INILAH BUAH DARI GERAKAN REFORMASI 1998
Ketika Krisis moneter terjadi pada tahun 1997 yang membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk maka para aktivis yang dimotori oleh Mahasiswa kemudian turun ke jalan menyatakan penolakan terhadap kepemimpinan Presiden soeharto yang dianggap otoriter dan menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Inilah yang kemudian disebut Gerakan reformasi.
Gerakan reformasi berisi enam tuntutan yaitu pertama penegakan supremasi hukum, kedua pemberantasan KKN, ketiga, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, keempat amandemen konstitusi, kelima pencabutan dwi fungsi ABRI (TNI/Polri) dan keenam pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Tetapi setelah reformasi berhasil menurunkan Presiden soeharto maka yang terjadi adalah bukan membuat kehidupan bangsa semakin baik tetapi justru membuat bangsa Indonesia semakin terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan. Pada masa orde baru korupsi terjadi di lingkungan kekuasaan Soeharto dan kerabatnya, kini di era reformasi korupsi semakin massif dan menjadi wabah yang menjangkiti seluruh birokrasi pemerintahan dari pusat, daerah hingga desa-desa.
Reformasi yang awalnya adalah untuk membenahi praktek penyimpangan di Era Orde Baru dan melibatkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan jalannya pemerintahan ternyata membuat rakyat semakin tersingkir dari kekuasaan. sistem bernegara Indonesia telah berubah total. Kedaulatan rakyat tidak lagi dijelmakan di dalam Lembaga tertinggi negara (MPR) melainkan berpindah menjadi kedaulatan partai politik dan kedaulatan presiden terpilih yang dipilih melalui pemilu dan pilpres langsung. Menurut Pengamat ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy kekuasaan negara kini hanya dipegang oleh presiden, ketua umum Parpol-parpol besar, para oligarki bisnis yang dipresentasikan oleh 10-15 orang terkaya di Indonesia dan 9 hakim mahkamah Konstitusi. Merekalah pemilik kekuasaan mutlak atas negeri ini sementara rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati justru tersingkir dan hanya menjadi obyek kekuasaan.
Hal ini bermula dari amandemen konstitusi yang merupakan tuntutan keempat Gerakan reformasi. setelah UUD 1945 diamanedemen / diubah sebanyak empat kali sejak 1999 hingga 2002 maka yang terjadi kemudian adalah sudah tidak ada Lembaga Tertinggi Negara lagi. MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Tidak ada lagi Haluan negara karena presiden terpilih sebagai eksekutif dapat membuat kebijakan apapun selama mendapat dukungan dari partai politik. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing.
Dengan diterapkannya Sistem Demokrasi ala Barat, maka Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik dengan cara bagi-bagi jabatan dan kekuasaan. Jika partai politik dan Presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang maka mereka bisa bisa membuat UU sesuai kepentingan mereka atau kepentingan korporasi. Sementara, rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dimana komposisi Hakim MK terdiri dari pilihan presiden dan pilihan partai politik dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat. Tidak ada lagi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa.
Bahwa dengan amandemen UUD 1945 maka sistem ketatanegaraan Indonesia juga telah berubah total dan tidak sesuai lagi dengan harapan para pendiri bangsa. sistem Pancasila yang dirumuskan pendiri bangsa ditinggalkan dan pemerintah kemudian mengadopsi sistem barat yang liberal dan individualistik. Dengan diterapkannya sistem Demokrasi ala Barat yang liberal maka sejak 2004 sampai saat ini Indonesia mengadakan pemilihan langsung. Pemilihan langsung membuat Money politik semakin marak (membeli suara, menyuap rakyat dan atau KPU) sehingga yang terjadi adalah Ketika mereka terpilih maka jabatan didayagunakan untuk mengembalikan modal dan menumpuk kekayaan. Di dalam pemilihan langsung ini Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih siapa calon presiden dan wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota untuk disodorkan kepada rakyat.
Bahwa Untuk mengikuti pemilu biaya yang dikeluarkan setiap politisi semakin mahal dan berlipat. Karena pemilihan langsung yang melibatkan partisipasi rakyat memakan ongkos yang sangat besar maka hal ini kemudian mengundang masuknya para pengusaha besar/oligarki untuk masuk dalam kekuasaan karena merekalah yang membiayai partai politik, calon presiden dan wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota. Karena mereka yang membiayai partai politik dan Presiden terpilih maka pada akhirnya mereka menguasai ekonomi, menguasai politik dan menguasai presiden RI. Karena mereka telah mengendalikan kekuasaan maka hukum juga tidak bisa menyentuh mereka walaupun kejahatan mereka terhadap rakyat sangat besar.
Bahwa reformasi yang diharapkan membawa kehidupan bangsa yang lebih baik ternyata justru semakin membawa bangsa Indonesia ke dalam jurang kehancuran, hal mana ditandai dengan fenomena berupa krisis moral, etika dan hukum yaitu:
Pertama Pemimpin dan elit kita tidak lagi mengutamakan Amanah, kebenaran dan keilmuan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya. Ini tergambar bagaimana Joko Widodo sendiri saat menjadi presiden telah memperjuangkan anaknya dan menantunya untuk mendapatkan jabatan dipemerintahan dan partai politik. Sementara menurut temuan Litbang Kompas, 285 dari 732 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2024-2029 atau 38,9 persen yang terindikasi memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional. (https://www.benarnews.org/indonesian/berita/pelantikan-dpr-dinasti-politik)
Kedua, Penegak hukum karena berbagai kepentingan cenderung berpihak dan tidak adil, menggunakan tafsir hukum sempit dan sepihak, tumpul keatas (penguasa) tajam kebawah (rakyat dan oposisi), prinsip kesamaan kedudukan didepan hukum kalah oleh kekuasaan dan kekayaan. Hal ini dipertontonkan dengan nyata melalui Mahkamah konstitusi yang memberi karpet merah terjadinya Kolusi dan nepotisme dengan memberi jalan kepada Gibran Rakabuming menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo subianto melalui putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 oktober 2023 yang mengubah batas minimal capres dan cawapres yang membuat Gibran kemudian dapat berkompetesi menjadi cawapres Prabowo.
Penegakan hukum kita lemah, lihat saja ilegal mining, ekspor ilegal pada Nikel ke RRC, Batubara dan tambang lainnya yang tidak disentuh oleh hukum.
Mereka lupa agama adalah sumber moral. Moral sumber etika dan saat moral dan etika dikesampingkan maka saat itu kekuasaan menjadi liar dan bengis. Hukum yang tidak lagi berpijak pada etika dan moral maka dapat dipastikan hukum tidak lagi berpihak kepada kebenaran, keadilan dan kebaikan bersama. Lingkup penegakan hukum menjadi transaksional dan pilih kasih pun terjadi
ketiga, Media arus utama partisan, menjadi industry dan berpihak kepada pemodal dan penguasa. Media sosial yang dipenuhi dengan ujaran kebencian dan caci maki, diisi dan didominasi oleh pendengung (buzzer) yang menyebarkan hoakz baik untuk kepentingan penguasa maupun kelompok. Masalah sosial seperti narkoba dan judi online juga merebak. Nyaris semua lapisan Masyarakat sudah terlibat judi online dan mengkonsumsi narkoba. Korupsi dalam skala besar setiap hari dipertontonkan oleh media massa dan media sosial kita. Perilaku pejabat dan aparat penegak hukum yang jauh dari nilai-nilai moral dan etika membuat hilangnya penghargaan dan penghormatan Masyarakat kepada jabatan publik dan ini berpotensi menjadi ketidakpuasan dan protes terbuka.
Ekonomi kita juga semakin liberal, dimana Indonesia saat ini 1% penduduk Indonesia menguasai lahan 68% yang membuat kesenjangan kaya dan miskin semakin membesar. Tingginya hutang luar negeri yang mencapai 8.338 triliun membuat beban APBN semakin jauh untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia. Pemerintah juga tidak berusaha menjaga dan melindungi kekayaan alam kita dengan membiarkan saja kekayaan alam yang mahal diangkut ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah.
Padahal dengan membiarkan ini maka timah yang diangkut dalam bentuk bahan mentah maka otomatis mineral ikutannya juga ikut terbawa seperti Thorium dan platinum, dengan membiarkan tembaga (copper) diangkut dalam bentuk bahan mentah maka mineral ikutannya seperti uranium dan osmium juga ikut terbawa. Sudah puluhan tahun tambang kita seperti nikel, timah, tembaga dibawa ke luar negeri oleh penambang-penambang asing dan lokal tanpa kita mendapatkan mineral ikutannya seperti uranium, thorium, platinum bahkan emasnya padahal itu harganya jauh lebih mahal. Inilah kebodohan bangsa kita atau kesengajaan yang dibiarkan.
keempat, Ilmuwan, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk kekayaan diri, kebenaran ilmu tergantung kepada siapa yang beli, menjadi corong penguasa. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya Lembaga-lembaga survey yang bermunculan Ketika sistem pemilihan langsung mulai dilaksanakan di Indonesia dengan membuat survey-survey yang sesuai dengan pesanan. Ilmuwan yang menjadi pengamat tidak lagi independen dan obyektif karena mereka beraviliasi kepada partai politik tertentu.
Bahwa Pilpres dan pilkada langsung yang kita laksanakan pasca reformasi ini sejatinya tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Sistem pemilihan langsung telah menyuburkan politik dinasti dan melahirkan pemimpin miskin narasi yang dibesarkan melalui pencitraan. Selain itu pemilihan langsung telah membuat rakyat rentan mengalami kondisi terpecah belah karena tersulut emosi dan secara psikologis harus saling memihak kepada capres yang mereka pilih.
Jadi saatnya kita harus Kembali kepada UUD 1945 tanggal 18 agustus 1945 dimana pemilihan presiden dilakukan oleh MPR sebagai penjelmaan rakyat selaku pemilik kekuasaan tertinggi sementara pemilihan Gubernur, Bupati/walikota diserahkan Kembali kepada DPRD karena lebih sesuai dengan Pancasila khususnya sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar