pasal 16 UU No. 31
/1999 dan pasal 5 sampai dengan pasal 12 undang-undang ini.
Didalam
penjelasan pasal 1 angka 5 UU No. 20 tahun 2001 mengenai pasal 37 ayat (1)
disebutkan : pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang
berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri
(nonself incrimination). Dengan demikian kewenangan KPK yang diberikan oleh UU
Tipikor adalah kewenangan pembuktian terbalik terbatas.
Bahwa
penggunaan/pendekatan hukum pidana dalam merampas asset/harta kekayaan terdakwa
memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati karena menyangkut hak asasi
seorang terdakwa yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. Perlindungan
konstitusional tiap warga negara atas haknya untuk memiliki harta kekayaan
diatur dalam pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yaitu “setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, dst.
Dan
pasal 28H ayat (4) UUD 1945 “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun”.
PENUTUP
Didalam
sistem yang penegakan hukumnya belum ditopang oleh penegak hukum yang
berintegritas dan professional, sistem pembuktian terbalik murni ini sangat
rawan di selewengkan. Apabila penegak
hukum berselingkuh dengan kekuasaan maka hukum akan rentang digunakan untuk
membunuh lawan politik atau menyingkirkan orang yang tidak disukai.
Kalau kita mau menerapkan pembuktian terbalik murni secara
konsekuen maka kita harus masukkan di dalam UU Tipikor supaya adil bagi semua
pihak dan lebih memberikan kepastian hukum. Dengan dimasukkannya pembuktian
terbalik di dalam UU Tipikor maka Penyidik, Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan
hakim akhirnya akan memiliki pemahaman yang sama. Pasal 69 UU TPPU yang
digunakan KPK dalam menerapkan pembuktian terbalik murni masih bersifat
multitafsir karena kontradiksi dengan penjelasan pasal-pasal lain di dalam UU
TPPU khususnya pasal 2 ayat 1 yang mensyaratkan pembuktian tindak pidana asal.
Peraturan yang multitafsir akan
membuka peluang terjadinya manipulasi dalam penegakannya. Masing-masing pihak
akan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai suatu ketentuan, yang pada
akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai keadilan.
Komentar
Posting Komentar